'Extraordinary Meeting' di G-20
Kamis, 14 April 2022 - 17:27 WIB
Extraordinary Meeting G-20
Pertemuan G-20 tahun 2022 ini akan menjadi extraordinary meeting bagi 19 negara dan Uni Eropa di dalamnya. Tentu saja sebagaimana situasi yang kita pahami bersama bahwa gelombang pandemi Covid-19 masih berlanjut dan memukul sendi ekonomi dunia dalam lebih dua tahun terakhir ini meskipun sudah dilakukan percepatan vaksin yang masif di seluruh negara. Persoalan lainnya adalah dampak ekonomi pasca-invasi Rusia ke Ukraina beberapa waktu yang lalu cukup terasa di sejumlah negara di dunia. Kemudian transformasi digital yang membuat kebiasaan baru harus mulai menjadi konsen negara-negara G-20 untuk mengintegrasikan semua potensi tersebut.
Di dalam agenda KTT G-20 di Bali mendatang, ada 3 (tiga) isu prioritas yang akan dibawa yakni Global Health Architecture, Digital Transformation, dan Sustainable Energy Transition. Ketiga isu ini muncul sebelum terjadinya invasi Rusia ke Ukraina. Dengan munculnya tekanan sejumlah poros kekuatan di G-20 terhadap Indonesia, maka sudah sebaiknya Indonesia mencoba untuk menjadi kekuatan penyeimbang di dalam proses KTT G-20 tahun ini. Indonesia harus mengutamakan pembahasan rekonsiliasi Rusia dan Ukraina dengan memberikan kesempatan kepada Ukraina untuk hadir di forum strategis ini. Kehadiran Ukraina bukan sebagai membership, namun sebagai negara yang diundang oleh KTT G-20. Kemudian, Indonesia harus memastikan bahwa Rusia harus tetap berada di G-20 sebagai negara anggota. Karena mengeluarkan Rusia dari G-20 adalah tindakan kontraproduktif di tengah situasi dunia yang semakin menegang.
Menurut Kelman (2015) bahwa rekonsiliasi adalah persoalan membangun kepercayaan dan penerimaan. Bahkan di dalam pasal 24 piagam PBB, manifestasi utama adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Konsep inilah yang seharusnya dibangun di dalam extraordinary meeting G-20 mendatang. Kita harus membangun kembali kepercayaan sebagai forum multilateral yang sedang mencari jalan keluar bersama memulihkan kembali ekonomi global yang terpuruk akhir-akhir ini seperti terjadinya inflasi, kenaikan harga kebutuhan pokok, harga saham yang anjlok, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan masih banyak lagi dampak ekonomi lainnya.
Memberikan sanksi ekonomi atau embargo terhadap Rusia oleh beberapa negara di dunia bukanlah solusi. Justru langkah tersebut makin menyeret dunia ke dalam persoalan resesi ekonomi yang semakin serius. Bukankah pasca Perang Dunia II negara-negara sadar bahwa untuk membangun kembali negara mereka adalah melalui hubungan ekonomi dan perdagangan internasional? Sehingga di era yang semakin terdepan ini, dibutuhkan kepercayaan kolektif melakukan hubungan dagang/ekonomi yang bisa menata kembali ekosistem dunia yang mulai sakit.
Pertemuan G-20 tahun 2022 ini akan menjadi extraordinary meeting bagi 19 negara dan Uni Eropa di dalamnya. Tentu saja sebagaimana situasi yang kita pahami bersama bahwa gelombang pandemi Covid-19 masih berlanjut dan memukul sendi ekonomi dunia dalam lebih dua tahun terakhir ini meskipun sudah dilakukan percepatan vaksin yang masif di seluruh negara. Persoalan lainnya adalah dampak ekonomi pasca-invasi Rusia ke Ukraina beberapa waktu yang lalu cukup terasa di sejumlah negara di dunia. Kemudian transformasi digital yang membuat kebiasaan baru harus mulai menjadi konsen negara-negara G-20 untuk mengintegrasikan semua potensi tersebut.
Di dalam agenda KTT G-20 di Bali mendatang, ada 3 (tiga) isu prioritas yang akan dibawa yakni Global Health Architecture, Digital Transformation, dan Sustainable Energy Transition. Ketiga isu ini muncul sebelum terjadinya invasi Rusia ke Ukraina. Dengan munculnya tekanan sejumlah poros kekuatan di G-20 terhadap Indonesia, maka sudah sebaiknya Indonesia mencoba untuk menjadi kekuatan penyeimbang di dalam proses KTT G-20 tahun ini. Indonesia harus mengutamakan pembahasan rekonsiliasi Rusia dan Ukraina dengan memberikan kesempatan kepada Ukraina untuk hadir di forum strategis ini. Kehadiran Ukraina bukan sebagai membership, namun sebagai negara yang diundang oleh KTT G-20. Kemudian, Indonesia harus memastikan bahwa Rusia harus tetap berada di G-20 sebagai negara anggota. Karena mengeluarkan Rusia dari G-20 adalah tindakan kontraproduktif di tengah situasi dunia yang semakin menegang.
Menurut Kelman (2015) bahwa rekonsiliasi adalah persoalan membangun kepercayaan dan penerimaan. Bahkan di dalam pasal 24 piagam PBB, manifestasi utama adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Konsep inilah yang seharusnya dibangun di dalam extraordinary meeting G-20 mendatang. Kita harus membangun kembali kepercayaan sebagai forum multilateral yang sedang mencari jalan keluar bersama memulihkan kembali ekonomi global yang terpuruk akhir-akhir ini seperti terjadinya inflasi, kenaikan harga kebutuhan pokok, harga saham yang anjlok, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan masih banyak lagi dampak ekonomi lainnya.
Memberikan sanksi ekonomi atau embargo terhadap Rusia oleh beberapa negara di dunia bukanlah solusi. Justru langkah tersebut makin menyeret dunia ke dalam persoalan resesi ekonomi yang semakin serius. Bukankah pasca Perang Dunia II negara-negara sadar bahwa untuk membangun kembali negara mereka adalah melalui hubungan ekonomi dan perdagangan internasional? Sehingga di era yang semakin terdepan ini, dibutuhkan kepercayaan kolektif melakukan hubungan dagang/ekonomi yang bisa menata kembali ekosistem dunia yang mulai sakit.
(bmm)
tulis komentar anda