Tata Ulang Fondasi Budaya Disiplin Bangsa; Bersiaga Melawan Krisis Pandemik Korona
Jum'at, 06 Agustus 2021 - 11:30 WIB
Dalam pelaksanaan budaya disiplin di bidang apa pun di Republik ini, misalnya pembagian BANSOS bagi warga yang tidak mampu di era pandemi Covid-19, masih sangat memprihatinkan praktiknya. Juga; yang menyangkut aspek penanggulangan sampah plastik, pelestarian lingkungan alam, pemberantasan korupsi, ataupun praktek curang baik dalam ranah publik maupun sektor privat/bisnis masih menjadi PR besar. Oleh karenanya, pemetaan kondisi aktual tentang disiplin warga bangsa perlu dikaji ulang atau direvitalisasi sesegera mungkin. Peta jalan tentang penanggulangan masalah-masalah besar hingga yang terkecil di Republik ini harus segera direvitalisasi, sehingga pelaksanaan program pemerintah yang bagus-bagus dari kebijakan apa pun. Mulai dari pemberantasan PUNGLI dan KORUPSI, PELAYANAN PRIMA seperti PTSP lembaga-lembaga di sektor publik, serta program-program SDG’s (Sustainable Development Goals) bisa ditingkatkan capaiannya dari Good menjadi Great.
Orkestrasi Pendidikan Disiplin dari Tripple Helix mengarah ke Penta Helix
Betapa sedihnya melihat kasus-kasus kenaikan korban Korona akhir-akhir ini. Kegagalan penerapan prokes di Bangkalan, Perayaan Persebaya oleh para BONEK-nya di Surabaya, dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Kesemua contoh kasus ini bisa diselesaikan seandainya fondasi budaya disiplin sudah terpancang secara tegak. Jika belum? Maka, program penataan ulang pembangunan fondasi disiplin bangsa harus untuk disegerakan. Diagnosis atau audit kelembagaan atas penerapan budaya disiplin yang masih rapuh? Apakah terjadi di tingkat keluarga, persekolahan maupun di masyarakat. Secara praktis, Tracing dan Tracking harus dilaksanakan untuk mendeteksi kelemahan atau kegagalan pendidikan disiplin para warga bangsa yang sangat majemuk ini. Hasil pemetaan tersebut, dikumpulkan menjadi BIG DATA untuk kemudian ditelaah dan dikelompokkan, sehingga memudahkan untuk dilakukan TREATMENT-nya per kategori dalam upaya tata ulang ini.
Pelibatan para pihak yang sering disebut sebagai Triple Helix (Akademisi, Pemerintah, dan Pebisnis} dalam penerapan disiplin bangsa tidaklah mencukupi. Saat ini pelibatan unsur-unsur Komunitas dalam konteks yang lebih mikro dan Media (menjadi Penta Helix) sangat diperlukan terutama dalam mendukung proses edukasinya agar supaya lebih efektif dalam implementasinya.
Mencermati Pengajaran Disiplin ala KORSEL dan KORUT
Contoh nyata dari kedua negara yang pernah penulis kunjungi, cukup memberi pelajaran tentang penerapan disiplin yang sangat luar biasa. Sepintas nampak bahwa penerapan disiplin yang ketat bukan hanya dijalankan di sekolah dan masyarakat, namun dalam keluarga juga dimonitor oleh negara secara ketat. Tripusat pendidikan di kedua negara ini nampak sinkron. Sikap disiplin ini terlihat antara lain pada sikap meng-antri, respek pada kaum senior, tertib lalu lintas, sebelum menginjak usia tertentu tidak boleh mengendarai motor atau mobil di jalanan umum, tidak melanggar aturan/marka lalu lintas yang ada serta mentaati aturan tentang jumlah penumpang kendaraan yang tidak boleh melebihi batas. Jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia sangat kentara sekali perbedaannya. Satu contoh lagi, di Korea Utara tidak ada TV komersial milik swasta, sehingga konten program-programnya semua sifatnya terkesan indoktrinatif BELA NEGARA.
