Fantasi Pembunuh dan Pembangun Karakter Bangsa
Jum'at, 29 Oktober 2021 - 07:12 WIB
Apalagi kiprah pendidikan terkini sedang menderita degradasi mental atau krisis karakter bagi para pelajar. Kasus ini menjadi stigma atau cacat-pikir dan kontraproduktif terhadap penumbuhan karakter yang berawal dari sekolah. Penggalakannya perlu mendapatkan aksi nyata yang serius. Bukan hanya diwacanakan atau selalu dinarasikan tataran Peraturan Menteri. Begitu gawatkah?
Sampai hari ini wajah bangsa dicap karut-marut. Kusut, kacau, rusuh, banyak bohong dan dusta. Opini dan wacana terlaris untuk konteks karut-marut ini adalah mengelap-lap karakter. Karakter bangsa diunggah. Karakter digosok lagi agar wingko katon kencono, bukan kencono katon wingko. Mengutip petuah Ir Soekarno, elan vital ’roh’ berbangsa harus ’dibangun-bangunkan, dibangkit-bangkitkan, dan dihidup-hidupkan’ kembali. Betapa tidak?
baca juga: 7 Tahun Kepemimpinan Jokowi, Kualitas Pendidikan Masih Stagnan
Bangsa kita telah terjebak lingkaran setan untuk berbuat dan bersikap. Bangsa kita telanjur asyik bermain labirin sekaligus terperosok di dalamnya. Wakil rakyat meninggalkan aspirasi rakyat. Menggagas negara demi kepentingan partai. Gerak-gerik penggagas bangsa jadi serbasalah dan keki. Ini menandakan ada sistem politik berbangsa yang jelas salah, tetapi nekat diakrabi. Labirin ini menjangkiti sendi-sendi ipoleksosbud hankamnas. Sayang, bangsa kita terlena. Teledor. Gagal mengawal kewaspadaan bersama.
Membangun Karakter
Mari menanam budi pekerti. Mari menumbuhkan pribadi berkarakter. Ajakan akbar ini mencuat dalam gelaran berbagai seminar yang bertema pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa. Mental anak bangsa telanjur anjlok dalam sistem karut-marut. Arus zaman edan ala neoliberal makin menggila, diguyur lagi era homo digitalis.
Para wakil rakyat memilih tabiat ewuh aya, hipokrit. Lucunya, semua underan karakter bangsa justru dikembalikan ke jati diri keluarga kita masing-masing selagi betah mengarungi rumah besar yang bernama Indonesia. Perlukah revolusi lagi manakala reformasi hanya gigit jari? Dasarnya gamblang bahwa wawasan rumah besar Indonesia itu jelas dituliskan dalam empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI).
baca juga: 8.053 Guru Penggerak Angkatan 4 Jalani Pendidikan, Ini Harapan Nadiem
Siapa lagi yang masih peduli, patuh komitmen, teguh militansi untuk membangun karakter yang ambruk ini kalau bukan ranah keluarga? Bukankah empat pilar kebangsaan kita sekarang ini hanya dijadikan aksesori belaka? Di kemanakan eksistensi integritas? Perlukah kita selalu berkaok koar tentang pakta integritas? Nah, menyampah lagi, kan?
Membangun karakter berarti butuh proses. Ada usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki dan membentuk tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak insan manusia sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik berlandaskan adinilai Pancasila. Inilah moral dasar kita. Tetapi mengapa disepelekan, dianggap remeh, gampang, dan kuno? Bahkan, ada pengemban kebijakan ranah pendidikan kita berusaha mendepaknya.
Sampai hari ini wajah bangsa dicap karut-marut. Kusut, kacau, rusuh, banyak bohong dan dusta. Opini dan wacana terlaris untuk konteks karut-marut ini adalah mengelap-lap karakter. Karakter bangsa diunggah. Karakter digosok lagi agar wingko katon kencono, bukan kencono katon wingko. Mengutip petuah Ir Soekarno, elan vital ’roh’ berbangsa harus ’dibangun-bangunkan, dibangkit-bangkitkan, dan dihidup-hidupkan’ kembali. Betapa tidak?
baca juga: 7 Tahun Kepemimpinan Jokowi, Kualitas Pendidikan Masih Stagnan
Bangsa kita telah terjebak lingkaran setan untuk berbuat dan bersikap. Bangsa kita telanjur asyik bermain labirin sekaligus terperosok di dalamnya. Wakil rakyat meninggalkan aspirasi rakyat. Menggagas negara demi kepentingan partai. Gerak-gerik penggagas bangsa jadi serbasalah dan keki. Ini menandakan ada sistem politik berbangsa yang jelas salah, tetapi nekat diakrabi. Labirin ini menjangkiti sendi-sendi ipoleksosbud hankamnas. Sayang, bangsa kita terlena. Teledor. Gagal mengawal kewaspadaan bersama.
Membangun Karakter
Mari menanam budi pekerti. Mari menumbuhkan pribadi berkarakter. Ajakan akbar ini mencuat dalam gelaran berbagai seminar yang bertema pendidikan karakter sebagai pilar kebangkitan bangsa. Mental anak bangsa telanjur anjlok dalam sistem karut-marut. Arus zaman edan ala neoliberal makin menggila, diguyur lagi era homo digitalis.
Para wakil rakyat memilih tabiat ewuh aya, hipokrit. Lucunya, semua underan karakter bangsa justru dikembalikan ke jati diri keluarga kita masing-masing selagi betah mengarungi rumah besar yang bernama Indonesia. Perlukah revolusi lagi manakala reformasi hanya gigit jari? Dasarnya gamblang bahwa wawasan rumah besar Indonesia itu jelas dituliskan dalam empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI).
baca juga: 8.053 Guru Penggerak Angkatan 4 Jalani Pendidikan, Ini Harapan Nadiem
Siapa lagi yang masih peduli, patuh komitmen, teguh militansi untuk membangun karakter yang ambruk ini kalau bukan ranah keluarga? Bukankah empat pilar kebangsaan kita sekarang ini hanya dijadikan aksesori belaka? Di kemanakan eksistensi integritas? Perlukah kita selalu berkaok koar tentang pakta integritas? Nah, menyampah lagi, kan?
Membangun karakter berarti butuh proses. Ada usaha yang dilakukan untuk membina, memperbaiki dan membentuk tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak insan manusia sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik berlandaskan adinilai Pancasila. Inilah moral dasar kita. Tetapi mengapa disepelekan, dianggap remeh, gampang, dan kuno? Bahkan, ada pengemban kebijakan ranah pendidikan kita berusaha mendepaknya.
tulis komentar anda