Menyelamatkan Nasib Jurnalis Pasca Di-PHK saat Pandemi
Selasa, 06 Juli 2021 - 09:49 WIB
Di luar negeri dalam upaya menyelamatkan jurnalis Internews meluncurkan aRapid Response Fund yang mendukung lebih dari 80 media lokal dan individu di lebih dari 40 negara, untuk memastikan bahwa informasi kesehatan yang menyelamatkan jiwa dapat terus dibagikan. European Journalism Center (EJC) dan Facebook Journalism Project (FJP) meluncurkan dana USD3 juta untuk mendukung komunitas, organisasi berita lokal dan regional Eropa yang beroperasi "dengan sumber daya minimal selama krisis COVID-19". Dana tersebut merupakan bagian dari program dana hibah darurat senilai USD25 juta, yang dikelola melalui FJP. Dana sebesar USD39,5 juta tersebut telah dialokasikan ke lebih dari 5.600 penerbit di 115 negara.
Yang mengarah ke gelombang terbesar pengurangan industri tahun ini, dengan kehilangan pekerjaan dalam puluhan ribu. Berdasarkan rilis berita The New York Times April 2020, di Amerika saja memperkirakan lebih dari 37.000 pekerja yang diberhentikan, cuti, atau gajinya dikurangi. Itu juga termasuk banyaknya media dan penerbitan yang telah berhenti bekerja. Salah satunya The Athletic memotong gaji dan memberhentikan delapan persen staf. Bahkan media seperti Vox Media memberhentikan sekitar 70 karyawan yang sebelumnya telah dirumahkan. Pada bulan Agustus, NBCUniversal juga mengumumkan PHK yang signifikan.
Nasib dalam Gelombang Kedua
Krisis tidak boleh dijadikan alasan bagi perusahaan media untuk memberhentikan karyawannya sesuka hati atau mengabaikan hak-hak karyawannya sekali pun kondisi tidak menolak tindakan tersebut. Maka perlu untuk media berhenti menunda dan memotong upah dan memberhentikan staf secara sewenang-wenang. Hentikan praktik PHK yang tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan 2003, UU Cipta Kerja belum dilaksanakan, sehingga setiap perselisihan perburuhan harus mengikuti UU Ketenagakerjaan.
Media Jakarta Post pada pada 28 Agustus lalu setelah melakukan pertimbangan tidak luput terjadi pengunduran diri lebih dari 20 jurnalis. Wartawan Tempo dan Jawa Pos juga dikabarkan di-PHK selama pandemi. Dari catatan beberapa waktu lalu LBH Pers telah menerima 61 laporan wartawan dari 14 organisasi media yang berbasis di Jakarta, baik yang di-PHK, dirumahkan, atau menerima pemotongan gaji.
Rupanya tren memutus kontrak kerja para jurnalis tidaklah mengeras di Indonesia. Nation Multimedia Thailand pada bulan April memangkas gaji dan mengizinkan manajer untuk memberhentikan karyawan. Media Prima Malaysia pada bulan Juni memberhentikan 300 karyawan. Dan Singapore Press Holdings, penerbit The Straits Times, mengumumkan pada bulan September bahwa mereka memberhentikan 140 karyawan karena dampak pandemi pada pendapatan iklan.
Pada awal-awal pandemi wartawan Jakarta dan Bogor semuanya dianggap dalam pengawasan karena aktivitas liputan mereka yang berhubungan dengan tokoh pemerintah yang kemudian positif COVID-19. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada bulan November 2020 mengatakan bahwa setidaknya 242 jurnalis di negara tersebut tertular Covid-19 antara bulan Maret dan September dan, Wartawan dan pekerja media telah mengambil risiko terinfeksi. Dari data The Press Emblem Campaign (PEC) setidaknya 600 jurnalis dari 59 negara meninggal dunia akibat terpapar COVID-19 pada akhir tahun 2020 lalu.
Kehadiran pers yang kuat, bebas, dan independen merupakan elemen inti dari konsolidasi demokrasi. Pada saat beberapa pemerintah Asia Tenggara telah mengeksploitasi pandemi untuk menghentikan reformasi demokrasi, peran media sebagai pilar keempat demokrasi menjadi semakin penting. Lebih lanjut, mengingat kurangnya data pemerintah, jurnalis dan organisasi masyarakat sipil telah menjadi sumber penting untuk informasi objektif tentang Covid-19. Tetapi karena pandemi terus menyebar tanpa terkendali dan kejatuhan ekonomi akibat krisis sepenuhnya datang, ruang redaksi di Indonesia menghadapi masa depan yang tidak pasti yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk melakukan tugas mereka, dan lebih jauh lagi menjaga kebebasan berekspresi, ketika jurnalisme berkualitas tinggi dibutuhkan sekarang lebih dari sebelumnya.
Pemerintah perlu turun tangan dan berkomitmen untuk mendukung proyek media independen dan kebebasan pers untuk tahun-tahun mendatang jika mereka ingin menyelamatkan jurnalisme. Pada intinya bahwa Informasi menyelamatkan nyawa, itu juga sama dengan wartawan menyelamatkan nyawa. Pertama. Pemerintah harus menggalakkan lagi vaksinasi yang berkala secara konsisten. Setelah sebelumnya sudah melakukan vaksinasi pada pekerja media, di dalam gejala gelombang varian baru COVID-19 kehadiran pemerintah diperlukan kembali.
