'Extraordinary Meeting' di G-20
Kamis, 14 April 2022 - 17:27 WIB
Reza Zaki
Dosen Hukum Universitas Bina Nusantara
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) G-20 pada pertemuan ketujuh belas yang akan diselenggarakan di Bali, Indonesia, pada November mendatang menjadi momen yang akan sangat berbeda selama 14 (empat belas tahun) terakhir sejak diselenggarakan untuk pertama kalinya pada 2008. Hal ini ditandai dengan munculnya ketegangan di kawasan Eropa antara Rusia dan Ukraina sejak 24 Februari lalu. Ketegangan ini tak terbendung dikarenakan kedua pemimpin memiliki perbedaan kepentingan terutama terkait NATO.
Tentu saja kemunculan invasi Rusia atas Ukraina ini menimbulkan banyak spekulasi mengenai peluang akan menjadi pemicu perang dunia ketiga. Peristiwa ini jauh lebih menegangkan dibandingkan perang dunia pertama. Pasalnya, invasi Rusia ke Ukraina ini terjadi di tengah belum berakhirnya pandemi Covid-19 di dunia. Parahnya lagi, peristiwa ini tidak hanya melibatkan perang militer, akan tetapi juga perang ekonomi/dagang yang makin memperkeruh kondisi dunia dalam beberapa waktu terakhir.
Presidensi Indonesia di G-20
Indonesia mendapatkan giliran memimpin G-20 pada 2022. Ini merupakan kesempatan yang besar bagi Indonesia sebagai negara berkembang sekaligus negara ASEAN pertama yang memimpin G-20. Presiden Joko Widodo mendapatkan ujian bersejarah yang tidak mudah. Kepemimpinan G-20 mendapatkan kecaman terutama dari negara barat seperti Amerika Serikat, Kanada, bahkan Australia jika mengundang Rusia di Bali mendatang.
Ancaman tersebut dilontarkan pertama kali oleh Amerika Serikat yang memberikan sinyal kuat untuk tidak hadir di KTT G-20 Ketujuh Belas jika Rusia tetap hadir meskipun merupakan anggota G-20. Banyak desakan untuk menghadirkan juga Ukraina di KTT G-20 dalam rangka rekonsiliasi dunia dalam waktu dekat.
Sebagian tentu saja mengecam pendapat Amerika Serikat karena mencampuradukan persoalan bilateral Rusia dan Ukraina ke dalam G-20 di mana Ukraina bukan merupakan anggotanya. Seolah-olah peran dan fungsi G-20 menjadi bias dikarenakan memasukkan begitu saja negara baru di dalam forum tertingginya. G-20 adalah forum multilateral antara negara maju dan negara berkembang yang menguasai 80 persen GDP dunia, 75% perdagangan internasional, dan 60% populasi dunia. Saat ini G-20 terdiri dari Argentina, Brazil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Saudi Arabia, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Spanyol juga diundang sebagai Permanent Guest. Setiap tahun G-20 mengundang negara-negara untuk turut berpartisipasi dalam G-20.
G-20 pada 2022 terdikotomi ke dalam beberapa poros kekuatan. Kekuatan tersebut antara lain Amerika Serikat dan sekutu, Rusia dengan dukungan setengah hati dari China, serta poros Jerman. Sementara Indonesia harus mampu membuktikan Presidensi-nya di G-20 tahun ini untuk menghasilkan sebuah pencapaian besar dalam sejarah G-20 selama ini. Bagaimana Indonesia bisa meyakinkan semua poros kekuatan untuk hadir di Bali November mendatang.
Dosen Hukum Universitas Bina Nusantara
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) G-20 pada pertemuan ketujuh belas yang akan diselenggarakan di Bali, Indonesia, pada November mendatang menjadi momen yang akan sangat berbeda selama 14 (empat belas tahun) terakhir sejak diselenggarakan untuk pertama kalinya pada 2008. Hal ini ditandai dengan munculnya ketegangan di kawasan Eropa antara Rusia dan Ukraina sejak 24 Februari lalu. Ketegangan ini tak terbendung dikarenakan kedua pemimpin memiliki perbedaan kepentingan terutama terkait NATO.
Tentu saja kemunculan invasi Rusia atas Ukraina ini menimbulkan banyak spekulasi mengenai peluang akan menjadi pemicu perang dunia ketiga. Peristiwa ini jauh lebih menegangkan dibandingkan perang dunia pertama. Pasalnya, invasi Rusia ke Ukraina ini terjadi di tengah belum berakhirnya pandemi Covid-19 di dunia. Parahnya lagi, peristiwa ini tidak hanya melibatkan perang militer, akan tetapi juga perang ekonomi/dagang yang makin memperkeruh kondisi dunia dalam beberapa waktu terakhir.
Presidensi Indonesia di G-20
Indonesia mendapatkan giliran memimpin G-20 pada 2022. Ini merupakan kesempatan yang besar bagi Indonesia sebagai negara berkembang sekaligus negara ASEAN pertama yang memimpin G-20. Presiden Joko Widodo mendapatkan ujian bersejarah yang tidak mudah. Kepemimpinan G-20 mendapatkan kecaman terutama dari negara barat seperti Amerika Serikat, Kanada, bahkan Australia jika mengundang Rusia di Bali mendatang.
Ancaman tersebut dilontarkan pertama kali oleh Amerika Serikat yang memberikan sinyal kuat untuk tidak hadir di KTT G-20 Ketujuh Belas jika Rusia tetap hadir meskipun merupakan anggota G-20. Banyak desakan untuk menghadirkan juga Ukraina di KTT G-20 dalam rangka rekonsiliasi dunia dalam waktu dekat.
Sebagian tentu saja mengecam pendapat Amerika Serikat karena mencampuradukan persoalan bilateral Rusia dan Ukraina ke dalam G-20 di mana Ukraina bukan merupakan anggotanya. Seolah-olah peran dan fungsi G-20 menjadi bias dikarenakan memasukkan begitu saja negara baru di dalam forum tertingginya. G-20 adalah forum multilateral antara negara maju dan negara berkembang yang menguasai 80 persen GDP dunia, 75% perdagangan internasional, dan 60% populasi dunia. Saat ini G-20 terdiri dari Argentina, Brazil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Saudi Arabia, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Spanyol juga diundang sebagai Permanent Guest. Setiap tahun G-20 mengundang negara-negara untuk turut berpartisipasi dalam G-20.
G-20 pada 2022 terdikotomi ke dalam beberapa poros kekuatan. Kekuatan tersebut antara lain Amerika Serikat dan sekutu, Rusia dengan dukungan setengah hati dari China, serta poros Jerman. Sementara Indonesia harus mampu membuktikan Presidensi-nya di G-20 tahun ini untuk menghasilkan sebuah pencapaian besar dalam sejarah G-20 selama ini. Bagaimana Indonesia bisa meyakinkan semua poros kekuatan untuk hadir di Bali November mendatang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda