Ketuhanan Yang Maha Esa
Kamis, 05 Agustus 2021 - 11:58 WIB
Persaingan lama di Jenggala, Kediri, Daha, Kahuripan dan Singosari abad dua belas menunjukkan bahwa Sivaisme, Wisnuisme, dan Tantrayana mengarah pada saling kompromi. Beberapa penguasa setempat berusaha tampil sebagai pelindung dari aliran yang bermacam-macam.
Catatan manuskrip dan prasasti kuno menunjukkan klaim para penguasa sebagai pelindung semua aliran. Watak kompromi di tengah konflik yang tak berkesudahan dari satu kerajaan ke kerajaan yang lain.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam dua Tap MPR, yaitu No. II/MPR/1978 dan no I/MPR/2003 menerangkan kondisi nyata bangsa Indonesia dan tantangan yang harus disikapi. Kedua versi keterangan butir-butir Sila pertama tidak menyinggung doktrin, dogma, atau konsep teologi tertentu.
Sila pertama ini ternyata bukan soal keyakinan dan teologi. Namun, kedua tap MPR menerangkan harus bagaimana ketika warga negara yang beragama berhadapan dengan tata aturan negara, juga berhadapan dengan sikap toleransi dengan agama lain, dan dengan sesama umat beragama namun mazhab yang beda. Kedua tap MPR lebih menekankan unsur etika, norma, dan sopan santun dalam beragama dalam bentuk lahiriyah sikap, bukan batiniah dalam berdoa.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti ringkasan trilogi kerukunan yang dahulu kala era Orde Baru tahun 1970 sampai 1980-an. Trilogi ini menggambarkan hubungan dinamis antar warga yang bertakwa, negara yang berdaulat, dan sesama warga yang imannya berbeda. Kerukunan itu menjadi landasan pemerintah era itu. Sejatinya ini berhasil cukup lama, walaupun sudah perlu dilihat ulang demi penyesuaian zaman.
Jika ditarik ke belakang lagi, konsep itu sudah pernah disinggung oleh Driyarkara yang mencoba menjawab tantangan bagaimana relasi antara warga yang beriman dengan negara yang netral sebagai pelindung agama-agama. Negara tidak berpihak, apalagi melakukan diskriminasi terhadap kelompok tertentu, idealnya. Negara mengayomi semuanya. Negara melindungi iman yang berbeda, seperti para raja kuno di Nusantara.
Negara juga menjamin kebebasan beragama bagi para warganya. Bahkan dalam versi tap I/MPR/2003 disebutkan secara jelas relasi antara manusia dan Tuhannya adalah hak privat setiap pribadi.
Bagaimana cara berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan adalah urusan pribadi menurut keyakinan masing-masing. Negara menjamin perlindungan keyakinan itu.
Urusan toleransi dan perlindungan inilah yang perlu mendapat perhatian dari tafsir Sila pertama Pancasila. Kritik dari para pengamat dalam negeri dan luar negeri melihat bahwa kehidupan guyup dan rukun sebagai idealisme Nusantara perlu mendapat tekanan lagi.
Sudahkah kita menghargai iman lain? Sudahkah kita menghargai sesama iman yang beraliran beda? Sudahkah kita turut melindungi semua warga tanpa diskriminasi dan pandang bulu? Kita harus mulai dari hal-hal kecil dan dari diri sendiri.
Catatan manuskrip dan prasasti kuno menunjukkan klaim para penguasa sebagai pelindung semua aliran. Watak kompromi di tengah konflik yang tak berkesudahan dari satu kerajaan ke kerajaan yang lain.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam dua Tap MPR, yaitu No. II/MPR/1978 dan no I/MPR/2003 menerangkan kondisi nyata bangsa Indonesia dan tantangan yang harus disikapi. Kedua versi keterangan butir-butir Sila pertama tidak menyinggung doktrin, dogma, atau konsep teologi tertentu.
Sila pertama ini ternyata bukan soal keyakinan dan teologi. Namun, kedua tap MPR menerangkan harus bagaimana ketika warga negara yang beragama berhadapan dengan tata aturan negara, juga berhadapan dengan sikap toleransi dengan agama lain, dan dengan sesama umat beragama namun mazhab yang beda. Kedua tap MPR lebih menekankan unsur etika, norma, dan sopan santun dalam beragama dalam bentuk lahiriyah sikap, bukan batiniah dalam berdoa.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti ringkasan trilogi kerukunan yang dahulu kala era Orde Baru tahun 1970 sampai 1980-an. Trilogi ini menggambarkan hubungan dinamis antar warga yang bertakwa, negara yang berdaulat, dan sesama warga yang imannya berbeda. Kerukunan itu menjadi landasan pemerintah era itu. Sejatinya ini berhasil cukup lama, walaupun sudah perlu dilihat ulang demi penyesuaian zaman.
Jika ditarik ke belakang lagi, konsep itu sudah pernah disinggung oleh Driyarkara yang mencoba menjawab tantangan bagaimana relasi antara warga yang beriman dengan negara yang netral sebagai pelindung agama-agama. Negara tidak berpihak, apalagi melakukan diskriminasi terhadap kelompok tertentu, idealnya. Negara mengayomi semuanya. Negara melindungi iman yang berbeda, seperti para raja kuno di Nusantara.
Negara juga menjamin kebebasan beragama bagi para warganya. Bahkan dalam versi tap I/MPR/2003 disebutkan secara jelas relasi antara manusia dan Tuhannya adalah hak privat setiap pribadi.
Bagaimana cara berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan adalah urusan pribadi menurut keyakinan masing-masing. Negara menjamin perlindungan keyakinan itu.
Urusan toleransi dan perlindungan inilah yang perlu mendapat perhatian dari tafsir Sila pertama Pancasila. Kritik dari para pengamat dalam negeri dan luar negeri melihat bahwa kehidupan guyup dan rukun sebagai idealisme Nusantara perlu mendapat tekanan lagi.
Sudahkah kita menghargai iman lain? Sudahkah kita menghargai sesama iman yang beraliran beda? Sudahkah kita turut melindungi semua warga tanpa diskriminasi dan pandang bulu? Kita harus mulai dari hal-hal kecil dan dari diri sendiri.
tulis komentar anda