Menuju Tatanan Baru New Normal
loading...
A
A
A
M. Muchlas Rowi
Komisaris independen PT Jamkrindo
Pandemi Covid-19 memang peristiwa luar biasa. Krisis ini tak hanya merusak kesehatan sebagai aset terpenting kehidupan manusia, namun juga mengubah hampir semua aspek kehidupan.
Setidaknya separuh penduduk dunia terkunci di dalam rumah, terpenjara dalam dinding-dinding yang dibuat sendiri. Tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan di luar rumah. Semua dikontrol dan dikerjakan dari rumah. Belajar, bekerja, dan beribadah di rumah.
Para pakar psikologi menengarai ada sejumlah perubahan perilaku yang muncul selama pandemi. Mulai dari kecemasan berlebihan, kesepian, dan depresi yang kian meningkat. Secuil peristiwa emosional yang meletup pun berpotensi menjadi huru hara besar.
Seperti kita saksikan saat ini di Minneapolis Amerika Serikat. Berawal dari adanya dugaan penggunaan uang palsu saat berbelanja di toko makanan, Negeri Paman Sam saat ini tengah berada di ujung nadir karena protes yang luas berkecamuk di hampir seluruh negeri, bahkan mengundang gerakan solidaritas internasional. Dari sini kita atau siapa pun mestinya semakin yakin, jika pandemi covid -19 adalah peristiwa nyata, dan efeknya begitu kentara.
Anehnya, narasi yang menganggap pandemi covid-19 beserta lika liku hidup di dalamnya bersifat sementara justeru tumbuh subur. Mereka menganggap, ketika jumlah korban yang terinfeksi dan meninggal dunia telah mencapai puncak, lalu secara berangsur mulai mengalami penurunan, krisis covid-19 pun akan berakhir.
Tidak heran jika banyak pihak yang menunggu perkembangan. Enggan melakukan upaya ekstra atau paling tidak melakukan antisipasi, karena adanya anggapan badai pasti berlalu. Keadaan akan segera normal seperti sediakala. Sandyakalaning Covid-19. (Baca: IDP Tegaskan New Normal Tak Berarti Pelonggaran Protokol Kesehatan)
Tak sekadar wait and see, sesat pikir juga menyusup dalam kepala. Menganggap wacana new normal yang digulirkan teramat berbahaya dan imajinasi belaka. Seumpama katak yang direbus di atas panci, ada orang yang merasa cukup dengan bertahan dan tak perlu menanggapi perubahan akibat pandemi.
Ketika masuk dalam panci dan mulai timbul gelembung halus dari air bagian bawah, respon katak hanya diam. Beberapa menit kemudian, muncul gelembung kecil dan bergerak ke permukaan, tapi katak tetap diam.
Bahkan, ketika gelembung kian membesar dan air sampai pada titik didihnya, katak tetap diam. Hingga akhirnya, dia tak lagi memiliki waktu untuk melompat dan harus rela menjadi swike.
Genealogi New Normal
Dalam kondisi kedaruratan, semua hal memang bisa terjadi, termasuk munculnya sindrom “katak rebus” seperti ilustrasi di atas. Karena itu penting untuk mengelola emosi, narasi, dan juga aksi nyata untuk menyampaikan informasi yang sesungguhnya soal pandemi ini.
Covid-19 betul-betul telah menciptakan perubahan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible changes), sementara perubahan tersebut di masa selanjutnya menjadi permanen (changes permanently). Selama vaksin belum berhasil ditemukan, selama itu pula kita akan menjalani kehidupan yang tidak normal. Kalaupun vaksin berhasil ditemukan, maka yang terjadi justru kita akan meninggalkan kebiasaan lama atau old normal menuju kebiasaan baru atau new normal.
Teminologi new normal pertama kali dibuat dan dipopulerkan Roger Mcnamee pada 2004. Menurut pebisnis sekaligus musisi ini new normal atau normal baru menunjukkan sebuah situasi pasca-krisis ekonomi (2007-2008) dan resesi global (2008-2012) yang membutuhkan aturan baru dalam aktivitas bisnis.
Istilah ini muncul dari konteks mengingatkan kepercayaan para ekonom dan pembuat kebijakan bahwa industri akan dioperasikan dengan cara terbaru mereka setelah mengalami krisis. Sejak itu, new normal digunakan dalam berbagai konteks lain untuk menyiratkan bahwa sesuatu yang sebelumnya tak normal telah menjadi biasa.