Hal ini semua jika dimaknai, apakah ada korelasi antara kedisiplinan/ketaatan pada aturan berpengaruh pada peperangan melawan wabah pandemik Korona? Sementara jawabannya ada berkorelasi. Sebagai tambahan yang menarik disimak adalah, di kedua negara terprogram proses tempaan fisik dan mental pada usia ‘remaja’ (menginjak usia 18 tahun). Di kedua negara ini, para remaja DIWAJIBKAN mengikuti MILITARY SERVICE. Di Korsel Servis Militer, bernuansa BELA NEGARA diwajibkan selama 2 tahun, sedangkan di KORUT selama 5 tahun. Di Indonesia gagasan Bela Negara untuk durasi 3 bulan saja masih belum bisa diwujudkan, bahkan terjadi gelombang penolakannya masih dominan.
Sebagai suatu pertanyaan hipotetis saja, apakah ada korelasi antara pendidikan disiplin dan pertumbuhan ekonomi? Masih banyak faktor sosio-politik yang melatar belakanginya. Namun dari contoh dunia barat, dari Kanada, AS hingga belahan Eropa hampir semuanya menyelenggarakan Servis Militer rata-rata selama 1 tahun. Kesimpulan sementara, ada korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan sikap disiplin bangsa.
Contoh lain yang patut dicermati dan dipelajari tentang konstruksi bangunan budaya ‘budi-luhur’ seperti Jepang dan Singapura. Konsep Tripusat pendidikannya sudah sangat rapi dan terstruktur. Di Singapura penerapan aspek disiplin dalam masyarakat sangat ketat dan galak. Sehingga ada julukan Singapura is a FINE CITY (Kota Baik dan ‘galak’, penuh Denda agar ada efek jera). Walaupun Singapura baru ‘merdeka’, melepaskan diri dari Malaysia sejak 1965, namun bangunan fondasi budaya disiplinnya sudah melebihi dari Indonesia. Hasil pantauan secara akademik, ternyata semenjak tahun 80an, ketika mendisain fondasi Budaya, Singapura khusus mendatangkan pakar Budaya Organisasi dari kampus MIT-USA, Edgar Schein (Strategic Pragmatism,1996). Dengan memiliki fondasi budaya bangsa yang kokoh, barulah Economic Development Board (EDB) Singapura memakainya sebagai landasan TAKE-OFF untuk ekonomi Singapura. Hal ini sangat nyata bagaimana plat-form DYNAMIC GOVERNANCE bisa berjalan selama ini, sehingga bisa menerbangkan Singapura menjadi Hub Pelabuhan laut dan bandara (Neo & Chen, 2007), bahkan kini sudah menguasai KNOWLEDGE HUB di kawasan Asia.
Orkestrasi Pendidikan Disiplin dari Tripple Helix mengarah ke Penta Helix
Betapa sedihnya melihat kasus-kasus kenaikan korban Korona akhir-akhir ini. Kegagalan penerapan prokes di Bangkalan, Perayaan Persebaya oleh para BONEK-nya di Surabaya, dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Kesemua contoh kasus ini bisa diselesaikan seandainya fondasi budaya disiplin sudah terpancang secara tegak. Jika belum? Maka, program penataan ulang pembangunan fondasi disiplin bangsa harus untuk disegerakan. Diagnosis atau audit kelembagaan atas penerapan budaya disiplin yang masih rapuh? Apakah terjadi di tingkat keluarga, persekolahan maupun di masyarakat. Secara praktis, Tracing dan Tracking harus dilaksanakan untuk mendeteksi kelemahan atau kegagalan pendidikan disiplin para warga bangsa yang sangat majemuk ini. Hasil pemetaan tersebut, dikumpulkan menjadi BIG DATA untuk kemudian ditelaah dan dikelompokkan, sehingga memudahkan untuk dilakukan TREATMENT-nya per kategori dalam upaya tata ulang ini.
