Tsunami Inflasi

Jum'at, 15 April 2022 - 13:09 WIB
Menurut perhitungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Indonesia di awal tahun 2022 ini (data sampai Februari 2022) inflasinya mencapai 2,1%. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 April 2022 mengumumkan inflasi tahun ke tahun Indonesia mencapai 2,64%. Angka ini relatif rendah dibandingkan tahun 2019 tetapi sudah lebih tinggi dari 2020 dan 2021.

Dengan angka inflasi 2,64% itu jelas kita tidak dapat memandang Indonesia masih aman. Saat ini gelombang tsunami inflasi dunia itu baru ‘ujungnya’ saja yang sudah melanda Indonesia. Cepat atau lambat, gelombang besarnya juga akan tiba.

Hal tersebut terjadi karena saat ini dunia tengah menghadapi ‘lima-krisis pasca pandemi’ yang sangat serius, dan Indonesia juga ‘tidak imun’ dari kelima krisis itu.

Pertama, krisis pemulihan yang tak seimbang. Setelah dunia sepertinya mampu mengendalikan Covid-19, ekonomi mulai bangkit kembali. Namun demikian proses pemulihan berjalan tidak seimbang. Sisi permintaan pulih lebih cepat dari sisi penawaran.

Kita dapat melihat, pusat-pusat belanja yang mulai penuh dengan orang-orang yang berbelanja, masyarakat dunia mulai melakukan perjalanan, hotel dan restoran mulai terisi penuh, hajatan dan perhelatan mulai marak, belanja pakaian, elektronik, dan barang-barang lain mulai meningkat.

Namun sisi penawaran pulih lebih lambat. Hal ini terutama terjadi akibat situasi di sektor ketenagakerjaan. Perubahan kembali ke work from office tidak secepat pada saat diputuskan work from home. Mereka yang terpaksa dirumahkan karena aktivitas produksi berhenti atau berkurang, tidak mudah kembali ke tempat kerjanya dengan berbagai alasan.

Sebagian mereka juga mengundurkan diri secara sukarela dengan pertimbangan ingin lebih dekat dengan keluarga, enggan melakukan perjalanan dengan kendaraan umum ke tempat kerja, hingga mereka yang menuntut mendapat fasilitas dan perlindungan kerja plus tunjangan kesehatan yang lebih memadai, dan berbagai situasi lain.

Krisis kedua adalah krisis logistik dan angkutan, terutama karena terjadinya kelangkaan kontainer dan kapal pengangkut. Ongkos logistik telah naik berkali-kali lipat, padahal ekonomi masih belum pulih sepenuhnya. Dan ini menyebabkan harga produk yang diangkut naik.

Krisis ketiga adalah krisis energi, yang ditandai dengan naiknya harga bahan bakar fosil sangat tinggi. Faktor fundamentalnya adalah karena dunia telah mencanangkan dengan sangat jelas akan beralih ke energi terbarukan, namun kapasitas energi terbarukannya masih terbatas dan relatif mahal, padahal investasi di energi fosil sudah terlanjur dipandang buruk. Akibatnya terjadi ketidak pastian, kelangkaan, dan harga naik.

Krisis keempat adalah krisis perubahan dan ketidak pastian iklim dengan iklim ekstrim yang semakin sering terjadi. Kondisi ini jelas mempengaruhi produksi pertanian dan pangan, sebagaimana terjadi di Australia tiga tahun lalu dan di Amerika Selatan tahun lalu; yang dampaknya masih sangat terasa pada produksi dan pasokan pangan yang berkurang dan harga naik.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More