Ketuhanan Yang Maha Esa

Kamis, 05 Agustus 2021 - 11:58 WIB
loading...
Ketuhanan Yang Maha...
Al Makin, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

SILA Ketuhanan ditempatkan pada sila pertama, menandakan perhatian rakyat kita pada urusan agama begitu besar. Agama penting dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi rakyat Nusantara, bahkan cara berfikirpun dengan selalu mengaitkan pada hal-hal keagamaan.

Jenis dan asal agama memang bermacam-macam, dari segi waktu yang berganti dan pulau yang terpisah lautan, tetapi sikap agamis umat selalu begitu. Para peleteak dasar negara kita kala itu tentu sadar keadaan ini.

Memang, dalam sejarah Nusantara, kerajaan-kerajaan era pra-penjajahan selalu melegitimasi wewenangnya dalam memerintah dengan konsep keagamaan. Peninggalan-peninggalan abad tujuh sampai abad enam belas Masehi menunjukkan relasi yang kuat antara agama dan kerajaan, terlepas dari tradisi keagamaan apa dan datang dari mana.

Kenyataannya, tradisi keagamaan datang silih berganti, bahkan itulah yang menjadi resep ramuan Nusantara. Agama, politik, sosial dan ekonomi selalu terkait, atau dikait-kaitkan.

Dalam sejarahnya, Nusantara ini selalu menerima unsur-unsur luar, namun dimodifikasi sesuai dengan udara iklim udara tropis bermusim dua saja. Dalam praktik keagamaan, dan juga konsep dasarnya, juga kurang lebih begitu. Tradisi India, China, Timur Tengah, Eropa berjumpa dan penyelarasan demi penyelarasan terjadi dari satu masa ke masa lainnya.

Tradisi yang lahir di tanah luar diterima para pengikut di sini, dan udara sepoi-sepoi di bawah nyiur melambai menumbuhkan berbagai bentuk dan tafsir baru. Modifikasi dan penyelarasan menghasilkan tafsir model Nusantara.

Bukti-bukti menunjukkan kreativitas konsep yang berbeda di dunia luar seperti Hindu dan Buddha di India, misalnya dengan yang berkembang di Majapahit tampak nyata. Raja Nusantara tidak keberatan bertindak sebagai rekonsiliator hal-hal yang tidak sama.

Persaingan lama di Jenggala, Kediri, Daha, Kahuripan dan Singosari abad dua belas menunjukkan bahwa Sivaisme, Wisnuisme, dan Tantrayana mengarah pada saling kompromi. Beberapa penguasa setempat berusaha tampil sebagai pelindung dari aliran yang bermacam-macam.

Catatan manuskrip dan prasasti kuno menunjukkan klaim para penguasa sebagai pelindung semua aliran. Watak kompromi di tengah konflik yang tak berkesudahan dari satu kerajaan ke kerajaan yang lain.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam dua Tap MPR, yaitu No. II/MPR/1978 dan no I/MPR/2003 menerangkan kondisi nyata bangsa Indonesia dan tantangan yang harus disikapi. Kedua versi keterangan butir-butir Sila pertama tidak menyinggung doktrin, dogma, atau konsep teologi tertentu.

Sila pertama ini ternyata bukan soal keyakinan dan teologi. Namun, kedua tap MPR menerangkan harus bagaimana ketika warga negara yang beragama berhadapan dengan tata aturan negara, juga berhadapan dengan sikap toleransi dengan agama lain, dan dengan sesama umat beragama namun mazhab yang beda. Kedua tap MPR lebih menekankan unsur etika, norma, dan sopan santun dalam beragama dalam bentuk lahiriyah sikap, bukan batiniah dalam berdoa.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti ringkasan trilogi kerukunan yang dahulu kala era Orde Baru tahun 1970 sampai 1980-an. Trilogi ini menggambarkan hubungan dinamis antar warga yang bertakwa, negara yang berdaulat, dan sesama warga yang imannya berbeda. Kerukunan itu menjadi landasan pemerintah era itu. Sejatinya ini berhasil cukup lama, walaupun sudah perlu dilihat ulang demi penyesuaian zaman.

Jika ditarik ke belakang lagi, konsep itu sudah pernah disinggung oleh Driyarkara yang mencoba menjawab tantangan bagaimana relasi antara warga yang beriman dengan negara yang netral sebagai pelindung agama-agama. Negara tidak berpihak, apalagi melakukan diskriminasi terhadap kelompok tertentu, idealnya. Negara mengayomi semuanya. Negara melindungi iman yang berbeda, seperti para raja kuno di Nusantara.

Negara juga menjamin kebebasan beragama bagi para warganya. Bahkan dalam versi tap I/MPR/2003 disebutkan secara jelas relasi antara manusia dan Tuhannya adalah hak privat setiap pribadi.

Bagaimana cara berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan adalah urusan pribadi menurut keyakinan masing-masing. Negara menjamin perlindungan keyakinan itu.

Urusan toleransi dan perlindungan inilah yang perlu mendapat perhatian dari tafsir Sila pertama Pancasila. Kritik dari para pengamat dalam negeri dan luar negeri melihat bahwa kehidupan guyup dan rukun sebagai idealisme Nusantara perlu mendapat tekanan lagi.

Sudahkah kita menghargai iman lain? Sudahkah kita menghargai sesama iman yang beraliran beda? Sudahkah kita turut melindungi semua warga tanpa diskriminasi dan pandang bulu? Kita harus mulai dari hal-hal kecil dan dari diri sendiri.

Jika kita bisa melakukan itu, maka berarti kita sudah kembali ke era Hayam Wuruk yang mengunjungi banyak candi dan tempat suci yang beraliran beda. Menurut Negarakertagama, Hayam Wuruk membantu pembangunan dan pemeliharaan semua candi yang beraliran beda.

Jika sikap Hayam Wuruk bisa diterjemahkan lagi di era sekarang, berarti kita harus menghormati semua tempat ibadah, memelihara dan melindunginya. Menghormati semua umat dan cara ibadah masing-masing. Sikap ini seperti yang diungkap dalam butir-butir Pancasila pada sila pertama menurut tap MPR 1978 atau 2003, keduanya menyingung sikap lapangnya hati ini.

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah soal sikap, norma, etika dan sopan santun yang tampak secara kasat mata, bagaimana beragama dalam negara yang majemuk yang mempunyai warga dengan pemahaman keagamaan yang bermacam-macam. Tafsir yang selalu terbuka untuk diwarnai.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1474 seconds (0.1#10.140)