Pengeras Suara dan Noise Pollution

Minggu, 27 Februari 2022 - 08:15 WIB
Ahmad Zainul Hamdi. FOTO/DOK.PRIBADI
Ahmad Zainul Hamdi

Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

DALAM sebuah kesempatan, seorang akademisi bertanya: "Apakah selama ini suara azan terdengar mengganggu sehingga perlu dibatasi?" Pertanyaan sang akademisi ini terlontar dalam kaitannya dengan Surat Edara Menteri Agama Republik Indonesia Nomor SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Pertanyaan di atas mungkin saat ini mewakili ribuan orang yang terlanjur masuk dalam pusaran kontroversi publik mengiringi keluarnya Surat Edaran tersebut dan penjelasan Menteri Agama tentangnya. Kontroversi menjadi cepat meluas setidaknya karena dua hal. Pertama, informasi dan komunikasi publik saat ini banyak diperantarai oleh media sosial. Hal ini membuat semua hal yang ada di media sosial menjadi cepat tersebar dan meluas menyelusupi tidak hanya ruang-ruang sosial, tapi juga ceruk-ceruk privat yang tidak bisa ditembus melalui cara-cara komunikasi konvensional. Kedua, isu yang diangkat adalah agama, satu entitas yang begitu dalam membentuk makna hidup manusia. Setiap isu tentangnya akan cepat mengaduk emosi setiap orang, baik dalam pengertian positif maupun negatif.



Dua faktor inilah yang setidaknya membuat perbincangan publik tentang surat edaran tersebut meledak menjadi wacana populer. Hampir setiap orang terlibat di dalamnya, mulai dari politisi, tokoh agama, hingga masyarakat awam.

Tentu saja ada banyak kepentingan di balik suara-suara yang pro dan kontra. Politisi yang meletupkannya jelas memiliki kepentingan politik tertentu. Para tokoh agama merespons permasalahan ini dilandasi oleh ideologi keagamaan tertentu. Kelompok-kelompok masyarakat juga memberi respons dengan kapasitas pengetahuan yang dimilikinya atau sekedar mengikuti pendapat tokoh yang menjadi panutannya.

Sekali pun demikian, ada yang patut disesalkan dari kontroversi ini, yaitu publik kehilangan fokus untuk melihat isi Surat Edaran itu sendiri. Ruang publik yang semestinya menjadi arena civil society dalam mengkritisi sebuah kabijakan yang dikeluarkan oleh negara berubah menjadi perang olokan yang jauh dari subjek pokoknya. Jika kita mengamati hiruk-pikuk masalah ini di media sosial, yang kita temukan adalah olokan, umpatan, bahkan ancaman, dengan bahasa atau gambar-gambar yang sangat vulgar.

Harus diakui bahwa arus informasi dan cara-cara komunikasi di ruang publik memang tidak selalu sehat. Sekali pun demikian, adalah penting untuk menuntut kelompok-kelompok terpelajar untuk tetap menyalakan nalar kritis dalam menyikapi sebuah masalah. Orang awam mungkin mudah terprovokasi dengan sebuah berita heboh karena tidak cukup terdidik untuk mengkonfirmasi kebenarannya melalui pencarian informasi yang lebih lengkap melalui sumber-sumber yang kredibel. Namun, orang terdidik mestinya memiliki sikap dan cara merespons yang berbeda terhadap sebuah informasi karena seharusnya memiliki sikap curiousity yang kuat dengan nalar kritis yang tetap menyala.

Dengan sikap jujur dan kritis, semestinya pertanyaan di awal tulisan ini tidak terlontar dari kalangan terididik. Karena sejauh kita menelaah isi Surat Edaran Menteri Agama, tidak ada satu pun kalimat yang melarang pelantunan azan menggunakan pengeras suara. Di bagian "tata Cara Penggunaan Pengeras Suara" bahkan secara eksplisit dinyatakan bahwa "Pengumandangan azan menggunakan pengeras suara luar". Surat edaran ini sama sekali tidak melarang menggunakan pengeras suara dalam aktivitas syiar Islam di masjid dan musala, tapi mengaturnya agar penggunaan itu tidak berlebihan.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More