Menuju Tatanan Baru New Normal
Senin, 08 Juni 2020 - 07:29 WIB
M. Muchlas Rowi
Komisaris independen PT Jamkrindo
Pandemi Covid-19 memang peristiwa luar biasa. Krisis ini tak hanya merusak kesehatan sebagai aset terpenting kehidupan manusia, namun juga mengubah hampir semua aspek kehidupan.
Setidaknya separuh penduduk dunia terkunci di dalam rumah, terpenjara dalam dinding-dinding yang dibuat sendiri. Tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan di luar rumah. Semua dikontrol dan dikerjakan dari rumah. Belajar, bekerja, dan beribadah di rumah.
Para pakar psikologi menengarai ada sejumlah perubahan perilaku yang muncul selama pandemi. Mulai dari kecemasan berlebihan, kesepian, dan depresi yang kian meningkat. Secuil peristiwa emosional yang meletup pun berpotensi menjadi huru hara besar.
Seperti kita saksikan saat ini di Minneapolis Amerika Serikat. Berawal dari adanya dugaan penggunaan uang palsu saat berbelanja di toko makanan, Negeri Paman Sam saat ini tengah berada di ujung nadir karena protes yang luas berkecamuk di hampir seluruh negeri, bahkan mengundang gerakan solidaritas internasional. Dari sini kita atau siapa pun mestinya semakin yakin, jika pandemi covid -19 adalah peristiwa nyata, dan efeknya begitu kentara.
Anehnya, narasi yang menganggap pandemi covid-19 beserta lika liku hidup di dalamnya bersifat sementara justeru tumbuh subur. Mereka menganggap, ketika jumlah korban yang terinfeksi dan meninggal dunia telah mencapai puncak, lalu secara berangsur mulai mengalami penurunan, krisis covid-19 pun akan berakhir.
Tidak heran jika banyak pihak yang menunggu perkembangan. Enggan melakukan upaya ekstra atau paling tidak melakukan antisipasi, karena adanya anggapan badai pasti berlalu. Keadaan akan segera normal seperti sediakala. Sandyakalaning Covid-19. (Baca: IDP Tegaskan New Normal Tak Berarti Pelonggaran Protokol Kesehatan)
Tak sekadar wait and see, sesat pikir juga menyusup dalam kepala. Menganggap wacana new normal yang digulirkan teramat berbahaya dan imajinasi belaka. Seumpama katak yang direbus di atas panci, ada orang yang merasa cukup dengan bertahan dan tak perlu menanggapi perubahan akibat pandemi.
Komisaris independen PT Jamkrindo
Pandemi Covid-19 memang peristiwa luar biasa. Krisis ini tak hanya merusak kesehatan sebagai aset terpenting kehidupan manusia, namun juga mengubah hampir semua aspek kehidupan.
Setidaknya separuh penduduk dunia terkunci di dalam rumah, terpenjara dalam dinding-dinding yang dibuat sendiri. Tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan di luar rumah. Semua dikontrol dan dikerjakan dari rumah. Belajar, bekerja, dan beribadah di rumah.
Para pakar psikologi menengarai ada sejumlah perubahan perilaku yang muncul selama pandemi. Mulai dari kecemasan berlebihan, kesepian, dan depresi yang kian meningkat. Secuil peristiwa emosional yang meletup pun berpotensi menjadi huru hara besar.
Seperti kita saksikan saat ini di Minneapolis Amerika Serikat. Berawal dari adanya dugaan penggunaan uang palsu saat berbelanja di toko makanan, Negeri Paman Sam saat ini tengah berada di ujung nadir karena protes yang luas berkecamuk di hampir seluruh negeri, bahkan mengundang gerakan solidaritas internasional. Dari sini kita atau siapa pun mestinya semakin yakin, jika pandemi covid -19 adalah peristiwa nyata, dan efeknya begitu kentara.
Anehnya, narasi yang menganggap pandemi covid-19 beserta lika liku hidup di dalamnya bersifat sementara justeru tumbuh subur. Mereka menganggap, ketika jumlah korban yang terinfeksi dan meninggal dunia telah mencapai puncak, lalu secara berangsur mulai mengalami penurunan, krisis covid-19 pun akan berakhir.
Tidak heran jika banyak pihak yang menunggu perkembangan. Enggan melakukan upaya ekstra atau paling tidak melakukan antisipasi, karena adanya anggapan badai pasti berlalu. Keadaan akan segera normal seperti sediakala. Sandyakalaning Covid-19. (Baca: IDP Tegaskan New Normal Tak Berarti Pelonggaran Protokol Kesehatan)
Tak sekadar wait and see, sesat pikir juga menyusup dalam kepala. Menganggap wacana new normal yang digulirkan teramat berbahaya dan imajinasi belaka. Seumpama katak yang direbus di atas panci, ada orang yang merasa cukup dengan bertahan dan tak perlu menanggapi perubahan akibat pandemi.
tulis komentar anda