Pengeras Suara dan Noise Pollution

Minggu, 27 Februari 2022 - 08:15 WIB
Lalu, dari mana datangnya pandangan yang menyatakan bahwa Menteri Agama melarang azan menggunakan pengeras suara? Kontroversi ini pertama kali muncul dari pendapat seorang politisi yang menyatakan bahwa Menteri Agama menyamakan antara suara azan yang keluar dari pengeras suara dengan gongongan anjing. Dari sinilah kontroversi ini bermula. Kontroversi ini sepenuhnya bisa dipahami karena umat Islam mana yang tidak akan terbakar hatinya jika seorang Menteri Agama menyatakan hal itu.

Pendapat sang politisi ini kemudian dimassifikasi oleh media dan segera menjadi isu liar. Isi dari Surat Edaran tidak lagi menjadi bahan perdebatan publik yang sehat, tapi terdistorisi secara fatal seakan-akan Menteri Agama menyamakan suara azan dengan gonggongan anjing dan pelantunan suara azan melalui pengeras suara dilarang. Betapa jauhnya distorsi ini. Justru informasi distortif inilah yang saat ini menjadi perdebatan publik yang dipenuhi dengan cacian dan hinaan.

Sekarang, marilah kita mendudukkan masalahnya dengan nalar kritis. Jika ada seseorang yang merasa terganggu dengan kerasnya suara kereta api yang tengah melintas di samping rumahnya, dan di lain waktu dia juga merasa terganggu dengan kerasnya suara musik yang diputar oleh anak tetangga sebelah, apakah orang itu menyamakan suara kereta api dengan musik? Dalam kasus ini, kita pasti tidak akan membuat kesimpulan bahwa orang itu menyamakan suara musik dengan suara kereta api? Mengapa? Karena dalam kasus ini, nalar sehat kita tetap bekerja dengan baik, tidak dikalahkan oleh emosi yang sedang dibakar oleh kesalahpahaman.

Nalar sehat kita jelas tidak membuat kesimpulan seperti itu karena kita tahu bahwa yang mengganggu bagi orang tersebut adalah kebisingannya, bukan menyamakan esensi kedua suara tersebut. Berbicara tentang kebisingan, para ahli lingkungan telah lama memberi perhatian terhadap dampak dari kebisingan ini melalui konsep polusi kebisingan (noise pollution). Noise pollution didefinisikan sebagai setiap suara yang tidak diinginkan atau mengganggu yang menyebabkan pada kesehatan dan kebaikan manusia serta organisma lain.

Suara diukur dalam ukuran desibel (dB). Volume suara di atas 85 dB dinyatakan para ilmuan dapat membahayakan manusia. Polusi kebisingan ini tanpa disadari berdampak pada kesehatan jutaan orang. Dampak yang paling umum dari polusi kebisingan adalah hilangnya pendengaran. Polusi kebisingan juga dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, penyakit jantung, ganggunan tidur, hingga stres. Anak-anak adalah kelompok umur yang paling berisiko terkenan dampak negatif dari polusi kebisingan ini.

Kebisingan adalah kebisingan, dari mana pun sumbernya. Karena itulah maka penggunaan pengeras suara, sekalipun itu untuk acara keagamaan di rumah ibadah, perlu diatur agar ekspresi keberagamaan tidak menimbulkan ekses negatif hanya karena penggunaan pengeras suara yang berlebihan.

Dalam konteks kehidupan bersama sebagai bangsa, polusi kebisingan tidak hanya memiliki dampak pada kesehatan orang per orang, tapi juga terhadap harmoni kehidupan sosial. Dalam sebuah bangsa yang majemuk seperti Indonesia, ruang publik dihuni oleh sekian ragam orang dengan kebutuhan dan keyakinan yang beragam. Persaudaraan dan harmoni sosial adalah hal yang harus menjadi perhatian bersama. Bukankah kebaikan bersama (al-maslahah al-ammah atau bonum commune) adalah inti dan tujuan dari setiap agama?
(abd)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More