Cara Memanfaatkan Peluang di Tengah Krisis Pandemi
Sabtu, 17 Oktober 2020 - 12:40 WIB
Wanita kelahiran Jakarta, 1983 yang menempuh pendidikan di Universitas Indonesia jurusan Sastra Arab ini belajar hidroponik secara otodidak. Eva menyediakan berbagai sarana hidroponik seperti sistem bertanam NFT (nutrient film technique), nutrisi, benih, media tanam dan lain-lain, sampai kepada paket pelatihan.
"Di Indonesia edible flowers bisa berkembang karena banyak orang-orang yang kreatif. Dan di Indonesia edible flower bisa ditanam baik di dataran tinggi atau rendah," ucapnya.
Eva pun kini telah menjadi konsultan dan pelatih (trainer) untuk proyek-proyek bantuan NGO (non-government organization) dan pemerintah mengenai hidroponik.
Pada tahun 2017, Eva pun mulai fokus memproduksi kegiatan memproduksi edible flowers di kebun hidroponiknya di Bandung. Di Indonesia sendiri, penggunaan bunga hias untuk bahan makanan baru mulai ramai sejak tahun 2016.
"Paling lucu melihat exprektasi orang-orang yang 90% rata-rata belum tahu kalau ada bunga-bunga bisa dimakan," paparnya.
Namun di beberapa negara Asia, Eropa dan di Timur Tengah, bunga telah menjadi bagian dari kuliner. Di Indonesia ada beberapa bunga jenis bunga, seperti pohon turi (Sesbania grandiflora L), bunga pohon pepaya (Carica papaya L).
Kemudian bunga telang (Clitoria ternatea), bunga mawar (Rosa gallica officinalis), bunga kenikir (Cosmos caudatus) dan bunga kertas (Zinnia elegans) sudah sejak lama dijadikan bahan makanan atau minuman. "Per satuan Rp1.000, Rp1.500, Rp2.000, Rp2.500, Rp5.000, Rp7.000," terangnya.
Menurutnya, umumnya konsumen memakai bunga-bunga ini sebagai garnish atau penghias makanan. Tekstur, rasa, dan aromanya yang unik menjadikan bunga kini makin populer sebagai bahan kreatif dan inovatif dalam dunia kuliner.
Sebagai penggagas budidaya edible flower di Indonesia, Eva mengingatkan tidak semua bunga dapat atau layak dikonsumsi. Ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, mulai dari jenis tanaman, bebas pestisida sampai cara budidaya.
"Ini agak sulit karena kunci kita kan di komitmen untuk benar-benar aman dari residu racun pestisida. Kalau kita enggak awasin sendiri khawatir enggak terpenuhi komitmennya itu," imbuhnya.
"Di Indonesia edible flowers bisa berkembang karena banyak orang-orang yang kreatif. Dan di Indonesia edible flower bisa ditanam baik di dataran tinggi atau rendah," ucapnya.
Eva pun kini telah menjadi konsultan dan pelatih (trainer) untuk proyek-proyek bantuan NGO (non-government organization) dan pemerintah mengenai hidroponik.
Pada tahun 2017, Eva pun mulai fokus memproduksi kegiatan memproduksi edible flowers di kebun hidroponiknya di Bandung. Di Indonesia sendiri, penggunaan bunga hias untuk bahan makanan baru mulai ramai sejak tahun 2016.
"Paling lucu melihat exprektasi orang-orang yang 90% rata-rata belum tahu kalau ada bunga-bunga bisa dimakan," paparnya.
Namun di beberapa negara Asia, Eropa dan di Timur Tengah, bunga telah menjadi bagian dari kuliner. Di Indonesia ada beberapa bunga jenis bunga, seperti pohon turi (Sesbania grandiflora L), bunga pohon pepaya (Carica papaya L).
Kemudian bunga telang (Clitoria ternatea), bunga mawar (Rosa gallica officinalis), bunga kenikir (Cosmos caudatus) dan bunga kertas (Zinnia elegans) sudah sejak lama dijadikan bahan makanan atau minuman. "Per satuan Rp1.000, Rp1.500, Rp2.000, Rp2.500, Rp5.000, Rp7.000," terangnya.
Menurutnya, umumnya konsumen memakai bunga-bunga ini sebagai garnish atau penghias makanan. Tekstur, rasa, dan aromanya yang unik menjadikan bunga kini makin populer sebagai bahan kreatif dan inovatif dalam dunia kuliner.
Sebagai penggagas budidaya edible flower di Indonesia, Eva mengingatkan tidak semua bunga dapat atau layak dikonsumsi. Ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, mulai dari jenis tanaman, bebas pestisida sampai cara budidaya.
"Ini agak sulit karena kunci kita kan di komitmen untuk benar-benar aman dari residu racun pestisida. Kalau kita enggak awasin sendiri khawatir enggak terpenuhi komitmennya itu," imbuhnya.
tulis komentar anda