Mendata Masyarakat Miskin Baru
Senin, 11 Mei 2020 - 08:11 WIB
Hal ini disampaikan langsung Menteri Sosial Juliari P Batubara dan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Di sela-sela rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jumat (8/5) lalu, Juliari menyebutkan, ada potensi penambahan angka kemiskinan menjadi 12% dari posisi saat ini 9,22%.
Penambahan jumlah warga miskin ini diakuinya akan berimplikasi pada bertambanhnya jumlah penerima bantuan sosial (bansos) sebagai jaring pengaman di kala krisis akibat Covid-19.
Penambahan angka kemiskinan ke kisaran 12% ini sudah barang tentu akan membuat skema penerimaan bansos kembali berubah. Pasalnya, dalam Perppu No 1/2020 yang telah disahkan DPR, alokasi untuk dana jarring pengaman sosial telah ditetapkan Rp110 triliun belum memperhitungkan angka kemiskinan baru tersebut.
Sekadar diketahui, berdasarkan data BPS, pada September 2019 lalu, angka kemiskinan sebesar 9,22% setara dengan 24,79 juta jiwa. Bisa dibayangkan, ada jutaan jiwa lagi yang harus kembali didata ulang agar masuk kategori penerima bansos dan sejenisnya.
Angka kemiskinan pada September tahun lalu merupakan terendah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagai pembanding, pada 2014 ketika Jokowi dilantik menjadi presiden untuk periode pertama, angka kemisninan di Indonesia berada di level 10,96% atau setara dengan 27,73 juta jiwa.
Dengan kondisi seperti saat ini, pekerjaan rumah pemerintah pun diyakini bertambah berat. Terlebih pada beberapa waktu lalu, Jokowi ingin angka kemiskinan bisa terus ditekan hingga seminimal mungkin hingga 0% yang rasanya mustahil.
Kembali ke soal pendataan. Pekerjaan inilah harus menjadi perhatian serius instansi terkait. Maklum, keakuratan data di negeri ini kerap menjadi sumber masalah.
Lihat saja pembagian bansos di beberapa daerah yang dilaporkan kisruh karena banyak warga yang seharusnya mendapat bantuan justru terabaikan. Begitupun sebaliknya, ada warga yang mampu malah mendapat bantuan.
Menteri Muhadjir menegaskan, verifikasi data masyarakat miskin yang disebutknya ‘miskin kagetan’ itu masih terus dilakukan. Dia memastikan data tersebut dihimpun dari bawah melalui RT/RW untuk kemudian diolah menjadi bagian dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Di sela-sela rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jumat (8/5) lalu, Juliari menyebutkan, ada potensi penambahan angka kemiskinan menjadi 12% dari posisi saat ini 9,22%.
Penambahan jumlah warga miskin ini diakuinya akan berimplikasi pada bertambanhnya jumlah penerima bantuan sosial (bansos) sebagai jaring pengaman di kala krisis akibat Covid-19.
Penambahan angka kemiskinan ke kisaran 12% ini sudah barang tentu akan membuat skema penerimaan bansos kembali berubah. Pasalnya, dalam Perppu No 1/2020 yang telah disahkan DPR, alokasi untuk dana jarring pengaman sosial telah ditetapkan Rp110 triliun belum memperhitungkan angka kemiskinan baru tersebut.
Sekadar diketahui, berdasarkan data BPS, pada September 2019 lalu, angka kemiskinan sebesar 9,22% setara dengan 24,79 juta jiwa. Bisa dibayangkan, ada jutaan jiwa lagi yang harus kembali didata ulang agar masuk kategori penerima bansos dan sejenisnya.
Angka kemiskinan pada September tahun lalu merupakan terendah di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagai pembanding, pada 2014 ketika Jokowi dilantik menjadi presiden untuk periode pertama, angka kemisninan di Indonesia berada di level 10,96% atau setara dengan 27,73 juta jiwa.
Dengan kondisi seperti saat ini, pekerjaan rumah pemerintah pun diyakini bertambah berat. Terlebih pada beberapa waktu lalu, Jokowi ingin angka kemiskinan bisa terus ditekan hingga seminimal mungkin hingga 0% yang rasanya mustahil.
Kembali ke soal pendataan. Pekerjaan inilah harus menjadi perhatian serius instansi terkait. Maklum, keakuratan data di negeri ini kerap menjadi sumber masalah.
Lihat saja pembagian bansos di beberapa daerah yang dilaporkan kisruh karena banyak warga yang seharusnya mendapat bantuan justru terabaikan. Begitupun sebaliknya, ada warga yang mampu malah mendapat bantuan.
Menteri Muhadjir menegaskan, verifikasi data masyarakat miskin yang disebutknya ‘miskin kagetan’ itu masih terus dilakukan. Dia memastikan data tersebut dihimpun dari bawah melalui RT/RW untuk kemudian diolah menjadi bagian dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
tulis komentar anda