Dari sini, kita pun mengenal adanya tiga fase yang harus dilewati selama pandemi yaitu business as usual mode yang kita sebut old normal, kemudian survival mode atau new normal dan recovery serta growth mode atau next normal. (Baca juga: Ingat! Ini Jadwal Operasional MRT Besok Selama Masa PSBB Transisi)
Salah satu bentuk new normal yang paling kita rasakan adalah adanya pergeseran pekerjaan yang tadinya di kantor menjadi di rumah. Di luar pekerjaan kantor biasa, rumah pun memiliki arti baru ketika individu dan keluarga mencari cara baru untuk menyeimbangkan kebutuhan hidup-kerja dalam keterbatasan ruang.
Realitas seperti itu membuat banyak perusahaan yang mengalami kekurangan likuditas akan berusaha mengurangi ruang kantor dan infrastruktur. Orang-orang pun mulai membawa peralatan khusus, mesin, teknologi dan bahkan asuransi ke rumahnya.
New normal juga meniscayakan pengiriman dan penerimaan transaksi yang dilakukan dari rumah. Sehingga banyak bisnis ritel dan distributor produk akan beralih ke pengiriman dan atau remote pertama. Publik tentu saja berharap, ada solusi pengiriman barang atau produk yang lebih aman dan higienis. Rantai pasokan barang atau produk pun mengalami kemajuan tanpa perlu melakukan kontak fisik terlalu banyak.
Analis Teknologi Ben Evans menuturkan, bahwa pandemi yang terus berlanjut kian membalikan dunia, kesadaran baru mulai muncul pada kehidupan manusia. Bahwa hari ini, siapa pun akan melakukan apa saja secara online. Perubahan sedang terjadi dalam skala yang belum pernah kita duga sebelumnya.
Perubahan ini juga menyasar sektor bisnis. Perubahan perilaku konsumen dengan membatasi interaksi fisik dan mengurangi aktivitas di luar rumah terbukti memberi peluang lebih besar bagi sektor yang telah terintegrasi dengan ekosistem digital. Diperkirakan beberapa bisnis yang akan berkembang dan booming di masa depan adalah seperti life insurance, e-comerce, remote working, logistic, online schooling, online training, telemedicine, dan online transportation.
Sementara, sektor bisnis yang diprediksi akan mengalami keterpurukan adalah hotel, travel, bioskop, mall, retail, hiburan, properti, restoran, dan persewaan kantor.
Paradigma Baru
New Normal juga membuat orang lebih peduli terhadap kebersihan. Masker akan selalu dikenakan untuk menutup mulut dan hidung saat bepergian, begitu juga dengan kebiasaan cuci tangan, akan menjadi rutinitas yang baru. (Baca juga: Ini Rincian Protokol New Normal di Lingkungan Bandara)
Banyak orang juga menjadi lebih peduli terhadap kesehatan dengan menjaga kekebalan tubuh melalui olahraga teratur, makan makanan bergizi, dan mengonsumsi suplemen dan vitamin terutama herbal.
Perubahan di sektor bisnis ini di satu sisi menjadi keuntungan bagi pelaku usaha. Dimana tercipta work life balance atau keseimbangan kehidupan kerja pasca pandemi. Selain itu, produktivitas juga akan meningkat.
Pada akhirnya, orang yang bisa bertahan pasca pandemi bukanlah yang paling besar, kuat, atau kaya, melainkan yang paling bisa beradaptasi seperti kata teori Darwin. Karena itu, hadapi dan sabar menerima keadaan. (Lihat Videonya: Pelaku Usaha Sambut Baik Masa Transisi PSBB di Jakarta)
Hanya saja, karena kesabaran dalam terminologi agama juga tidak pasif namun aktif, maka kita pun dituntut untuk progresif menjemput masa depan.
Dalam konteks ini, maka menjemput masa depan di era post pandemi tidak cukup dengan new normal. Kita juga perlu sebuah paradigma baru melihat kehidupan. Mengubah pola interaksi manusia dengan alam, rendah hati, berperilaku hidup sederhana atau secukupnya, serta menjaga keseimbangan ekosistem.
Selain itu, krisis pandemic Covid-19 juga telah memperlihatkan betapa pentingnya modal sosial. Memupuk kepedulian antar sesama manusia dan antar sesama makhluk hidup. Karena sudah menjadi pengetahuan umum, bila terjadinya pandemi ini juga akibat ulah manusia yang tidak menjaga keseimbangan alam semesta.
