Menuju Endemi Tanpa Ujug-Ujug
Senin, 04 April 2022 - 08:23 WIB
Dari keduaexit-gamedi atas,endingyang paling mungkin bagi pandemi saat ini adalah endemi. Masalahnya, saat Covid-19 muncul, penanganan yang dilakukan sangat terbatas, tidak efektif dan tidak sungguh-sungguh. Sebagian negara malah menyepelekan. Akhirnya, Covid-19 terus bersporadis dan melakukan penetrasi kesemua negara. Virus juga bermetamorfosis, berkembang menjadi beragam varian baru dengan tingkat penularan dan kefatalan yang bervariasi. Dengan pra-kondisi ini, sulit berharap Covid-19 akan musnah di muka bumi.
Kapan sebuah pandemi bermetamorfosis menjadi endemi? Sulit diprediksi secara tepat karena determinannya kompleks. Level imunitas atau antibodi pada masyarakat, baik pasca-terinfeksi maupun pasca-vaksinasi, sangat menentukan. Kalau levelnya singkat dan rendah (short lived), tingkat kekebalan masyarakat tidak adekuat dan singkat. Artinya, jalan ke status endemi masih panjang.
Kualitas penatalaksanaan juga menentukan, termasuk 3M, 3T dan vaksin. Bila penatalaksanaan baik dan efektif, endemi mudah tercapai. Kapasitas virus juga menentukan transisi. Bahkan pengaruh lingkungan, termasuk musim, juga memegang peranan penting. Di negara-negara barat, setiap masuk musim dingin akan terjadi lonjakan kasus dan kematian akibat wabah influenza.
Mempertimbangkan semua determinan di atas, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi fase akut pandemi mungkin dapat terlewati tahun ini. Syarat utamanya, 70-80% penduduk dunia harus telah mendapat vaksin. Sayangnya, untuk mencapai cakupan ini, dibutuhkan minimal sembilan bulan lagi. Selain cakupan vaksin, banyak syarat lain, terutama perbaikan epidemiologis.Positivity rateharus di bawah 5%, perawatan rumah sakit mesti kurang 5% danreproduction numberharus 1 atau kurang. Semua indikator ini mesti terpenuhi selama paling tidak beberapa bulan.
Efek Endemi
Perubahan status pandemi menjadi endemi memberi pesan bahwa virus Covid-19 akan selamanya ada dalam kehidupan manusia. Ini akan membawa sejumlah dampak. Pertama, pada status endemi, akan terjadi perubahan strategi dan kebijakan dalam mengatasi Covid-19. Ketika dilabeli endemi, wabah Covid-19 dianggap bukan kondisi krisis lagi. Karenanya, akan ada penurunan alokasi sumber daya, pendanaan dan kegiatan terpadu dalam penatalaksanaannya. Tindakan tes dantracetidak dilakukan secara masif lagi; hanya orang yang bergejala yang dites PCR. Puskesmas akan menjadi sentra pelayanan utama.
Pemerintah tidak akan mengimplementasikan lagi pembatasan pergerakan seperti PSBB atau PSBK. Bandara akan dibuka tanpa syarat atau dengan persyaratan minimal. Tidak ada lagi keharusan melakukan tes untuk bepergian. Sekolah mulai dibuka seperti semula. Para pekerja kembali melakukan aktivitasnya dikantor. Hanya segelintir pekerja yang dibolehkan tetap melakukanwork from home.
Status endemi juga mengubah state of mindmasyarakat. Perubahan label endemi akan mengubah imejwabah di mata masyarakat. Masyarakat akan menganggap Covid-19 sebagai penyakit biasa dan cenderung meng-underestimate-nya. Covid-19 dianggap penyakit ringan. Kalaupun mereka mengalami keluhan spesifik, mereka tidak akan mau periksa atau berobat. Anjuran melakukan vaksinasi rutin kemungkinan akan diabaikan. Masyarakat juga akan mengabaikan penggunaan masker, cuci tangan dan menjaga jarak.
Angka kesakitan dan kematian akibat Covid-19 tidak dianggap serius lagi. Penyakit endemi malaria saja, yang setiap tahun menginfeksi 241 juta orang dan membunuh 627.000 orang, tidak lagi membuat masyarakat panik danshocking. Padahalmagnitudeepidemiologinya sangat signifikan. Kenapa? Karenastate of mindmasyarakat terlanjur menganggap malaria adalah ‘penyakit biasa-biasa saja’.
