Fantasi Pembunuh dan Pembangun Karakter Bangsa
Jum'at, 29 Oktober 2021 - 07:12 WIB
Ambil satu contoh, budi pekerti yang disempurnakan dengan pendidikan moral Pancasila (PMP) dan pedoman penghayatannya (P4) ’dibunuh’, meskipun kali ini masih tersiar PPKn yang direduksi menjadi PKn. Alih-alih, kini tertatih-tatih lagi dengan nama PKn dan Budi Pekerti. Benar-benar ibarat terserang sindrom “sisipus” pendidikan karakter untuk para intelek bangsa kita.
10 Pembunuh Karakter
Gejala ini jauh hari telah diungkap Thomas Lickona (seorang profesor pendidikan dari Cortland University). Lickona merumuskan 10 (sepuluh) tanda zaman yang menggila. Ancaman ini harus sigap dan sadar diwaspadai karena dapat mengusung bangsa menuju jurang kehancuran.
baca juga: Era Digital, Karakter Bangsa Dinilai Perlu Terus Dibangun
Ke-10 ancaman itu adalah 1) peningkatan kekerasan atau banalitas di kalangan remaja atau masyarakat; 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk atau tidak baku; 3) pengaruh peer group (geng) dalam tindak kekerasan semakin tidak terkendali; 4) peningkatan perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; 5) makin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; 6) penurunan etos kerja; 7) makin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok; 9) membudayanya kebohongan atau ketidakjujuran; serta 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian antarsesama.
Jika kita benturkan ke kiprah pendidikan (karakter) bangsa, ternyata banyak hamparan contoh kasus yang mencolok mata. Kasus itu pun transparan menyembelih karakter. Tidak pandang bulu dari kaum elit wakil rakyat (punggawa negara), golongan pejabat, pendidik, pengajar, pengusaha, penegak hukum, ulama, kaum religius, tokoh masyarakat, hingga para pelajar yang digadang-gadang sebagai tunas bangsa; justru dikebiri lebih dini.
baca juga: Ibu, Pelopor Pembentuk Karakter Bangsa
Sayang, barisan intelek dan cendekia bangsa diberangus, ditutupi slogan semata. Dampaknya diperparah oleh keteladanan nasional yang diamuk krisis. Kepemimpinan negara hilang wibawa. Karisma bangsa sengaja disingkirkan. Hampa penghargaan. Pembiaran prestasi. Hasilnya, bangsa kita tidak lebih dari sosok bangsa hipokrit.
Lantas bagaimana mungkin karakter bangsa digebyah uyah lagi? Sebab telah banyak perilaku menyimpang menyeruak ke publik. Misalnya berkali-kali di jenjang pendidikan SD hingga SMA selalu terjadi perundungan atau bullying (ulah kekerasan—mendorong, menjotos, memalak, menyindir, menghina, dan perlakuan kasar ”si kuat” kepada ”si lemah”), komunitas KKN yang melembaga, bohong massal, tawuran dan transaksi narkoba antarpelajar, hingga kasus video kekerasan dan video porno.
Perilaku menyimpang ini pun menerpa penegak hukum, pejabat, dan pendidik. Antisipasinya, pemerintah terlambat menggagas pemberlakuan pendidikan karakter di seluruh jenjang pendidikan. Menganggapnya remeh. Bahkan, pemerintah pun terengah-engah menggulirkan pendidikan karakter untuk antikorupsi. Pasalnya, millieu korupsi sudah menjadi tabiat kolektif, membudaya, dan menggurita.
10 Pembunuh Karakter
Gejala ini jauh hari telah diungkap Thomas Lickona (seorang profesor pendidikan dari Cortland University). Lickona merumuskan 10 (sepuluh) tanda zaman yang menggila. Ancaman ini harus sigap dan sadar diwaspadai karena dapat mengusung bangsa menuju jurang kehancuran.
baca juga: Era Digital, Karakter Bangsa Dinilai Perlu Terus Dibangun
Ke-10 ancaman itu adalah 1) peningkatan kekerasan atau banalitas di kalangan remaja atau masyarakat; 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk atau tidak baku; 3) pengaruh peer group (geng) dalam tindak kekerasan semakin tidak terkendali; 4) peningkatan perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; 5) makin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; 6) penurunan etos kerja; 7) makin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru; 8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok; 9) membudayanya kebohongan atau ketidakjujuran; serta 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian antarsesama.
Jika kita benturkan ke kiprah pendidikan (karakter) bangsa, ternyata banyak hamparan contoh kasus yang mencolok mata. Kasus itu pun transparan menyembelih karakter. Tidak pandang bulu dari kaum elit wakil rakyat (punggawa negara), golongan pejabat, pendidik, pengajar, pengusaha, penegak hukum, ulama, kaum religius, tokoh masyarakat, hingga para pelajar yang digadang-gadang sebagai tunas bangsa; justru dikebiri lebih dini.
baca juga: Ibu, Pelopor Pembentuk Karakter Bangsa
Sayang, barisan intelek dan cendekia bangsa diberangus, ditutupi slogan semata. Dampaknya diperparah oleh keteladanan nasional yang diamuk krisis. Kepemimpinan negara hilang wibawa. Karisma bangsa sengaja disingkirkan. Hampa penghargaan. Pembiaran prestasi. Hasilnya, bangsa kita tidak lebih dari sosok bangsa hipokrit.
Lantas bagaimana mungkin karakter bangsa digebyah uyah lagi? Sebab telah banyak perilaku menyimpang menyeruak ke publik. Misalnya berkali-kali di jenjang pendidikan SD hingga SMA selalu terjadi perundungan atau bullying (ulah kekerasan—mendorong, menjotos, memalak, menyindir, menghina, dan perlakuan kasar ”si kuat” kepada ”si lemah”), komunitas KKN yang melembaga, bohong massal, tawuran dan transaksi narkoba antarpelajar, hingga kasus video kekerasan dan video porno.
Perilaku menyimpang ini pun menerpa penegak hukum, pejabat, dan pendidik. Antisipasinya, pemerintah terlambat menggagas pemberlakuan pendidikan karakter di seluruh jenjang pendidikan. Menganggapnya remeh. Bahkan, pemerintah pun terengah-engah menggulirkan pendidikan karakter untuk antikorupsi. Pasalnya, millieu korupsi sudah menjadi tabiat kolektif, membudaya, dan menggurita.
tulis komentar anda