Menyelamatkan Pendidikan dari Kesemrawutan
Selasa, 28 Desember 2021 - 12:54 WIB
Model pembelajaran lainnya yang seringkali dipertukarkan dengan blended learning adalah flipped learning. Flipped learning adalah model pembelajaran yang mengutamakan terjadinya proses belajar di lingkungan individu siswa. Ruang kelas hanya digunakan secara khusus sebagai ruang interaksi yang dinamis dalam mendiskusikan gagasan, hasil pekerjaan, dan sarana siswa untuk mendapatkan bantuan belajar. Ruang pertemuan dalam flipped learning dapat di ruang kelas fisik maupun ruang maya.
Terakhir adalah remote learning, yaitu model pembelajaran yang menekankan pada proses terjadinya belajar, baik dalam hal interaksi antara guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa-materi dilakukan sepenuhnya secara daring karena suatu keadaan yang bersifat darurat. Pelaksanaan remote learning memerlukan sumber daya yang responsif baik dari sisi perangkat teknologi maupun kesiapan tenaga terampil.
Bila dikaitkan dengan konteks kekinian, maka model blended learning tak relevan karena tidak memungkinkan adanya pertemuan fisik seluruh siswa di kelas. Demikian juga, remote learning tak layak lagi menjadi pilihan karena para siswa sudah mengalami kejenuhan belajar yang akut.
Pada titik ini, perlu adanya pemulihan model pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan level pendidikan siswa. Misal, di tingkat pendidikan dasar, dengan memperhatikan risiko kesehatan dan karakteristik perkembangan siswanya maka dapat menggunakan hybrid learning. Dengan begitu, siswa usia sekolah dasar berkesempatan membangun kembali rasa komunitas dan efikasi diri seiring intensitasnnya berinteraksi dengan teman dan guru. Konsekuensinya, di setiap lembaga pendidikan dasar harus menjaga kedisiplinan protokol kesehatan sekaligus terus mengasah kemampuan guru dalam menyuplai sumberdaya psikologis untuk siswa serta lihai mengorkestrasi pembelajaran berbasis digital.
Sedangkan di tingkat pendidikan menengah dan tinggi dapat menggunakan model flipped learning. Dengan begitu, siswa maupun mahasiswa mendapatkan ruang otonomi lebih untuk mengeksplorasi rasa keingintahuannya dan ruang kelas benar-benar hanya digunakan sebagai ruang pertemuan pikiran dan pertukaran emosi positif.
Sumber Daya Personal Siswa
Kompleksitas yang dihadapi sektor pendidikan saat ini terbukti secara nyata berdampak negatif pada daya kembang siswa. Maka bukan tidak mungkin bila siswa akan mengalami kelelahan psikologis. Kondisi yang sejatinya dapat menghambat akselerasi siswa dalam mengembalikan kemampuannya pasca pandemi.
Selain menerapkan beragam model pembelajaran yang telah diurakan di atas, gerak pendidikan perlu diarahkan juga untuk melindungi kesehatan psikologis siswa dengan berfokus pada berkembangnya sumberdaya personal. Feldman (2014) menguraikan bahwa setidaknya ada tiga sumberdaya personal yang dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan terbaiknya di sekolah yakni, harapan, efikasi diri, dan optimisme.
Harapan siswa dapat diintervensi melalui agency thinking dengan memberikan bantuan terbimbing kepada siswa agar terjaga motivasi belajarnyadan pathways thinking dengan memberikan perencanaan tujuan pembelajaran secara gamblang sehingga mudah dicapai oleh siswa (Snyder, 1994).
Sementara itu, efikasi diri dapat dibangun dengan menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Dalam hal ini adalah lingkungan fisik, lingkungan virtual, lingkungan sosial, lingkungan emosional, dan lingkungan intelektual pembelajaran.
Terakhir adalah remote learning, yaitu model pembelajaran yang menekankan pada proses terjadinya belajar, baik dalam hal interaksi antara guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa-materi dilakukan sepenuhnya secara daring karena suatu keadaan yang bersifat darurat. Pelaksanaan remote learning memerlukan sumber daya yang responsif baik dari sisi perangkat teknologi maupun kesiapan tenaga terampil.
Bila dikaitkan dengan konteks kekinian, maka model blended learning tak relevan karena tidak memungkinkan adanya pertemuan fisik seluruh siswa di kelas. Demikian juga, remote learning tak layak lagi menjadi pilihan karena para siswa sudah mengalami kejenuhan belajar yang akut.
Pada titik ini, perlu adanya pemulihan model pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan level pendidikan siswa. Misal, di tingkat pendidikan dasar, dengan memperhatikan risiko kesehatan dan karakteristik perkembangan siswanya maka dapat menggunakan hybrid learning. Dengan begitu, siswa usia sekolah dasar berkesempatan membangun kembali rasa komunitas dan efikasi diri seiring intensitasnnya berinteraksi dengan teman dan guru. Konsekuensinya, di setiap lembaga pendidikan dasar harus menjaga kedisiplinan protokol kesehatan sekaligus terus mengasah kemampuan guru dalam menyuplai sumberdaya psikologis untuk siswa serta lihai mengorkestrasi pembelajaran berbasis digital.
Sedangkan di tingkat pendidikan menengah dan tinggi dapat menggunakan model flipped learning. Dengan begitu, siswa maupun mahasiswa mendapatkan ruang otonomi lebih untuk mengeksplorasi rasa keingintahuannya dan ruang kelas benar-benar hanya digunakan sebagai ruang pertemuan pikiran dan pertukaran emosi positif.
Sumber Daya Personal Siswa
Kompleksitas yang dihadapi sektor pendidikan saat ini terbukti secara nyata berdampak negatif pada daya kembang siswa. Maka bukan tidak mungkin bila siswa akan mengalami kelelahan psikologis. Kondisi yang sejatinya dapat menghambat akselerasi siswa dalam mengembalikan kemampuannya pasca pandemi.
Selain menerapkan beragam model pembelajaran yang telah diurakan di atas, gerak pendidikan perlu diarahkan juga untuk melindungi kesehatan psikologis siswa dengan berfokus pada berkembangnya sumberdaya personal. Feldman (2014) menguraikan bahwa setidaknya ada tiga sumberdaya personal yang dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan terbaiknya di sekolah yakni, harapan, efikasi diri, dan optimisme.
Harapan siswa dapat diintervensi melalui agency thinking dengan memberikan bantuan terbimbing kepada siswa agar terjaga motivasi belajarnyadan pathways thinking dengan memberikan perencanaan tujuan pembelajaran secara gamblang sehingga mudah dicapai oleh siswa (Snyder, 1994).
Sementara itu, efikasi diri dapat dibangun dengan menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Dalam hal ini adalah lingkungan fisik, lingkungan virtual, lingkungan sosial, lingkungan emosional, dan lingkungan intelektual pembelajaran.
tulis komentar anda