Menyelamatkan Nasib Jurnalis Pasca Di-PHK saat Pandemi

Selasa, 06 Juli 2021 - 09:49 WIB
loading...
Menyelamatkan Nasib Jurnalis Pasca Di-PHK saat Pandemi
Edi Junadi DS. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Edi Junadi DS
Jurnalis TIMES Indonesia

PANDEMICOVID-19 tiada habisnya kini varian Delta dari kasus pandemi India sudah menginveksi masyarakat Indonesia. Kalangan yang bekerja di dunia jurnalisme juga menghadapi tantangan serius sebab mereka juga harus bersiap dengan segala kemungkinan ancaman virus dan kerentanan kesejarahan dari peristiwa pemutusan kerja atau pemangkasan gaji. Menjadi ironi yang terbalik jika justru posisi wartawanlah yang paling rentan dalam dampak skala total oleh COVID-19 ini. Bagaimana tidak, profesi pemburu berita ini masih dan terus berada di lapangan mengepul fakta-fakta dan meringkasnya dalam berita harian, liputan mendalam, maupun investigasi yang membuat horison masalah-masalah COVID-19 semakin jelas muaranya.

Maka pertanyaan sederhananya ialah COVID-19 merupakan krisis global yang menentukan generasi. Tetapi bagaimana pengaruhnya terhadap mereka yang menjadi sandaran kita untuk mendapatkan informasi yang kritis, seimbang, dan akurat? Ini adalah paradoks bahwa, karena semakin banyak orang menyadari mereka membutuhkan informasi faktual berkualitas tinggi untuk menavigasi krisis, model bisnis yang menopang informasi itu kini banyak runtuh. Penutupan ekonomi global telah sangat mengurangi pendapatan iklan yang bergantung pada banyak media. Akibatnya, penyedia berita independen yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia dipaksa untuk mengurangi, memberhentikan reporter atau menutup sama sekali.

Latar belakang keuangan ini hanyalah salah satu faktor yang membentuk respons organisasi berita dan jurnalis terhadap pandemi. Tetapi ini adalah bagian penting dari persamaan COVID-19. Secara global, banyak perusahaan telah memotong anggaran pemasaran mereka, atau mengalihkan pengeluaran iklan mereka ke platform digital, seringkali secara dramatis memotong pendapatan bagi penyedia berita dalam prosesnya.

Selanjutnya, dengan banyak media yang masih sangat bergantung pada pendapatan iklan, ada kekhawatiran bahwa pandemi dapat menciptakan "peristiwa tingkat kepunahan" bagi banyak penyedia berita di seluruh dunia. Harus ada saran bahwa pengiklan mungkin lebih cenderung menggunakan anggaran pemasaran mereka sebagai potensi pengaruh atas konten.

Sebagai akibat dari hilangnya pendapatan iklan, PHK, cuti dan penutupan telah terlihat di semua sektor media di seluruh dunia. Di Afrika Selatan, misalnya, 17 judul majalah hilang akibat penutupan dua penerbit, Caxton dan Associated Media Publishing (AMP). Dua bulan kemudian, mengumumkan penutupan lima majalah dan dua surat kabar. Ini adalah kisah yang telah dilihat berkali-kali, terlepas dari negaranya. Satu-satunya hal yang konstan adalah bahwa tidak ada jenis organisasi yang tampaknya dibiarkan tanpa cedera.

Ada sejumlah konsekuensi langsung bagi jurnalis dan jurnalisme. Yang paling jelas adalah bahwa ribuan jurnalis kehilangan pekerjaan mereka dan ada lebih sedikit peluang bagi mereka untuk dipekerjakan kembali di tempat lain. sejumlah besar PHK di ruang redaksi. Sementara itu, migrasi pendapatan iklan selama satu dekade ke platform digital seperti Google dan Facebook telah berdampak pada model bisnis tradisional dari banyak outlet berita.

Pergeseran pendapatan dan mekanisme penyampaian berita, sampai batas tertentu, bahwa sektor ini tampaknya berada dalam keadaan fluktuatif yang konstan. Restrukturisasi (seperti beralih ke digital, atau meningkatkan upaya terkait video, sosial, dll.) telah menjadi gaya hidup bagi banyak jurnalis, menciptakan ketidakstabilan dan ketidakamanan kerja di ruang redaksi di negeri kita bahkan seluruh dunia.

Di luar negeri dalam upaya menyelamatkan jurnalis Internews meluncurkan aRapid Response Fund yang mendukung lebih dari 80 media lokal dan individu di lebih dari 40 negara, untuk memastikan bahwa informasi kesehatan yang menyelamatkan jiwa dapat terus dibagikan. European Journalism Center (EJC) dan Facebook Journalism Project (FJP) meluncurkan dana USD3 juta untuk mendukung komunitas, organisasi berita lokal dan regional Eropa yang beroperasi "dengan sumber daya minimal selama krisis COVID-19". Dana tersebut merupakan bagian dari program dana hibah darurat senilai USD25 juta, yang dikelola melalui FJP. Dana sebesar USD39,5 juta tersebut telah dialokasikan ke lebih dari 5.600 penerbit di 115 negara.

Yang mengarah ke gelombang terbesar pengurangan industri tahun ini, dengan kehilangan pekerjaan dalam puluhan ribu. Berdasarkan rilis berita The New York Times April 2020, di Amerika saja memperkirakan lebih dari 37.000 pekerja yang diberhentikan, cuti, atau gajinya dikurangi. Itu juga termasuk banyaknya media dan penerbitan yang telah berhenti bekerja. Salah satunya The Athletic memotong gaji dan memberhentikan delapan persen staf. Bahkan media seperti Vox Media memberhentikan sekitar 70 karyawan yang sebelumnya telah dirumahkan. Pada bulan Agustus, NBCUniversal juga mengumumkan PHK yang signifikan.

