Menyelamatkan Pendidikan dari Kesemrawutan

Selasa, 28 Desember 2021 - 12:54 WIB
loading...
Menyelamatkan Pendidikan...
Wahyu Widodo (Ist)
A A A
Wahyu Widodo
Kandidat Doktor Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Malang; Dosen Ilmu Pendidikan di Universitas Tribhuwana Tunggadewi

SAMPAI saat ini sektor pendidikan masih bergumul dalam ruang kesemrawutan yang pelik. Di beberapa daerah tampak terselip suasana ketidakpastian karena munculnya kluster baru yang mengancam kesehatan siswa. Lebih dari itu semua, kurikulum yang dijalankan selama masa transisi adalah kurikulum serbadarurat, dari darurat pembelajaran online beralih ke darurat pembelajaran tatap muka. Akhirnya learning loss menjadi fenomena yang nyata.

Untuk membalikkan keadaan itu, pembelajaran bermutasi dalam berbagai model, misalnya, blended learning, hybrid learning, remote learning, dan flipped learning. Sialnya, pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas benar-benar masih “terbatas” akibat pemahaman atas ragam model pembelajaran online yang salah kaprah.

Salah Kaprah Pembelajaran Online
Ragam model pembelajaran online seperti disebutkan di atas seringkali disederhanakan dalam wujud pembelajaran melalui aplikasi tatap muka online seperti zoom ataupun google meet. Alih-alih memperbaiki learning loss siswa, yang terjadi adalah sebaliknya, siswa semakin jenuh mengikuti rangkaian pembelajaran.

Demikian juga, sebagian besar lembaga pendidikan masih menerapkan sistem pembelajaran tatap muka terbatas dengan simplifikasi model blended learning. Akibatnya, siswa tidak mendapatkan pengalaman belajar yang inovatif. Padahal tidaklah demikian, setiap ragam model pembelajaran online membawa prinsip pembelajaran yang berbeda.

Ada baiknya kita ingat kembali beberapa konsep dari ragam model pembelajaran di atas. Yang pertama adalah blended learning. Blended learning merupakan model pembelajaran yang mana aktivitas dan pertemuan siswa terjadi secara offline di ruang kelas dengan didukung teknologi pembelajaran. Perlu ditekankan bahwa kekuatan utama model blended learning adalah adanya pertemuan fisik di ruang kelas yang memungkinkan siswa berekplorasi secara mandiri menggunakan fasilitas teknologi pembelajaran yang dirancang oleh guru. Sehingga siswa dapat membangun pengetahuannya melalui pertukaran gagasan secara atraktif.

Berbeda halnya dengan hybrid learning yang seringkali dipertukarkan dengan blended learning. Hybrid learning adalah model pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar siswa di dua tempat yang berbeda secara synchronous yakni secara langsung atau real time dengan didukung teknologi digital. Konkretnya, separuh rombongan belajar mengikuti pembelajaran di kelas dan separuh yang lain mengikuti pembelajaran di rumah ataupun di tempat lainnya melalui teknologi digital.

Model pembelajaran lainnya yang seringkali dipertukarkan dengan blended learning adalah flipped learning. Flipped learning adalah model pembelajaran yang mengutamakan terjadinya proses belajar di lingkungan individu siswa. Ruang kelas hanya digunakan secara khusus sebagai ruang interaksi yang dinamis dalam mendiskusikan gagasan, hasil pekerjaan, dan sarana siswa untuk mendapatkan bantuan belajar. Ruang pertemuan dalam flipped learning dapat di ruang kelas fisik maupun ruang maya.

Terakhir adalah remote learning, yaitu model pembelajaran yang menekankan pada proses terjadinya belajar, baik dalam hal interaksi antara guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa-materi dilakukan sepenuhnya secara daring karena suatu keadaan yang bersifat darurat. Pelaksanaan remote learning memerlukan sumber daya yang responsif baik dari sisi perangkat teknologi maupun kesiapan tenaga terampil.

Bila dikaitkan dengan konteks kekinian, maka model blended learning tak relevan karena tidak memungkinkan adanya pertemuan fisik seluruh siswa di kelas. Demikian juga, remote learning tak layak lagi menjadi pilihan karena para siswa sudah mengalami kejenuhan belajar yang akut.

Pada titik ini, perlu adanya pemulihan model pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan level pendidikan siswa. Misal, di tingkat pendidikan dasar, dengan memperhatikan risiko kesehatan dan karakteristik perkembangan siswanya maka dapat menggunakan hybrid learning. Dengan begitu, siswa usia sekolah dasar berkesempatan membangun kembali rasa komunitas dan efikasi diri seiring intensitasnnya berinteraksi dengan teman dan guru. Konsekuensinya, di setiap lembaga pendidikan dasar harus menjaga kedisiplinan protokol kesehatan sekaligus terus mengasah kemampuan guru dalam menyuplai sumberdaya psikologis untuk siswa serta lihai mengorkestrasi pembelajaran berbasis digital.

Sedangkan di tingkat pendidikan menengah dan tinggi dapat menggunakan model flipped learning. Dengan begitu, siswa maupun mahasiswa mendapatkan ruang otonomi lebih untuk mengeksplorasi rasa keingintahuannya dan ruang kelas benar-benar hanya digunakan sebagai ruang pertemuan pikiran dan pertukaran emosi positif.

Sumber Daya Personal Siswa
Kompleksitas yang dihadapi sektor pendidikan saat ini terbukti secara nyata berdampak negatif pada daya kembang siswa. Maka bukan tidak mungkin bila siswa akan mengalami kelelahan psikologis. Kondisi yang sejatinya dapat menghambat akselerasi siswa dalam mengembalikan kemampuannya pasca pandemi.

Selain menerapkan beragam model pembelajaran yang telah diurakan di atas, gerak pendidikan perlu diarahkan juga untuk melindungi kesehatan psikologis siswa dengan berfokus pada berkembangnya sumberdaya personal. Feldman (2014) menguraikan bahwa setidaknya ada tiga sumberdaya personal yang dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan terbaiknya di sekolah yakni, harapan, efikasi diri, dan optimisme.

Harapan siswa dapat diintervensi melalui agency thinking dengan memberikan bantuan terbimbing kepada siswa agar terjaga motivasi belajarnyadan pathways thinking dengan memberikan perencanaan tujuan pembelajaran secara gamblang sehingga mudah dicapai oleh siswa (Snyder, 1994).

Sementara itu, efikasi diri dapat dibangun dengan menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Dalam hal ini adalah lingkungan fisik, lingkungan virtual, lingkungan sosial, lingkungan emosional, dan lingkungan intelektual pembelajaran.

Sedangkan optimisme dapat dibangun dengan terus meningkatkan kemampuan sekolah secara kelembagaan dan guru secara personal agar mampu mengatasi setiap permasalahan sehingga siswa terbebas dari perasaan cemas dan pesimis.

Masih tampak nyata bahwa pandemi yang berlangsung sekian lama telah mengacak-acak struktur psikologis, melemahkan kemampuan kognisi siswa, dan mendisrupsi peran guru dalam pembelajaran. Oleh karena itu, penyelamatan pendidikan di era kesemrawutan harus segera dilakukan dengan menyusun rancang bangun pendidikan yang mengakar kuat pada akar kemanusiaan dan menjulang tinggi ditopang teknologi.

(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1405 seconds (0.1#10.140)