Ruh Perlawanan dan Tanda-Tanda Zaman
loading...

Hasyim Arsal Alhabsi, Deputi Bidang Perhubungan DPP Partai Demokrat. Foto/Dok. SindoNews
A
A
A
Hasyim Arsal Alhabsi
Deputi Bidang Perhubungan DPP Partai Demokrat
DI ANTARA dentuman rudal, pekikan drone, dan debu kehancuran, Yaman tetap berdzikir. Negeri ini bukan hanya arena perang, tapi juga tanah suci perenungan. Di balik gunung-gunungnya yang sunyi, lembah-lembahnya yang keras, dan malam-malam yang tanpa listrik, ruh bangsa ini tidak pernah padam.
Justru di tengah gelap, mereka menyala. Dan mungkin, Yaman sedang menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kemenangan taktis: tanda zaman.
1. Yaman dan Ahlul Bait
Dalam tradisi Islam, Yaman selalu memiliki kedekatan istimewa dengan Ahlul Bait. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Iman itu Yaman, dan hikmah itu pun dari Yaman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat ini bukan sekadar pujian. Ini adalah penunjuk jalan sejarah. Di saat banyak bangsa Islam bergeser menjauh dari warisan Ahlul Bait, Yaman tetap memeluknya erat, bahkan ketika dibayar dengan darah. Mereka menyebut Sayyidina Ali sebagai Imam, mencintai Fatimah az-Zahra, dan menghormati cucu-cucu Nabi tanpa kompromi.
Tak mengherankan jika suara perlawanan mereka bukan hanya politik, tetapi spiritual. Mereka tidak berperang karena ambisi, tapi karena cinta. Cinta kepada yang benar. Cinta kepada yang dizalimi.
2. Qiyam: Nilai-Nilai Luhur Sebagai Akar Ketahanan
Apa yang membuat Yaman tetap berdiri ketika negara lain runtuh dalam krisis? Jawabannya: Qiyam—nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat mereka. Nilai-nilai ini bukan doktrin, tapi darah dalam nadi sosial.
Di antaranya, pertama, Karamah (kemuliaan): Hidup dalam kemiskinan tidak menghapus kehormatan. Kedua, Sabr (kesabaran aktif): Bukan diam, tapi istiqamah dalam tekanan.
Ketiga, Iffah (kesucian diri): Tidak menjual harga diri untuk kekayaan. Keempat, Tadhiyah (pengorbanan): Mengorbankan kenyamanan untuk masa depan anak cucu. Kelima, Wilayah: Kesetiaan spiritual dan politik kepada mereka yang layak memimpin.
Qiyam ini ditanamkan sejak kecil. Di sekolah, di masjid, di rumah, bahkan dalam nyanyian rakyat. Maka jangan heran jika anak-anak Yaman bicara tentang “kemuliaan” dan “kezaliman” dengan pemahaman yang jauh melampaui usia mereka.
Deputi Bidang Perhubungan DPP Partai Demokrat
DI ANTARA dentuman rudal, pekikan drone, dan debu kehancuran, Yaman tetap berdzikir. Negeri ini bukan hanya arena perang, tapi juga tanah suci perenungan. Di balik gunung-gunungnya yang sunyi, lembah-lembahnya yang keras, dan malam-malam yang tanpa listrik, ruh bangsa ini tidak pernah padam.
Justru di tengah gelap, mereka menyala. Dan mungkin, Yaman sedang menyimpan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar kemenangan taktis: tanda zaman.
1. Yaman dan Ahlul Bait
Dalam tradisi Islam, Yaman selalu memiliki kedekatan istimewa dengan Ahlul Bait. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Iman itu Yaman, dan hikmah itu pun dari Yaman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat ini bukan sekadar pujian. Ini adalah penunjuk jalan sejarah. Di saat banyak bangsa Islam bergeser menjauh dari warisan Ahlul Bait, Yaman tetap memeluknya erat, bahkan ketika dibayar dengan darah. Mereka menyebut Sayyidina Ali sebagai Imam, mencintai Fatimah az-Zahra, dan menghormati cucu-cucu Nabi tanpa kompromi.
Tak mengherankan jika suara perlawanan mereka bukan hanya politik, tetapi spiritual. Mereka tidak berperang karena ambisi, tapi karena cinta. Cinta kepada yang benar. Cinta kepada yang dizalimi.
2. Qiyam: Nilai-Nilai Luhur Sebagai Akar Ketahanan
Apa yang membuat Yaman tetap berdiri ketika negara lain runtuh dalam krisis? Jawabannya: Qiyam—nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat mereka. Nilai-nilai ini bukan doktrin, tapi darah dalam nadi sosial.
Di antaranya, pertama, Karamah (kemuliaan): Hidup dalam kemiskinan tidak menghapus kehormatan. Kedua, Sabr (kesabaran aktif): Bukan diam, tapi istiqamah dalam tekanan.
Ketiga, Iffah (kesucian diri): Tidak menjual harga diri untuk kekayaan. Keempat, Tadhiyah (pengorbanan): Mengorbankan kenyamanan untuk masa depan anak cucu. Kelima, Wilayah: Kesetiaan spiritual dan politik kepada mereka yang layak memimpin.
Qiyam ini ditanamkan sejak kecil. Di sekolah, di masjid, di rumah, bahkan dalam nyanyian rakyat. Maka jangan heran jika anak-anak Yaman bicara tentang “kemuliaan” dan “kezaliman” dengan pemahaman yang jauh melampaui usia mereka.
Lihat Juga :