Kedua, pemerintah harus membentuk skema menyelamatkan perusahaan media yang bisa mungkin terancam kembali. Keberadaan jurnalis dalam momentum krisis sama pentingnya dengan keberadaan tenaga medis. Ketiga, perlu pemerintah menyusun skema insentif ekonomi berjangka bagi perusahaan media yang hampir terlalu bergantung pada iklan yang kian hari menyusut. Keempat, pemerintah dengan lembaga hukum harus bisa menertibkan buzzer yang menyebarkan hoaks soal pandemi, hal ini akan membantu mengurangi ruang gerak jurnalis lebih baik sehingga aktivitas jurnalis tidak harus terjun lapangan di tengah krisis pandemi.
Yang mengarah ke gelombang terbesar pengurangan industri tahun ini, dengan kehilangan pekerjaan dalam puluhan ribu. Berdasarkan rilis berita The New York Times April 2020, di Amerika saja memperkirakan lebih dari 37.000 pekerja yang diberhentikan, cuti, atau gajinya dikurangi. Itu juga termasuk banyaknya media dan penerbitan yang telah berhenti bekerja. Salah satunya The Athletic memotong gaji dan memberhentikan delapan persen staf. Bahkan media seperti Vox Media memberhentikan sekitar 70 karyawan yang sebelumnya telah dirumahkan. Pada bulan Agustus, NBCUniversal juga mengumumkan PHK yang signifikan.
Nasib dalam Gelombang Kedua
Krisis tidak boleh dijadikan alasan bagi perusahaan media untuk memberhentikan karyawannya sesuka hati atau mengabaikan hak-hak karyawannya sekali pun kondisi tidak menolak tindakan tersebut. Maka perlu untuk media berhenti menunda dan memotong upah dan memberhentikan staf secara sewenang-wenang. Hentikan praktik PHK yang tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan 2003, UU Cipta Kerja belum dilaksanakan, sehingga setiap perselisihan perburuhan harus mengikuti UU Ketenagakerjaan.
Media Jakarta Post pada pada 28 Agustus lalu setelah melakukan pertimbangan tidak luput terjadi pengunduran diri lebih dari 20 jurnalis. Wartawan Tempo dan Jawa Pos juga dikabarkan di-PHK selama pandemi. Dari catatan beberapa waktu lalu LBH Pers telah menerima 61 laporan wartawan dari 14 organisasi media yang berbasis di Jakarta, baik yang di-PHK, dirumahkan, atau menerima pemotongan gaji.
Rupanya tren memutus kontrak kerja para jurnalis tidaklah mengeras di Indonesia. Nation Multimedia Thailand pada bulan April memangkas gaji dan mengizinkan manajer untuk memberhentikan karyawan. Media Prima Malaysia pada bulan Juni memberhentikan 300 karyawan. Dan Singapore Press Holdings, penerbit The Straits Times, mengumumkan pada bulan September bahwa mereka memberhentikan 140 karyawan karena dampak pandemi pada pendapatan iklan.
Pada awal-awal pandemi wartawan Jakarta dan Bogor semuanya dianggap dalam pengawasan karena aktivitas liputan mereka yang berhubungan dengan tokoh pemerintah yang kemudian positif COVID-19. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada bulan November 2020 mengatakan bahwa setidaknya 242 jurnalis di negara tersebut tertular Covid-19 antara bulan Maret dan September dan, Wartawan dan pekerja media telah mengambil risiko terinfeksi. Dari data The Press Emblem Campaign (PEC) setidaknya 600 jurnalis dari 59 negara meninggal dunia akibat terpapar COVID-19 pada akhir tahun 2020 lalu.
Kehadiran pers yang kuat, bebas, dan independen merupakan elemen inti dari konsolidasi demokrasi. Pada saat beberapa pemerintah Asia Tenggara telah mengeksploitasi pandemi untuk menghentikan reformasi demokrasi, peran media sebagai pilar keempat demokrasi menjadi semakin penting. Lebih lanjut, mengingat kurangnya data pemerintah, jurnalis dan organisasi masyarakat sipil telah menjadi sumber penting untuk informasi objektif tentang Covid-19. Tetapi karena pandemi terus menyebar tanpa terkendali dan kejatuhan ekonomi akibat krisis sepenuhnya datang, ruang redaksi di Indonesia menghadapi masa depan yang tidak pasti yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk melakukan tugas mereka, dan lebih jauh lagi menjaga kebebasan berekspresi, ketika jurnalisme berkualitas tinggi dibutuhkan sekarang lebih dari sebelumnya.
Pemerintah perlu turun tangan dan berkomitmen untuk mendukung proyek media independen dan kebebasan pers untuk tahun-tahun mendatang jika mereka ingin menyelamatkan jurnalisme. Pada intinya bahwa Informasi menyelamatkan nyawa, itu juga sama dengan wartawan menyelamatkan nyawa. Pertama. Pemerintah harus menggalakkan lagi vaksinasi yang berkala secara konsisten. Setelah sebelumnya sudah melakukan vaksinasi pada pekerja media, di dalam gejala gelombang varian baru COVID-19 kehadiran pemerintah diperlukan kembali.
Kedua, pemerintah harus membentuk skema menyelamatkan perusahaan media yang bisa mungkin terancam kembali. Keberadaan jurnalis dalam momentum krisis sama pentingnya dengan keberadaan tenaga medis. Ketiga, perlu pemerintah menyusun skema insentif ekonomi berjangka bagi perusahaan media yang hampir terlalu bergantung pada iklan yang kian hari menyusut. Keempat, pemerintah dengan lembaga hukum harus bisa menertibkan buzzer yang menyebarkan hoaks soal pandemi, hal ini akan membantu mengurangi ruang gerak jurnalis lebih baik sehingga aktivitas jurnalis tidak harus terjun lapangan di tengah krisis pandemi.
tulis komentar anda