Tergesa-gesa ‘New Normal’

Minggu, 31 Mei 2020 - 11:17 WIB
loading...
Tergesa-gesa ‘New Normal’
Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Polhukam yang juga Anggota Komisi I DPR RI, Dapil DIY, Sukamta, Ph.D. Foto/SINDOnews
A A A
Sukamta, Ph.D
Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Polhukam,
Anggota Komisi I DPR RI, Dapil DIY.

HARI ini istilah New Normal semakin populer di tengah masyarakat, apalagi Presiden dan jajarannya terus mewacanakan rencana pemberlakukan New Normal ke sejumlah daerah yang telah melaksanakan PSBB. Tak pelak hal ini mengundang sejumlah kritik, menganggap wacana pemerintah semakin membingungkan masyarakat. Di satu sisi sejumlah daerah sedang bergelut laksanakan PSBB di sisi lain terus diwacanakan pelonggaran PSBB dan kemudian disusul wacana New Normal. Mengapa pemerintah tergesa-gesa wacanakan New Normal? Sudah tepatkah kebijakan New Normal diberlakukan saat ini?

New Normal, Gimik Pelonggaran PSBB
New Normal sesungguhnya bukan istilah baru. Istilah ini awalnya dicetuskan para ekonom Amerika Serikat (AS) untuk menyiasati situasi pasca krisis finansial 2007-2008 dan resesi global 2008-2012. Kemudian New Normal dipopulerkan kembali oleh Paul Glover, aktivis asal Philadelphia, sebagai panduan bagi warga Kota Philadelphia hadapi isu global warming. New Normal dalam konteks pandemi Covid-19 pertama kali disuarakan oleh tim dokter di Universitas Kansas Health System AS yang menyatakan pandemi yang menewaskan ratusan ribu jiwa di seluruh dunia akan mengubah tatanan hidup keseharian manusia.

Saat ini perubahan perilaku masyarakat telah nyata terjadi di berbagai belahan dunia. Termasuk di Indonesia, kita merasakan sendiri perubahan perilaku tersebut dengan lebih banyak beraktivitas di rumah, menjaga jarak, menjadi lebih rajin cuci tangan dan mengenakan masker saat keluar rumah. Informasi yang kita dapat tentang bagaimana penularan Covid-19 terjadi dan bagaimana mencegahnya sejak bulan Februari 2020 telah membentuk kesadaran yang muncul dalam perubahan perilaku. Ini berarti adaptasi New Normal tengah berlangsung jauh hari sebelum Presiden dan jajarannya mewacanakan hal ini.

Sementara wacana New Normal yang disampaikan oleh Presiden dan jajarannya lebih tepat jika disebut sebagai rencana kebijakan pelonggaran PSBB. Hal ini sebagaimana ungkapan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona (Covid-19) Achmad Yurianto (28/05/2020) yang mengibaratkan New Normal seperti rem. Lengkapnya ia mengatakan "PSBB kemarin itu gasnya, sekarang new normalnya itu rem-nya. Kalau digas terus enggak direm bagaimana" kemudian juga dikatakan "Ini sistem ya, kemarin dibatas-batasi ya, sekarang new normal mulai dikurangi-kurangi. Kan begitu.”

Dengan demikian wajar jika ada anggapan New Normal adalah gimik untuk mengganti wacana pelonggaran PSBB yang menuai banyak kritik. Berbagai kritik anggap wacana pelonggaran oleh Pemerintah bertolak belakang dengan upaya daerah melaksanakan PSBB, alhasil kebingungan muncul di tengah masyarakat. Penggunaan istilah New Normal yang sudah populer barangkali diharap dapat menghapus opini negatif wacana pelonggaran PSBB.

Tentu yang kita tidak harapkan terjadi adalah tergesa-gesanya Pemerintah menerapkan New Normal sebagai agenda lempar tanggung jawab penanganan Covid-19 ke pundak rakyat. Karena New Normal basisnya adalah perubahan perilaku masyarakat berdisiplin dengan protokol kesehatan, bisa memunculkan sikap Pemerintah yang cenderung menyalahkan rakyat jika pandemi tak kunjung reda. Jika ini yang terjadi, pemerintah perlu ingat Pembukaan UUD 1945 yang menyebut Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tanggung jawab terbesar ada pada pemerintah.

