Tantangan Restrukturisasi Kredit Era Pandemi
Selasa, 19 Mei 2020 - 06:30 WIB
Menjadi lebih tidak mudah jika bicara tentang debitur usaha kecil yang berada di "pelosok" dengan kondisi sinyal telekomunikasi "minimalis" atau bahkan belum terjangkau. Belum lagi jika bicara tentang kondisi usaha mikro, yang bahkan—mohon maaf—gadget pun belum tentu dimiliki. Kalaupun ada, sangat mungkin bahwa ia belum dilengkapi dengan fitur atau aplikasi yang dibutuhkan.
Dus, potensi deviasi (bias) terhadap hasil analisis usaha dan kemampuan bayar (repayment capasity ) debitur bisa sangat besar. Ini mau tak mau menjadi "kelemahan" proses analisis restrukturisasi hari ini. Yang jika berkelindan dengan iktikad tidak baik (moral hazard ) para debitur, kesalahan analisis menjadi hal yang tak terelakkan. Debitur yang semestinya masih mampu membayar kewajiban dan seharusnya cukup diobati dengan level restrukturisasi dan relaksasi kredit yang minimal, akhirnya mendapat fasilitas restrukturisasi level maksimal. Pertaruhannya jelas ada di bank atau lembaga pembiayaan, yang akan terancam kemampuan likuiditasnya. Begitu juga sebaliknya. Debitur yang sesungguhnya sudah sakit parah bisa jadi mendapat level restrukturisasi yang justru memberatkan. Pada akhirnya, tujuan restrukturisasi tak akan tercapai.
Pertanyaan berikutnya, apakah moral hazard hanya bisa dilakukan oleh debitur yang "tricky " atau "nakal"? Yang berniat mengambil "kesempatan" dalam keharusan gerak bersama menghadapi kondisi ekonomi era pandemi? Tidak. Moral hazard juga bisa terjadi di pihak perbankan. Karena sesuai dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang kolektibilitas khusus restrukturisasi kredit dampak Covid-19, kolektibilitas kredit hasil restrukturisasi kredit bisa langsung dimasukkan ke kolektibilitas Lancar (kolek 1) pascarestrukturisasi sehingga bank cukup membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sebesar 1% untuk kredit yang direstrukturisasi tersebut.
Jika bank memiliki moral hazard untuk sekadar mencari pengakuan keuntungan saat ini, kualitas kredit perbankan nasional menjadi layak dipertanyakan kesahihannya. Ketidaksahihan ini akan berpotensi lebih besar: strategi ekonomi keuangan nasional yang keliru di masa depan. Kondisi ekonomi yang semakin parah sesudahnya.
Jadi, mari, semua pihak, baik debitur maupun kreditur, harus terus menjaga integritas dan moralitas dalam hubungan perkreditan ini. Niat baik bank dan pelaku usaha untuk memanfaatkan fungsi financial intermediary sejak awal berhubungan kredit harus dijaga bersama. Jangan kotori dengan iktikad buruk untuk mengambil "kesempatan dalam kesempitan", keinginan untuk "mengail di air keruh", dan sejenisnya. Masa depan ekonomi bangsa yang kita pertaruhkan. Terlalu mahal harganya.
Dus, potensi deviasi (bias) terhadap hasil analisis usaha dan kemampuan bayar (repayment capasity ) debitur bisa sangat besar. Ini mau tak mau menjadi "kelemahan" proses analisis restrukturisasi hari ini. Yang jika berkelindan dengan iktikad tidak baik (moral hazard ) para debitur, kesalahan analisis menjadi hal yang tak terelakkan. Debitur yang semestinya masih mampu membayar kewajiban dan seharusnya cukup diobati dengan level restrukturisasi dan relaksasi kredit yang minimal, akhirnya mendapat fasilitas restrukturisasi level maksimal. Pertaruhannya jelas ada di bank atau lembaga pembiayaan, yang akan terancam kemampuan likuiditasnya. Begitu juga sebaliknya. Debitur yang sesungguhnya sudah sakit parah bisa jadi mendapat level restrukturisasi yang justru memberatkan. Pada akhirnya, tujuan restrukturisasi tak akan tercapai.
Pertanyaan berikutnya, apakah moral hazard hanya bisa dilakukan oleh debitur yang "tricky " atau "nakal"? Yang berniat mengambil "kesempatan" dalam keharusan gerak bersama menghadapi kondisi ekonomi era pandemi? Tidak. Moral hazard juga bisa terjadi di pihak perbankan. Karena sesuai dengan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang kolektibilitas khusus restrukturisasi kredit dampak Covid-19, kolektibilitas kredit hasil restrukturisasi kredit bisa langsung dimasukkan ke kolektibilitas Lancar (kolek 1) pascarestrukturisasi sehingga bank cukup membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sebesar 1% untuk kredit yang direstrukturisasi tersebut.
Jika bank memiliki moral hazard untuk sekadar mencari pengakuan keuntungan saat ini, kualitas kredit perbankan nasional menjadi layak dipertanyakan kesahihannya. Ketidaksahihan ini akan berpotensi lebih besar: strategi ekonomi keuangan nasional yang keliru di masa depan. Kondisi ekonomi yang semakin parah sesudahnya.
Jadi, mari, semua pihak, baik debitur maupun kreditur, harus terus menjaga integritas dan moralitas dalam hubungan perkreditan ini. Niat baik bank dan pelaku usaha untuk memanfaatkan fungsi financial intermediary sejak awal berhubungan kredit harus dijaga bersama. Jangan kotori dengan iktikad buruk untuk mengambil "kesempatan dalam kesempitan", keinginan untuk "mengail di air keruh", dan sejenisnya. Masa depan ekonomi bangsa yang kita pertaruhkan. Terlalu mahal harganya.
(zil)
Lihat Juga :
tulis komentar anda