Komisaris independen PT Jamkrindo
Pandemi Covid-19 memang peristiwa luar biasa. Krisis ini tak hanya merusak kesehatan sebagai aset terpenting kehidupan manusia, namun juga mengubah hampir semua aspek kehidupan.
Setidaknya separuh penduduk dunia terkunci di dalam rumah, terpenjara dalam dinding-dinding yang dibuat sendiri. Tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan di luar rumah. Semua dikontrol dan dikerjakan dari rumah. Belajar, bekerja, dan beribadah di rumah.
Para pakar psikologi menengarai ada sejumlah perubahan perilaku yang muncul selama pandemi. Mulai dari kecemasan berlebihan, kesepian, dan depresi yang kian meningkat. Secuil peristiwa emosional yang meletup pun berpotensi menjadi huru hara besar.
Seperti kita saksikan saat ini di Minneapolis Amerika Serikat. Berawal dari adanya dugaan penggunaan uang palsu saat berbelanja di toko makanan, Negeri Paman Sam saat ini tengah berada di ujung nadir karena protes yang luas berkecamuk di hampir seluruh negeri, bahkan mengundang gerakan solidaritas internasional. Dari sini kita atau siapa pun mestinya semakin yakin, jika pandemi covid -19 adalah peristiwa nyata, dan efeknya begitu kentara.
Anehnya, narasi yang menganggap pandemi covid-19 beserta lika liku hidup di dalamnya bersifat sementara justeru tumbuh subur. Mereka menganggap, ketika jumlah korban yang terinfeksi dan meninggal dunia telah mencapai puncak, lalu secara berangsur mulai mengalami penurunan, krisis covid-19 pun akan berakhir.
Tidak heran jika banyak pihak yang menunggu perkembangan. Enggan melakukan upaya ekstra atau paling tidak melakukan antisipasi, karena adanya anggapan badai pasti berlalu. Keadaan akan segera normal seperti sediakala. Sandyakalaning Covid-19. (Baca: IDP Tegaskan New Normal Tak Berarti Pelonggaran Protokol Kesehatan)
Tak sekadar wait and see, sesat pikir juga menyusup dalam kepala. Menganggap wacana new normal yang digulirkan teramat berbahaya dan imajinasi belaka. Seumpama katak yang direbus di atas panci, ada orang yang merasa cukup dengan bertahan dan tak perlu menanggapi perubahan akibat pandemi.
Ketika masuk dalam panci dan mulai timbul gelembung halus dari air bagian bawah, respon katak hanya diam. Beberapa menit kemudian, muncul gelembung kecil dan bergerak ke permukaan, tapi katak tetap diam.
Bahkan, ketika gelembung kian membesar dan air sampai pada titik didihnya, katak tetap diam. Hingga akhirnya, dia tak lagi memiliki waktu untuk melompat dan harus rela menjadi swike.
Genealogi New Normal
Dalam kondisi kedaruratan, semua hal memang bisa terjadi, termasuk munculnya sindrom “katak rebus” seperti ilustrasi di atas. Karena itu penting untuk mengelola emosi, narasi, dan juga aksi nyata untuk menyampaikan informasi yang sesungguhnya soal pandemi ini.
Covid-19 betul-betul telah menciptakan perubahan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible changes), sementara perubahan tersebut di masa selanjutnya menjadi permanen (changes permanently). Selama vaksin belum berhasil ditemukan, selama itu pula kita akan menjalani kehidupan yang tidak normal. Kalaupun vaksin berhasil ditemukan, maka yang terjadi justru kita akan meninggalkan kebiasaan lama atau old normal menuju kebiasaan baru atau new normal.
Teminologi new normal pertama kali dibuat dan dipopulerkan Roger Mcnamee pada 2004. Menurut pebisnis sekaligus musisi ini new normal atau normal baru menunjukkan sebuah situasi pasca-krisis ekonomi (2007-2008) dan resesi global (2008-2012) yang membutuhkan aturan baru dalam aktivitas bisnis.
Istilah ini muncul dari konteks mengingatkan kepercayaan para ekonom dan pembuat kebijakan bahwa industri akan dioperasikan dengan cara terbaru mereka setelah mengalami krisis. Sejak itu, new normal digunakan dalam berbagai konteks lain untuk menyiratkan bahwa sesuatu yang sebelumnya tak normal telah menjadi biasa.