Masih Banyak Persoalan Mendasar
Ada cukup banyak pendapat dan kritik mengatakan saat ini belum tepat diterapkan New Normal/Pelonggaran PSBB, mengingat tahapan PSBB yang berlangsung di 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota masih belum optimal menekan laju penyebaran virus. Jika kita tengok lebih jauh perjalanan penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh Pemerintah, terlihat masih ada cukup banyak persoalan yang mendasar.

Pertama, sejak ditetapkan keadaan darurat bencana virus corona pada tanggal 28 Januari 2020 dan dibentuknya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia pada 13 Maret 2020 hingga saat ini (30/05/2020) tidak pernah ada kejelasan grand design penanganan virus corona. Wacana pelonggaran PSBB ataupun New Normal menjadi tidak perlu saat ada grand design karena di dalamnya ada kejelasan strategi dan tahapan juga memuat kriteria dan tolak ukur yang jelas dalam penanganan pandemi.

Kedua, koordinasi dan komunikasi yang terlihat amburadul. Tidak nampak siapa komando tertinggi yang mampu mengatur langkah dan gerak cepat penanganan pandemi. Masyarakat sering dibuat bingung dengan suguhan pernyataan para pejabat pemerintah yang berbeda dan berubah-ubah, juga aturan yang saling bertentangan. Seperti soal larangan mudik dan pulang kampung, juga soal kebijakan operasional transportasi yang berbeda antara aturan PSBB dengan Kementerian Perhubungan.

Ketiga, kemampuan uji/tes Covid-19 yang belum memadai dan merata di daerah. Presiden pernah memberikan target uji spesimen 10 ribu per hari, namun hingga akhir Mei 2020 baru 2 kali bisa sesuai target. Para ahli epidemiologi berpendapat penyajian data secara real time dari jumlah tes yang memadai akan menghadirkan kurva Covid-19 yang obyektif sebagai dasar untuk menilai apakah trend perkembangan virus.

Keempat, kesenjangan jumlah SDM dan sarana prasarana kesehatan di daerah. Pada tahun 2018, rasio jumlah tempat tidur rumah sakit (RS) hanya 1 dibanding 1000 penduduk, sementara dari 10 ribu Puskesmas yang ada baru 33 persen yang dianggap memadai. Di sisi yang lain sejumlah RS di daerah masih mengeluhkan kurangnya alat pelindung diri (APD). Jumlah ruang isolasi RS di sejumlah daerah juga masih kurang sementara fasilitas penanganangan Covid-19 juga dikeluhkan sejumlah dokter masih minim. Dan juga patut menjadi catatan hingga pertengahan Mei 2020 terdapat 55 tenaga medis dinyatakan meninggal akibat Covid-19.

Kelima, tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat mengikuti protokol kesehatan masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan PSBB di berbagai daerah yang tidak optimal dan banyak terjadi pelanggaran.

Dengan berbagai persoalan mendasar yang masih mengemuka di atas, sesungguhnya dapat dinilai seberapa siap New Normal/pelonggaran PSBB diberlakukan. Apalagi jika melihat adanya ancaman munculnya gelombang kedua penyebaran virus sebagaimana terjadi di Korea Selatan dan Jepang setelah dilakukan kebijakan pelonggaran.

Jujur dan Disiplin Menentukan Keberhasilan
Pada masa pandemi ini, kita sering mendengar kata jujur dan disiplin. Para dokter minta agar pasien bersikap jujur, karena ada beberapa kejadian pasien menularkan Covid-19 kepada tenaga medis karena tidak jujur. Jubir Pemerintah pun setiap hari mengingatkan masyarakat bahwa kunci pengendalian Covid-19 adalah kedisiplinan menjalankan protokol. Kita tentu sepakat, jujur dan disiplin menjadi kunci dalam menghadapi Covid-19.

Oleh sebab itu seyogyanya pemerintah juga bersikap jujur dan transparan menyampaikan data dan situasi penanganan Covid-19 sebelum menjalankan New Normal. Pemerintah juga semestinya disiplin menjalankan kebijakan yang sudah dibuat. Kurangi wacana yang membingungkan masyarakat dan juga pernyataan yang bernada meremehkan bahaya virus Corona. Sikap jujur dan disiplin pemerintah tentu akan punya dampak kuat kepada semangat seluruh komponen bangsa menghadapi pandemi.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2187 seconds (0.1#10.140)