Cipta Kerja: Pasal Lingkungan vs Angsa Hijau

Senin, 12 Oktober 2020 - 06:44 WIB
Untuk memastikan kesuksesan finansial jangka panjang, perusahaan perlu menyadari bahwa mereka beroperasi dalam lingkungan biofisik dan sosial yang lebih besar, dan menghormati keberlanjutan ekosistem yang lebih besar. Hasil penelitian Alshehhi et al., (2018) menemukan bahwa 78% dari 132 publikasi hasil riset membuktikan adanya hubungan positif antara sustainability dan kinerja keuangan perusahaan. Tidak mengherankan jika kemudian perusahaan yang selain mengejar keuntungan, juga menunjukkan usaha melestarikan lingkungan, lebih mendapatkan kepercayaan investor. Hal ini dibuktikan oleh Lourenco et al., (2012) yang mengungkapkan perusahaan yang meskipun memiliki kinerja keuangan (profit) yang tinggi namun tidak memberikan perhatian atau mengabaikan lingkungan hidup, akan ditinggalkan oleh investor.

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan temuan Adams et al., (2012) yang membuktikan praktik sustainability yang dilakukan perusahaan dapat digunakan untuk membangun loyalitas pelanggan dan meningkatkan reputasi perusahaan dalam jangka panjang yang berkorelasi positif dengan maksimalisasi kekayaan pemegang saham jangka panjang.

Bukti lainnya, hasil analisis pada perusahaan S&P 500 yang dilaporkan oleh The Guardian (23 September 2014) yang menemukan perusahaan dengan praktik sustainability yang ditanamkan dalam strategi inti, mempunyai kinerja keuangan yang lebih unggul dibanding perusahaan yang gagal menunjukkan performa sustainability yang baik. Strategi sustainability yang dilakukan perusahaan unggulan tersebut di antaranya target pengurangan emisi yang ambisius, menerapkan tata kelola (governance) yang kuat dan manajemen risiko yang kuat atas perubahan iklim.

Pergeseran paradigma bisnis tersebut bukan hanya karena pengaruh kinerja finansial yang meningkat serta kepercayaan investor dan konsumen yang semakin tinggi yang ditimbulkan dari praktik sustainability perusahaan, melainkan juga karena adanya sebuah kesadaran kolektif mengenai sakitnya bumi saat ini. Mungkin klise, tapi tidak ada salahnya saya sajikan informasi dari Kendal dan Rich (2019). Bahwa dunia kehilangan hutan setara dengan satu lapangan sepak bola setiap detik pada 2017 (globalforestwatch.org). Teknik pertanian intensif bahan kimia, penggundulan hutan, dan pemanasan global telah menghancurkan tanah kita selama beberapa dekade, yang berarti bahwa pada semua tanah teratas dunia berpotensi untuk hilang dalam waktu 60 tahun (fao.org).

Itu berarti tidak ada lagi panen, karena 95% makanan kita berasal dari tanah. Penyakit yang disebabkan oleh polusi menjadi penyebab atas sekitar 9 juta kematian dini pada 2015, mewakili 16% dari semua kematian di seluruh dunia, dan tiga kali lebih banyak daripada gabungan AIDS, TB, dan malaria (thelancet.com). Dan, setiap tahun sekitar 8 juta ton plastik berakhir di lautan kita (sciencemag.org), mengingat sampah plastik tidak terurai tetapi hanya pecah menjadi potongan-potongan yang semakin kecil, maka akan kembali ke sistem makanan dan air kita.

Lebih lanjut, fakta berdasar hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen lebih memilih untuk membeli produk yang ramah lingkungan dan perusahaan yang sustainable . Dan, perusahaan yang secara inovatif berhasil mengeluarkan produk-produk yang ramah lingkungan lebih diminati. Tengok saja Elon Musk, Bios Urns, AMAM, Patagonia, dan masih banyak lagi. Mereka tidak hanya melestarikan bumi, namun juga meraup pundi-pundi.

Konsep Green Swan-Future-fit

Sustainability perusahaan sering kali didasarkan pada konsep triple bottom line (TBL), yaitu setiap perusahaan harus memberikan perhatian yang sama kepada ekonomi (keuntungan), lingkungan hidup dan sosial (masyarakat) (Elkington, 1998), atau yang dikenal dengan 3P yaitu profit , people , dan planet . TBL bukan hanya kerangka akuntansi untuk mengukur, mencatat dan melaporkan kinerja sustainability. Namun pada 2018, Elkington menarik kembali ide TBL tersebut didasarkan pada kekecewaannya pada implementasi TBL. Selama ini pandangan perusahaan sebagian besar menempatkan TBL sebagai kerangka akuntansi saja, sehingga perusahaan terus terdorong untuk mencapai profit dengan mengabaikan sosial dan lingkungan.

Belakangan, Elkington memperkenalkan konsep future-fit dengan istilah Green Swan (Angsa Hijau) untuk perusahaan dapat beroperasi sesuai dengan kebutuhan masa depan (future-fit). Kebutuhan masa depan itu didasarkan pada tiga pemikiran. Pertama, akibat pertumbuhan populasi global, keadaan darurat iklim akan semakin menekan ekonomi dan masyarakat kita. Kedua, kebutuhan dasar miliaran orang di seluruh dunia masih jauh dari terpenuhi. Ketiga, seperti diakui oleh PBB, hanya sektor bisnis yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, meskipun sektor publik dan pemerintah telah pula menetapkan target-target sustainability.

Pada konsep angsa hijau, TBL juga bertujuan membuat perubahan sistem bernama "system value" yang mendorong transformasi kapitalisme. Kapitalisme tidak hanya melulu mengejar keuntungan. Untuk menciptakan nilai dan bisnis jangka panjang, perusahaan perlu mentransformasi kapitalisme pada pola pikir yang berbeda. Pada pola pikir system value, bisnis melayani masyarakat karena keduanya berada di dalam lingkungan alam yang sama (bumi), bergantung pada bumi, dan semestinya membantu melindungi dan meregenerasi lingkungan alam yang lebih luas (bumi).
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More