Tergesa-gesa ‘New Normal’
Minggu, 31 Mei 2020 - 11:17 WIB
Tentu yang kita tidak harapkan terjadi adalah tergesa-gesanya Pemerintah menerapkan New Normal sebagai agenda lempar tanggung jawab penanganan Covid-19 ke pundak rakyat. Karena New Normal basisnya adalah perubahan perilaku masyarakat berdisiplin dengan protokol kesehatan, bisa memunculkan sikap Pemerintah yang cenderung menyalahkan rakyat jika pandemi tak kunjung reda. Jika ini yang terjadi, pemerintah perlu ingat Pembukaan UUD 1945 yang menyebut Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tanggung jawab terbesar ada pada pemerintah.
Masih Banyak Persoalan Mendasar
Ada cukup banyak pendapat dan kritik mengatakan saat ini belum tepat diterapkan New Normal/Pelonggaran PSBB, mengingat tahapan PSBB yang berlangsung di 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota masih belum optimal menekan laju penyebaran virus. Jika kita tengok lebih jauh perjalanan penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh Pemerintah, terlihat masih ada cukup banyak persoalan yang mendasar.
Pertama, sejak ditetapkan keadaan darurat bencana virus corona pada tanggal 28 Januari 2020 dan dibentuknya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia pada 13 Maret 2020 hingga saat ini (30/05/2020) tidak pernah ada kejelasan grand design penanganan virus corona. Wacana pelonggaran PSBB ataupun New Normal menjadi tidak perlu saat ada grand design karena di dalamnya ada kejelasan strategi dan tahapan juga memuat kriteria dan tolak ukur yang jelas dalam penanganan pandemi.
Kedua, koordinasi dan komunikasi yang terlihat amburadul. Tidak nampak siapa komando tertinggi yang mampu mengatur langkah dan gerak cepat penanganan pandemi. Masyarakat sering dibuat bingung dengan suguhan pernyataan para pejabat pemerintah yang berbeda dan berubah-ubah, juga aturan yang saling bertentangan. Seperti soal larangan mudik dan pulang kampung, juga soal kebijakan operasional transportasi yang berbeda antara aturan PSBB dengan Kementerian Perhubungan.
Ketiga, kemampuan uji/tes Covid-19 yang belum memadai dan merata di daerah. Presiden pernah memberikan target uji spesimen 10 ribu per hari, namun hingga akhir Mei 2020 baru 2 kali bisa sesuai target. Para ahli epidemiologi berpendapat penyajian data secara real time dari jumlah tes yang memadai akan menghadirkan kurva Covid-19 yang obyektif sebagai dasar untuk menilai apakah trend perkembangan virus.
Keempat, kesenjangan jumlah SDM dan sarana prasarana kesehatan di daerah. Pada tahun 2018, rasio jumlah tempat tidur rumah sakit (RS) hanya 1 dibanding 1000 penduduk, sementara dari 10 ribu Puskesmas yang ada baru 33 persen yang dianggap memadai. Di sisi yang lain sejumlah RS di daerah masih mengeluhkan kurangnya alat pelindung diri (APD). Jumlah ruang isolasi RS di sejumlah daerah juga masih kurang sementara fasilitas penanganangan Covid-19 juga dikeluhkan sejumlah dokter masih minim. Dan juga patut menjadi catatan hingga pertengahan Mei 2020 terdapat 55 tenaga medis dinyatakan meninggal akibat Covid-19.
Kelima, tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat mengikuti protokol kesehatan masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan PSBB di berbagai daerah yang tidak optimal dan banyak terjadi pelanggaran.
Dengan berbagai persoalan mendasar yang masih mengemuka di atas, sesungguhnya dapat dinilai seberapa siap New Normal/pelonggaran PSBB diberlakukan. Apalagi jika melihat adanya ancaman munculnya gelombang kedua penyebaran virus sebagaimana terjadi di Korea Selatan dan Jepang setelah dilakukan kebijakan pelonggaran.
Jujur dan Disiplin Menentukan Keberhasilan
Masih Banyak Persoalan Mendasar
Ada cukup banyak pendapat dan kritik mengatakan saat ini belum tepat diterapkan New Normal/Pelonggaran PSBB, mengingat tahapan PSBB yang berlangsung di 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota masih belum optimal menekan laju penyebaran virus. Jika kita tengok lebih jauh perjalanan penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh Pemerintah, terlihat masih ada cukup banyak persoalan yang mendasar.
Pertama, sejak ditetapkan keadaan darurat bencana virus corona pada tanggal 28 Januari 2020 dan dibentuknya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia pada 13 Maret 2020 hingga saat ini (30/05/2020) tidak pernah ada kejelasan grand design penanganan virus corona. Wacana pelonggaran PSBB ataupun New Normal menjadi tidak perlu saat ada grand design karena di dalamnya ada kejelasan strategi dan tahapan juga memuat kriteria dan tolak ukur yang jelas dalam penanganan pandemi.
Kedua, koordinasi dan komunikasi yang terlihat amburadul. Tidak nampak siapa komando tertinggi yang mampu mengatur langkah dan gerak cepat penanganan pandemi. Masyarakat sering dibuat bingung dengan suguhan pernyataan para pejabat pemerintah yang berbeda dan berubah-ubah, juga aturan yang saling bertentangan. Seperti soal larangan mudik dan pulang kampung, juga soal kebijakan operasional transportasi yang berbeda antara aturan PSBB dengan Kementerian Perhubungan.
Ketiga, kemampuan uji/tes Covid-19 yang belum memadai dan merata di daerah. Presiden pernah memberikan target uji spesimen 10 ribu per hari, namun hingga akhir Mei 2020 baru 2 kali bisa sesuai target. Para ahli epidemiologi berpendapat penyajian data secara real time dari jumlah tes yang memadai akan menghadirkan kurva Covid-19 yang obyektif sebagai dasar untuk menilai apakah trend perkembangan virus.
Keempat, kesenjangan jumlah SDM dan sarana prasarana kesehatan di daerah. Pada tahun 2018, rasio jumlah tempat tidur rumah sakit (RS) hanya 1 dibanding 1000 penduduk, sementara dari 10 ribu Puskesmas yang ada baru 33 persen yang dianggap memadai. Di sisi yang lain sejumlah RS di daerah masih mengeluhkan kurangnya alat pelindung diri (APD). Jumlah ruang isolasi RS di sejumlah daerah juga masih kurang sementara fasilitas penanganangan Covid-19 juga dikeluhkan sejumlah dokter masih minim. Dan juga patut menjadi catatan hingga pertengahan Mei 2020 terdapat 55 tenaga medis dinyatakan meninggal akibat Covid-19.
Kelima, tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat mengikuti protokol kesehatan masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan PSBB di berbagai daerah yang tidak optimal dan banyak terjadi pelanggaran.
Dengan berbagai persoalan mendasar yang masih mengemuka di atas, sesungguhnya dapat dinilai seberapa siap New Normal/pelonggaran PSBB diberlakukan. Apalagi jika melihat adanya ancaman munculnya gelombang kedua penyebaran virus sebagaimana terjadi di Korea Selatan dan Jepang setelah dilakukan kebijakan pelonggaran.
Jujur dan Disiplin Menentukan Keberhasilan
tulis komentar anda