Dari sini, kita pun mengenal adanya tiga fase yang harus dilewati selama pandemi yaitu business as usual mode yang kita sebut old normal, kemudian survival mode atau new normal dan recovery serta growth mode atau next normal. (Baca juga: Ingat! Ini Jadwal Operasional MRT Besok Selama Masa PSBB Transisi)
Salah satu bentuk new normal yang paling kita rasakan adalah adanya pergeseran pekerjaan yang tadinya di kantor menjadi di rumah. Di luar pekerjaan kantor biasa, rumah pun memiliki arti baru ketika individu dan keluarga mencari cara baru untuk menyeimbangkan kebutuhan hidup-kerja dalam keterbatasan ruang.
Realitas seperti itu membuat banyak perusahaan yang mengalami kekurangan likuditas akan berusaha mengurangi ruang kantor dan infrastruktur. Orang-orang pun mulai membawa peralatan khusus, mesin, teknologi dan bahkan asuransi ke rumahnya.
New normal juga meniscayakan pengiriman dan penerimaan transaksi yang dilakukan dari rumah. Sehingga banyak bisnis ritel dan distributor produk akan beralih ke pengiriman dan atau remote pertama. Publik tentu saja berharap, ada solusi pengiriman barang atau produk yang lebih aman dan higienis. Rantai pasokan barang atau produk pun mengalami kemajuan tanpa perlu melakukan kontak fisik terlalu banyak.
Analis Teknologi Ben Evans menuturkan, bahwa pandemi yang terus berlanjut kian membalikan dunia, kesadaran baru mulai muncul pada kehidupan manusia. Bahwa hari ini, siapa pun akan melakukan apa saja secara online. Perubahan sedang terjadi dalam skala yang belum pernah kita duga sebelumnya.
Perubahan ini juga menyasar sektor bisnis. Perubahan perilaku konsumen dengan membatasi interaksi fisik dan mengurangi aktivitas di luar rumah terbukti memberi peluang lebih besar bagi sektor yang telah terintegrasi dengan ekosistem digital. Diperkirakan beberapa bisnis yang akan berkembang dan booming di masa depan adalah seperti life insurance, e-comerce, remote working, logistic, online schooling, online training, telemedicine, dan online transportation.
Sementara, sektor bisnis yang diprediksi akan mengalami keterpurukan adalah hotel, travel, bioskop, mall, retail, hiburan, properti, restoran, dan persewaan kantor.
Paradigma Baru
New Normal juga membuat orang lebih peduli terhadap kebersihan. Masker akan selalu dikenakan untuk menutup mulut dan hidung saat bepergian, begitu juga dengan kebiasaan cuci tangan, akan menjadi rutinitas yang baru. (Baca juga: Ini Rincian Protokol New Normal di Lingkungan Bandara)
Banyak orang juga menjadi lebih peduli terhadap kesehatan dengan menjaga kekebalan tubuh melalui olahraga teratur, makan makanan bergizi, dan mengonsumsi suplemen dan vitamin terutama herbal.
Perubahan di sektor bisnis ini di satu sisi menjadi keuntungan bagi pelaku usaha. Dimana tercipta work life balance atau keseimbangan kehidupan kerja pasca pandemi. Selain itu, produktivitas juga akan meningkat.
Pada akhirnya, orang yang bisa bertahan pasca pandemi bukanlah yang paling besar, kuat, atau kaya, melainkan yang paling bisa beradaptasi seperti kata teori Darwin. Karena itu, hadapi dan sabar menerima keadaan. (Lihat Videonya: Pelaku Usaha Sambut Baik Masa Transisi PSBB di Jakarta)
Hanya saja, karena kesabaran dalam terminologi agama juga tidak pasif namun aktif, maka kita pun dituntut untuk progresif menjemput masa depan.
Dalam konteks ini, maka menjemput masa depan di era post pandemi tidak cukup dengan new normal. Kita juga perlu sebuah paradigma baru melihat kehidupan. Mengubah pola interaksi manusia dengan alam, rendah hati, berperilaku hidup sederhana atau secukupnya, serta menjaga keseimbangan ekosistem.
Selain itu, krisis pandemic Covid-19 juga telah memperlihatkan betapa pentingnya modal sosial. Memupuk kepedulian antar sesama manusia dan antar sesama makhluk hidup. Karena sudah menjadi pengetahuan umum, bila terjadinya pandemi ini juga akibat ulah manusia yang tidak menjaga keseimbangan alam semesta.
(ysw)