Nasib dalam Gelombang Kedua
Krisis tidak boleh dijadikan alasan bagi perusahaan media untuk memberhentikan karyawannya sesuka hati atau mengabaikan hak-hak karyawannya sekali pun kondisi tidak menolak tindakan tersebut. Maka perlu untuk media berhenti menunda dan memotong upah dan memberhentikan staf secara sewenang-wenang. Hentikan praktik PHK yang tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan 2003, UU Cipta Kerja belum dilaksanakan, sehingga setiap perselisihan perburuhan harus mengikuti UU Ketenagakerjaan.

Media Jakarta Post pada pada 28 Agustus lalu setelah melakukan pertimbangan tidak luput terjadi pengunduran diri lebih dari 20 jurnalis. Wartawan Tempo dan Jawa Pos juga dikabarkan di-PHK selama pandemi. Dari catatan beberapa waktu lalu LBH Pers telah menerima 61 laporan wartawan dari 14 organisasi media yang berbasis di Jakarta, baik yang di-PHK, dirumahkan, atau menerima pemotongan gaji.

Rupanya tren memutus kontrak kerja para jurnalis tidaklah mengeras di Indonesia. Nation Multimedia Thailand pada bulan April memangkas gaji dan mengizinkan manajer untuk memberhentikan karyawan. Media Prima Malaysia pada bulan Juni memberhentikan 300 karyawan. Dan Singapore Press Holdings, penerbit The Straits Times, mengumumkan pada bulan September bahwa mereka memberhentikan 140 karyawan karena dampak pandemi pada pendapatan iklan.

Pada awal-awal pandemi wartawan Jakarta dan Bogor semuanya dianggap dalam pengawasan karena aktivitas liputan mereka yang berhubungan dengan tokoh pemerintah yang kemudian positif COVID-19. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada bulan November 2020 mengatakan bahwa setidaknya 242 jurnalis di negara tersebut tertular Covid-19 antara bulan Maret dan September dan, Wartawan dan pekerja media telah mengambil risiko terinfeksi. Dari data The Press Emblem Campaign (PEC) setidaknya 600 jurnalis dari 59 negara meninggal dunia akibat terpapar COVID-19 pada akhir tahun 2020 lalu.

Kehadiran pers yang kuat, bebas, dan independen merupakan elemen inti dari konsolidasi demokrasi. Pada saat beberapa pemerintah Asia Tenggara telah mengeksploitasi pandemi untuk menghentikan reformasi demokrasi, peran media sebagai pilar keempat demokrasi menjadi semakin penting. Lebih lanjut, mengingat kurangnya data pemerintah, jurnalis dan organisasi masyarakat sipil telah menjadi sumber penting untuk informasi objektif tentang Covid-19. Tetapi karena pandemi terus menyebar tanpa terkendali dan kejatuhan ekonomi akibat krisis sepenuhnya datang, ruang redaksi di Indonesia menghadapi masa depan yang tidak pasti yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk melakukan tugas mereka, dan lebih jauh lagi menjaga kebebasan berekspresi, ketika jurnalisme berkualitas tinggi dibutuhkan sekarang lebih dari sebelumnya.

Pemerintah perlu turun tangan dan berkomitmen untuk mendukung proyek media independen dan kebebasan pers untuk tahun-tahun mendatang jika mereka ingin menyelamatkan jurnalisme. Pada intinya bahwa Informasi menyelamatkan nyawa, itu juga sama dengan wartawan menyelamatkan nyawa. Pertama. Pemerintah harus menggalakkan lagi vaksinasi yang berkala secara konsisten. Setelah sebelumnya sudah melakukan vaksinasi pada pekerja media, di dalam gejala gelombang varian baru COVID-19 kehadiran pemerintah diperlukan kembali.

Kedua, pemerintah harus membentuk skema menyelamatkan perusahaan media yang bisa mungkin terancam kembali. Keberadaan jurnalis dalam momentum krisis sama pentingnya dengan keberadaan tenaga medis. Ketiga, perlu pemerintah menyusun skema insentif ekonomi berjangka bagi perusahaan media yang hampir terlalu bergantung pada iklan yang kian hari menyusut. Keempat, pemerintah dengan lembaga hukum harus bisa menertibkan buzzer yang menyebarkan hoaks soal pandemi, hal ini akan membantu mengurangi ruang gerak jurnalis lebih baik sehingga aktivitas jurnalis tidak harus terjun lapangan di tengah krisis pandemi.

Hilangnya jurnalisme yang baik merupakan pukulan bagi dunia yang lebih luas, dan membuat sulit untuk membayangkan kembali liputan yang sehat dan akurat. Kehilangan ruang redaksi, percetakan, kota, gaji, dan pekerjaan mengancam keterlibatan sipil dan kesiapan epidemiologis, di samping kesenian, komunitas, kehidupan individu.

Jurnalisme telah mengalami perubahan daripada sebelumnya, dan akan berubah lagi. Tahun ini varian baru COVID-19 dari India sudah mulai menginvensi masyarakat Indonesia, banyak perubahan yang terjadi secara tiba-tiba, tak terduga, dan destruktif. Apa pun yang terjadi selanjutnya akan membutuhkan imajinasi, ketabahan, dan dedikasi kepada komunitas yang harus dilayani oleh jurnalisme.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7344 seconds (0.1#10.140)