Pelibatan para pihak yang sering disebut sebagai Triple Helix (Akademisi, Pemerintah, dan Pebisnis} dalam penerapan disiplin bangsa tidaklah mencukupi. Saat ini pelibatan unsur-unsur Komunitas dalam konteks yang lebih mikro dan Media (menjadi Penta Helix) sangat diperlukan terutama dalam mendukung proses edukasinya agar supaya lebih efektif dalam implementasinya.
Mencermati Pengajaran Disiplin ala KORSEL dan KORUT
Contoh nyata dari kedua negara yang pernah penulis kunjungi, cukup memberi pelajaran tentang penerapan disiplin yang sangat luar biasa. Sepintas nampak bahwa penerapan disiplin yang ketat bukan hanya dijalankan di sekolah dan masyarakat, namun dalam keluarga juga dimonitor oleh negara secara ketat. Tripusat pendidikan di kedua negara ini nampak sinkron. Sikap disiplin ini terlihat antara lain pada sikap meng-antri, respek pada kaum senior, tertib lalu lintas, sebelum menginjak usia tertentu tidak boleh mengendarai motor atau mobil di jalanan umum, tidak melanggar aturan/marka lalu lintas yang ada serta mentaati aturan tentang jumlah penumpang kendaraan yang tidak boleh melebihi batas. Jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia sangat kentara sekali perbedaannya. Satu contoh lagi, di Korea Utara tidak ada TV komersial milik swasta, sehingga konten program-programnya semua sifatnya terkesan indoktrinatif BELA NEGARA.
Hal ini semua jika dimaknai, apakah ada korelasi antara kedisiplinan/ketaatan pada aturan berpengaruh pada peperangan melawan wabah pandemik Korona? Sementara jawabannya ada berkorelasi. Sebagai tambahan yang menarik disimak adalah, di kedua negara terprogram proses tempaan fisik dan mental pada usia ‘remaja’ (menginjak usia 18 tahun). Di kedua negara ini, para remaja DIWAJIBKAN mengikuti MILITARY SERVICE. Di Korsel Servis Militer, bernuansa BELA NEGARA diwajibkan selama 2 tahun, sedangkan di KORUT selama 5 tahun. Di Indonesia gagasan Bela Negara untuk durasi 3 bulan saja masih belum bisa diwujudkan, bahkan terjadi gelombang penolakannya masih dominan.
Sebagai suatu pertanyaan hipotetis saja, apakah ada korelasi antara pendidikan disiplin dan pertumbuhan ekonomi? Masih banyak faktor sosio-politik yang melatar belakanginya. Namun dari contoh dunia barat, dari Kanada, AS hingga belahan Eropa hampir semuanya menyelenggarakan Servis Militer rata-rata selama 1 tahun. Kesimpulan sementara, ada korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan sikap disiplin bangsa.
Contoh lain yang patut dicermati dan dipelajari tentang konstruksi bangunan budaya ‘budi-luhur’ seperti Jepang dan Singapura. Konsep Tripusat pendidikannya sudah sangat rapi dan terstruktur. Di Singapura penerapan aspek disiplin dalam masyarakat sangat ketat dan galak. Sehingga ada julukan Singapura is a FINE CITY (Kota Baik dan ‘galak’, penuh Denda agar ada efek jera). Walaupun Singapura baru ‘merdeka’, melepaskan diri dari Malaysia sejak 1965, namun bangunan fondasi budaya disiplinnya sudah melebihi dari Indonesia. Hasil pantauan secara akademik, ternyata semenjak tahun 80an, ketika mendisain fondasi Budaya, Singapura khusus mendatangkan pakar Budaya Organisasi dari kampus MIT-USA, Edgar Schein (Strategic Pragmatism,1996). Dengan memiliki fondasi budaya bangsa yang kokoh, barulah Economic Development Board (EDB) Singapura memakainya sebagai landasan TAKE-OFF untuk ekonomi Singapura. Hal ini sangat nyata bagaimana plat-form DYNAMIC GOVERNANCE bisa berjalan selama ini, sehingga bisa menerbangkan Singapura menjadi Hub Pelabuhan laut dan bandara (Neo & Chen, 2007), bahkan kini sudah menguasai KNOWLEDGE HUB di kawasan Asia.
tulis komentar anda