Menyoal Efektivitas Larangan Mudik Lebaran
Selasa, 04 Mei 2021 - 05:49 WIB
Antusiasme masyarakat tentu saja akan diikuti dengan aksi konkret, misalnya membeli tiket perjalanan, khususnya tiket kereta api, pesawat terbang, dan atau kapal laut. Pernyataan Menhub ini oleh banyak pihak sangat disesalkan karena dianggap terburu-buru dan seperti tidak mengindahkan pandemi. Terbukti, beberapa hari kemudian pemerintah, via Menko Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), secara resmi melarang mudik Lebaran, mulai 6-17 Mei 2021. Kalangan ASN (aparat sipil negara) pun hanya diberi libur satu hari, sebelum Idulfitri, dan tidak diperbolehkan mengambil cuti.
Selanjutnya ambiguitas pemerintah juga makin kentara manakala Menteri Pariwisata menyatakan bahwa perjalanan untuk keperluan wisata tidak dilarang. Tempat-tempat wisata pun selama libur Lebaran akan dibuka (beroperasi). Loh, apa bedanya dan bagaimana pula mengontrolnya?
Bupati Kabupaten Bandung, Jabar, juga mempersilakan warga (luar kota) jika ingin berwisata ke Lembang, salah satu ikon wisata di area Kabupaten Bandung Barat. Pernyataan dan kebijakan Menteri Pariwisata Sandiaga Uno dan pejabat daerah yang mengizinkan tempat pariwisata beroperasi jelas kontraproduktif dengan larangan mudik itu sendiri.
Hal ini sama dan sebangun saat Idulfitri sebelumnya (2020) Presiden Joko Widodo menyatakan: yang dilarang mudik Lebaran, tapi pulang kampung boleh. Loh? Jadi dalam hal ini pemerintah tidak belajar pada buruknya komunikasi publik yang dibangun oleh pejabat publik itu sendiri.
Selain itu, dari sisi sosio-kultural, tarikan kultural mudik Lebaran jauh lebih kuat. Mudik Lebaran terpatri kuat di kalangan masyarakat. Apalagi pada 2020 juga sudah “puasa” mudik sehingga mudik Lebaran 2021 merupakan oase yang sungguh dinanti. Tak ada Lebaran tanpa mudik, Lebaran akan terasa “garing” jika tanpa aktivitas mudik.
Karenanya, masyarakat akan menempuh segala cara untuk bisa mudik ke kampung halamannya, kendati harus kucing-kucingan. Jika dicermati yang tetap nekat melakukan mudik Lebaran adalah sektor pekerja swasta dan sektor informal.
Hal ini menandakan pemerintah kurang bersinergi dengan sektor swasta terkait larangan mudik Lebaran ini. Posisi dilematis adalah sektor informal, jika mereka tak mudik lalu mau apa di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya; jika tak ada aktivitas dan pekerjaan?
Harus dipahami juga bahwa masyarakat mengalami capek pandemi (pandemic fatigue). Ini hal yang logis karena pandemi Covid-19 telah berlangsung lebih dari setahun, sejak Maret 2020. Selama setahun itu pembatasan mobilitas terus dilakukan, baik pada skala nasional dan atau daerah. Aktivitas masyarakat pun masih berbasis work from home (WFH). Para pelajar dan mahasiswa pun masih konsisten menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Wacana untuk menerapkan pembelajaran tatap muka pada Juli 2021 sepertinya masih jauh panggang dari api. Kecuali pemerintah akan menanggung munculnya berbagai kluster baru dan akan kelimpungan untuk mengendalikannya.
Simpulan dan Saran
Merujuk pada fenomena tersebut, ada beberapa hal yang patut direnungkan dan menjadi bahan evaluasi. Pertama, pemerintah mesti memperbaiki kualitas komunikasi publik. Untuk hal-hal strategis seharusnya jangan sampai ada perbedaan pendapat dan pernyataan antarpejabat publik.
Selanjutnya ambiguitas pemerintah juga makin kentara manakala Menteri Pariwisata menyatakan bahwa perjalanan untuk keperluan wisata tidak dilarang. Tempat-tempat wisata pun selama libur Lebaran akan dibuka (beroperasi). Loh, apa bedanya dan bagaimana pula mengontrolnya?
Bupati Kabupaten Bandung, Jabar, juga mempersilakan warga (luar kota) jika ingin berwisata ke Lembang, salah satu ikon wisata di area Kabupaten Bandung Barat. Pernyataan dan kebijakan Menteri Pariwisata Sandiaga Uno dan pejabat daerah yang mengizinkan tempat pariwisata beroperasi jelas kontraproduktif dengan larangan mudik itu sendiri.
Hal ini sama dan sebangun saat Idulfitri sebelumnya (2020) Presiden Joko Widodo menyatakan: yang dilarang mudik Lebaran, tapi pulang kampung boleh. Loh? Jadi dalam hal ini pemerintah tidak belajar pada buruknya komunikasi publik yang dibangun oleh pejabat publik itu sendiri.
Selain itu, dari sisi sosio-kultural, tarikan kultural mudik Lebaran jauh lebih kuat. Mudik Lebaran terpatri kuat di kalangan masyarakat. Apalagi pada 2020 juga sudah “puasa” mudik sehingga mudik Lebaran 2021 merupakan oase yang sungguh dinanti. Tak ada Lebaran tanpa mudik, Lebaran akan terasa “garing” jika tanpa aktivitas mudik.
Karenanya, masyarakat akan menempuh segala cara untuk bisa mudik ke kampung halamannya, kendati harus kucing-kucingan. Jika dicermati yang tetap nekat melakukan mudik Lebaran adalah sektor pekerja swasta dan sektor informal.
Hal ini menandakan pemerintah kurang bersinergi dengan sektor swasta terkait larangan mudik Lebaran ini. Posisi dilematis adalah sektor informal, jika mereka tak mudik lalu mau apa di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya; jika tak ada aktivitas dan pekerjaan?
Harus dipahami juga bahwa masyarakat mengalami capek pandemi (pandemic fatigue). Ini hal yang logis karena pandemi Covid-19 telah berlangsung lebih dari setahun, sejak Maret 2020. Selama setahun itu pembatasan mobilitas terus dilakukan, baik pada skala nasional dan atau daerah. Aktivitas masyarakat pun masih berbasis work from home (WFH). Para pelajar dan mahasiswa pun masih konsisten menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Wacana untuk menerapkan pembelajaran tatap muka pada Juli 2021 sepertinya masih jauh panggang dari api. Kecuali pemerintah akan menanggung munculnya berbagai kluster baru dan akan kelimpungan untuk mengendalikannya.
Simpulan dan Saran
Merujuk pada fenomena tersebut, ada beberapa hal yang patut direnungkan dan menjadi bahan evaluasi. Pertama, pemerintah mesti memperbaiki kualitas komunikasi publik. Untuk hal-hal strategis seharusnya jangan sampai ada perbedaan pendapat dan pernyataan antarpejabat publik.
tulis komentar anda