Perubahan kebijakan pemerintah danstate of mindmasyarakat ini berpotensi meroketkan kembali laju kasus dan kematian Covid-19. Ini tentu berbahaya. Makanya, keputusan penetapan status endemi harus dipertimbangkan secara matang, dengan menggunakan basis rasional dan multi-dimensional. Tidak perluujug-ujug. Jangan sampai status endemi ditetapkan hari ini dan beberapa bulan kemudian dicabut lagi akibat lonjakan kasus dan kematian. Inishamingsekaligusdeteriorating imagebuat pemerintah. Ujung-ujungnya, mereka akan dianggap tidak becus dan tidak profesional menangani pandemi.
Kapan sebuah pandemi bermetamorfosis menjadi endemi? Sulit diprediksi secara tepat karena determinannya kompleks. Level imunitas atau antibodi pada masyarakat, baik pasca-terinfeksi maupun pasca-vaksinasi, sangat menentukan. Kalau levelnya singkat dan rendah (short lived), tingkat kekebalan masyarakat tidak adekuat dan singkat. Artinya, jalan ke status endemi masih panjang.
Kualitas penatalaksanaan juga menentukan, termasuk 3M, 3T dan vaksin. Bila penatalaksanaan baik dan efektif, endemi mudah tercapai. Kapasitas virus juga menentukan transisi. Bahkan pengaruh lingkungan, termasuk musim, juga memegang peranan penting. Di negara-negara barat, setiap masuk musim dingin akan terjadi lonjakan kasus dan kematian akibat wabah influenza.
Mempertimbangkan semua determinan di atas, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi fase akut pandemi mungkin dapat terlewati tahun ini. Syarat utamanya, 70-80% penduduk dunia harus telah mendapat vaksin. Sayangnya, untuk mencapai cakupan ini, dibutuhkan minimal sembilan bulan lagi. Selain cakupan vaksin, banyak syarat lain, terutama perbaikan epidemiologis.Positivity rateharus di bawah 5%, perawatan rumah sakit mesti kurang 5% danreproduction numberharus 1 atau kurang. Semua indikator ini mesti terpenuhi selama paling tidak beberapa bulan.
Efek Endemi
Perubahan status pandemi menjadi endemi memberi pesan bahwa virus Covid-19 akan selamanya ada dalam kehidupan manusia. Ini akan membawa sejumlah dampak. Pertama, pada status endemi, akan terjadi perubahan strategi dan kebijakan dalam mengatasi Covid-19. Ketika dilabeli endemi, wabah Covid-19 dianggap bukan kondisi krisis lagi. Karenanya, akan ada penurunan alokasi sumber daya, pendanaan dan kegiatan terpadu dalam penatalaksanaannya. Tindakan tes dantracetidak dilakukan secara masif lagi; hanya orang yang bergejala yang dites PCR. Puskesmas akan menjadi sentra pelayanan utama.
Pemerintah tidak akan mengimplementasikan lagi pembatasan pergerakan seperti PSBB atau PSBK. Bandara akan dibuka tanpa syarat atau dengan persyaratan minimal. Tidak ada lagi keharusan melakukan tes untuk bepergian. Sekolah mulai dibuka seperti semula. Para pekerja kembali melakukan aktivitasnya dikantor. Hanya segelintir pekerja yang dibolehkan tetap melakukanwork from home.
Status endemi juga mengubah state of mindmasyarakat. Perubahan label endemi akan mengubah imejwabah di mata masyarakat. Masyarakat akan menganggap Covid-19 sebagai penyakit biasa dan cenderung meng-underestimate-nya. Covid-19 dianggap penyakit ringan. Kalaupun mereka mengalami keluhan spesifik, mereka tidak akan mau periksa atau berobat. Anjuran melakukan vaksinasi rutin kemungkinan akan diabaikan. Masyarakat juga akan mengabaikan penggunaan masker, cuci tangan dan menjaga jarak.
Angka kesakitan dan kematian akibat Covid-19 tidak dianggap serius lagi. Penyakit endemi malaria saja, yang setiap tahun menginfeksi 241 juta orang dan membunuh 627.000 orang, tidak lagi membuat masyarakat panik danshocking. Padahalmagnitudeepidemiologinya sangat signifikan. Kenapa? Karenastate of mindmasyarakat terlanjur menganggap malaria adalah ‘penyakit biasa-biasa saja’.
Perubahan kebijakan pemerintah danstate of mindmasyarakat ini berpotensi meroketkan kembali laju kasus dan kematian Covid-19. Ini tentu berbahaya. Makanya, keputusan penetapan status endemi harus dipertimbangkan secara matang, dengan menggunakan basis rasional dan multi-dimensional. Tidak perluujug-ujug. Jangan sampai status endemi ditetapkan hari ini dan beberapa bulan kemudian dicabut lagi akibat lonjakan kasus dan kematian. Inishamingsekaligusdeteriorating imagebuat pemerintah. Ujung-ujungnya, mereka akan dianggap tidak becus dan tidak profesional menangani pandemi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda