Mudik : 'Unvirtually Connected'

Kamis, 28 April 2022 - 10:32 WIB
loading...
Mudik : Unvirtually Connected
Stevanus Subagijo (Foto: Ist)
A A A
Stevanus Subagijo
Peneliti National Urgency Jakarta

SETELAH dua tahun dilarang mudik karena pandemi, tahun ini mudik sudah diperbolehkan. Harapan itu persis seperti judul cerpen Umar Kayam, "Lebaran Ini Saya Harus Pulang". Umar Kayam adalah sastrawan yang banyak mengangkat kisah mudik-tidak mudik dalam cerpen-cerpennya. Kontras dengan realita ketika dua tahun lalu masyarakat tidak bisa dan tidak leluasa mudik karena pandemi.

Kegembiraan pulang ke kampung halaman menggetarkan jiwa, menjadikan diri penuh. Mudik menjadi kebutuhan dasar. Bukan hanya religiusitas, makan bersama, perjumpaan tanpa syarat tapi juga tempat, rumah, kampung di mana keberakaran (rootedness) disemai-dijalin. Seseorang memiliki kebutuhan di mana dan dengan siapa ia berakar, relasi, kenangan masa lalu, tempat, orang-orang yang merahimi sehingga menjadi seperti sekarang.

Dalam posisi merantau di negeri orang, di kota atau jauh dari akar dan segala kaitannya itu, ia menjadi asing dan terpisah sementara. Betapa pentingnya mudik karena mengingatkan itu semua, merekatkan kembali pada akarnya, membekali bahwa dirinya tidak sendiri. Ia mempunyai akar menjalar, menyelisip, menguatkan, saling menopang sehingga seseorang lebih bisa berdiri atas hidupnya. Mudik menjadikan diri dan tempat asal yang dicintai tanpa penghalang, menyatu. Mudik menjadi topofilia, cinta akan tempat, love of place, attachment of place.

Mudik bukan sekadar pulang ke kampung halaman, leluhur, rumah kakek atau orang tua. Mudik adalah pulang kepada keseluruhan hidup (whole life) seseorang. Kampung, jalan desa, sawah, pepohonan, orang-orang yang lama tak bertemu bak bayangan masa lalu menarik ke kedalaman kenangan yang membuat seseorang berarti di sini dan kini. Dan, itu terpancarkan kembali dalam hubungan dengan orang lain ketika balik ke kota.

Banyak yang mengalami setelah mudik orang tampak lebih bahagia. Dalam "Sein und Zeit", Martin Heidegger mengatakan bahwa seseorang harus mempunyai hubungan khusus dengan tanah di mana dia lahir dan berakar. Seseorang perlu mempunyai minimal satu tempat yang mempunyai koneksi emosi yang memberi makna siapa dirinya dan bagaimana itu memberikan pengaruh baik kesehatan jiwa. Mudik menggambarkan perasaan diterima penuh tanpa syarat dan rasa aman. Mudik tahun ini juga perjumpaan nyata bukan virtual dan menghadirkan koneksi sejati, jauh berbeda dari mudik virtual dan koneksi digital video call, dua tahun lalu karena pandemi.

Pengalaman berpindah tempat termasuk mudik mengurangi risiko sakit fisik dan stres. Jika seseorang merasa terikat kuat dengan sebuah tempat, ia lebih puas atas hidupnya dan sedikit khawatir akan masa depan. Lingkungan fisik di mana kita paling diterima memainkan peranan dalam menciptakan makna dan pengaturan hidup. Cara memandang hidup dan apa yang kita lakukan bergantung dari mana kita berasal dan apa yang kita alami di sana. Kampung halaman adalah pengalaman at home (lebih dari sekadar house). Konsep home lebih dari sekadar tempat. Home merangkai tempat, objek, orang-orang, relasi, kedekatan dan kenangan yang baik.

Dalam sebuah survei, pertanyaan mana tempat yang paling membekas di hati yang pantas disebut home, jawaban terbanyak berkisar pada tempat kelahiran, tempat terlama yang pernah ditinggali dan tempat di mana keluarga besarnya bermula. Hanya 22% mengatakan tempat di mana mereka tinggal sekarang. Penelitian lain menemukan remaja dan anak-anak di seluruh dunia jika diminta menggambar rumah di kertas kosong cenderung meletakkan rumah di bagian tengah kertas. Ini menandakan naluri manusia, rumah, tempat, desa sebagai home merupakan kebutuhan dasar utama terpenting. Yang lain di gambar mengelilingi sebagai pelengkap.

Penyair Robert Frost bilang tentang kampung halaman, “when you have to go there, they have to take you in”.

Mudik sebagai keberakaran seseorang tidak bisa disangkal. Namun ada saja yang tak bisa mudik, tidak semua orang memiliki keberakaran dengan kampung halamannya lagi. Di tahun-tahun sebelum wabah, ada sesama kita yang juga tidak bisa dan tidak pernah mudik. Baik karena alasan ekonomi pun keterputusan dengan akar kehidupannya. Jika Martin Heidegger menekankan ideal keberakaran seseorang, Emmanuel Levinas mengingatkan ada di antara kita yang tak berakar lagi. Tidak mudik baik kemarin karena wabah atau alasan apapun menjadi kesempatan solidaritas kepada sesama yang sudah tidak bisa pun tidak pernah mudik itu. Bahkan tidak mempunyai pengalaman mudik.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1698 seconds (0.1#10.140)