Mengembalikan Anak-Anak ke Sekolah

Jum'at, 10 September 2021 - 17:40 WIB
loading...
Mengembalikan Anak-Anak...
Debora Comini dan H.E Kenji Kanasugi (Foto: Ist)
A A A
Debora Comini, UNICEF Representative dan
H.E. Kenji Kanasugi, Duta BesarJepang untuk Indonesia

SAAT sekolah-sekolah di Indonesia ditutup pada awal bulan Maret 2020 dalam upaya menahan laju penularan Covid-19, banyak pihak yakin penutupan itu hanya sementara. Akan tetapi, lebih dari satu tahun telah berlalu, dan sebagian besar murid jenjang sekolah dasar dan menengah belum kembali ke ruang kelas.

Pada masa puncak penutupan sekolah awal 2020, terdapat lebih dari 60 juta anak yang kemudian kehilangan tempat belajar dan terpaksa meneruskan pendidikannya secara jarak jauh. Sejak itu, jumlah sekolah yang telah kembali dibuka bertambah, namun secara total hanya seperempat sekolah dari seluruh Indonesia yang sudah melanjutkan pertemuan tatap muka, meskipun pengalaman global menunjukkan bahwa, dengan protokol kesehatan yang baik, anak dan sekolah bukan pendorong utama penularan Covid-19 di masyarakat.

Berbagai krisis terdahulu memperlihatkan kepada kita bahwa anak-anak yang paling rentan adalah yang merasakan dampak terberat dari penutupan sekolah. Pemerintah dan pihak swasta terus berupaya mendukung murid dan keluarga mereka dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ), namun masih banyak anak yang mengalami gangguan signifikan dalam pendidikannya akibat kendala-kendala yang belum teratasi. Terdapat jutaan keluarga yang tidak punya akses ke layanan internet dan gawai yang stabil dan terjangkau. Di samping itu, banyak orang tua tidak memiliki waktu ataupun kemampuan untuk mendampingi anak melakukan PJJ.

Sebelum Covid-19 terjadi, tercatat 4,3 juta anak Indonesia tidak bersekolah dan sekitar 70% dari murid Indonesia berusia 15 tahun tidak mencapai tingkat kemampuan minimum dalam bidang literasi dan matematika. Penutupan sekolah yang berkepanjangan mengancam merusak kemajuan dalam hal tingkat partisipasi sekolah yang telah dicapai Indonesia pada kurun sepuluh tahun terakhir. Anak-anak yang paling marjinal—mereka yang datang dari keluarga termiskin, yang tinggal di kawasan perdesaan dan terpencil, dan anak dengan disabilitas—menghadapi risiko terbesar mengalami marjinalitas yang semakin jauh dan kian tertinggal dari teman sebayanya, mengingat angka anak putus sekolah terus bertambah.

Namun, di luar dampak penutupan sekolah terhadap pendidikan itu sendiri, ada risiko lain yang dihadapi anak tidak bersekolah. Terdapat kekhawatiran tentang kenaikan angka kasus perkawinan usia anak dan kekerasan terhadap anak, dua hal yang dapat mencegah anak dari tetap bersekolah. Layanan dasar untuk anak yang diberikan melalui sekolah, seperti imunisasi, makanan, dan dukungan psikososial turut terganggu secara signifikan atau terhenti sama sekali. Keterisolasian sosial, digabungkan dengan ketidakpastian dari segi ekonomi, telah berdampak besar terhadap kesehatan mental remaja.

Konsekuensi-konsekuensi berat di atas terhadap pendidikan, perlindungan, dan kesejahteraan anak tidak dapat diremehkan, bahkan menunjukkan betapa pentingnya memprioritaskan rencana pembukaan kembali sekolah. Meskipun Indonesia dan Jepang memiliki perbedaan dari segi budaya, ekonomi, dan sosial, pengalaman Jepang dapat memberikan gambaran tentang pembukaan kembali sekolah dengan aman pada masa pandemi. Di Jepang, seluruh sekolah ditutup untuk sementara waktu pada Februari 2020, akan tetapi banyak sekolah telah kembali dibuka dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dalam rangka mencegah penularan. Pembukaan tetap dilanjutkan meskipun penularan varian Delta kian marak dan angka kasus terkonfirmasi Covid-19 naik. Hal ini dilakukan atas kesadaran bahwa memastikan agar tidak ada satu pun anak yang tertinggal sama pentingnya dengan melindungi mereka dari Covid-19. Penutupan sekolah pada tingkat daerah dilakukan hanya jika seluruh kegiatan sosial dan ekonomi terhenti.

Upaya bersama—khususnya pada tingkat daerah—dibutuhkan untuk melindungi anak dari Covid-19, sambil tetap mengupayakan pembukaan sekolah secara aman untuk semua anak sejalan dengan aturan nasional untuk pembelajaran tatap muka. Program “Pembukaan Sekolah dengan Aman” yang tengah dilaksanakan di Provinsi Papua dan Provinsi Sulawesi Selatan, didukung oleh UNICEF dan Pemerintah Jepang, adalah satu contohnya. Melalui program ini, UNICEF bekerja sama dengan dinas setempat untuk memastikan anak dapat kembali dengan aman ke sekolah dan melanjutkan pembelajaran, membuka kembali layanan kesehatan yang terhambat selama pandemi, meningkatkan mutu sarana air, sanitasi, dan kebersihan (WASH); mengampanyekan taat aturan kesehatan, dan memperluas layanan perlindungan anak agar menjangkau mereka yang paling membutuhkan.

Namun demikian, agar seluruh sekolah di Indonesia dapat dibuka secara penuh dan tidak kembali ditutup, guru-guru pun harus diprioritaskan sebagai penerima vaksin Covid-19 agar mereka terlindung serta dapat kembali mengajar di ruang kelas. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan pentingnya vaksinasi untuk guru dan menerbitkan peraturan serta kebijakan penting yang menggarisbawahi guru sebagai kelompok prioritas dalam program vaksinasi.

Akan tetapi, laju vaksinasi guru masih perlu ditingkatkan. Hingga 5 September 2021, 60% dari 5,6 juta guru dan tenaga kependidikan di Indonesia telah menerima vaksin dosis pertama, sementara 39% telah menerima vaksin dosis lengkap. Terdapat kesenjangan besar dalam angka vaksinasi guru antarprovinsi dan daerah—di DKI Jakarta, 81% guru telah divaksin, sementara Maluku Utara mencatat hanya 18%. Sangat penting bagi otoritas setempat untuk memberikan informasi tentang akses vaksin Covid-19 kepada para guru serta memfasilitasi akses dengan segera.

Untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi di Indonesia, Jepang telah mendonasikan 2,16 juta dosis vaksin AstraZeneca serta terus mendukung Indonesia dalam upaya bersama melawan pandemi. Terkait dengan dukungan untuk Pemerintah Indonesia yang mendorong pelaksanaan belajar tatap muka secara terbatas, percepatan vaksinasi untuk guru diharapkan mendorong kembalinya anak ke ruang kelas.

Bagi anak, sekolah bermakna lebih dari tempat mencari pengetahuan formal. Dalam satu tahun terakhir, anak-anak tidak mendapatkan layanan esensial dan kehilangan interaksi dengan guru dan teman—hal-hal yang penting bagi kesejahteraan dan perkembangan mereka. Kita tidak dapat membiarkan generasi ini menanggung kerugian yang lebih jauh lagi terhadap masa depan mereka.

Kita harus mengembalikan anak-anak ke sekolah.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1863 seconds (0.1#10.140)