Cipta Kerja: Pasal Lingkungan vs Angsa Hijau

Senin, 12 Oktober 2020 - 06:44 WIB
loading...
Cipta Kerja: Pasal Lingkungan vs Angsa Hijau
Elvia Ivada
A A A
Elvia Ivada
Dosen Pendidikan Akuntansi FKIP UNS,
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB UNS,
Corporate Sustainability Reporting Specialist


SANTER
terkabar bahwa Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang penuh kontroversi memuat pasal-pasal yang memudahkan investasi dengan berbagai cara, termasuk berpotensi mengancam kelestarian lingkungan hidup (KORAN SINDO, 27 Februari 2020). Protes berbagai elemen masyarakat termasuk para pegiat lingkungan hidup seperti Walhi yang menyatakan bahwa pada UU Ciptaker memiliki pasal-pasal yang melemahkan perlindungan lingkungan hidup, ditepis dengan berbagai jawaban. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut tidak benar bahwa perlindungan lingkungan mengalami kemunduran dalam UU tersebut (KORAN SINDO, 8 Oktober 2020).

Belum pasti mana yang benar. Namun jika benar bahwa UU Cipta Kerja berpotensi melemahkan perlindungan dan mengancam kelestarian lingkungan hidup, inisiator dan pembuat UU itu sesungguhnya kurang memahami ke mana arah dunia berputar. Mengapa demikian?

Pergeseran Paradigma Bisnis
Penelitian membuktikan bahwa tekanan berbagai pihak menyebabkan perusahaan "dipaksa" harus mempertimbangkan masalah lingkungan hidup dalam strategi dan operasi bisnisnya (Sarkis et al., 2009; Alshehhi et al., 2018). Hal itu menyebabkan pergeseran paradigma perusahaan bisnis dari ekspektasi keuangan tradisional ke ekspektasi keberlanjutan (sustainability) perusahaan (Laska et al., 2017). Dengan kata lain, perusahaan pada saat melakukan kegiatan bisnisnya dalam waktu yang sama dituntut turut mendorong pelestarian lingkungan hidup. Atau paling tidak, tanpa membahayakan lingkungan hidup dan sosial.

Untuk memastikan kesuksesan finansial jangka panjang, perusahaan perlu menyadari bahwa mereka beroperasi dalam lingkungan biofisik dan sosial yang lebih besar, dan menghormati keberlanjutan ekosistem yang lebih besar. Hasil penelitian Alshehhi et al., (2018) menemukan bahwa 78% dari 132 publikasi hasil riset membuktikan adanya hubungan positif antara sustainability dan kinerja keuangan perusahaan. Tidak mengherankan jika kemudian perusahaan yang selain mengejar keuntungan, juga menunjukkan usaha melestarikan lingkungan, lebih mendapatkan kepercayaan investor. Hal ini dibuktikan oleh Lourenco et al., (2012) yang mengungkapkan perusahaan yang meskipun memiliki kinerja keuangan (profit) yang tinggi namun tidak memberikan perhatian atau mengabaikan lingkungan hidup, akan ditinggalkan oleh investor.

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan temuan Adams et al., (2012) yang membuktikan praktik sustainability yang dilakukan perusahaan dapat digunakan untuk membangun loyalitas pelanggan dan meningkatkan reputasi perusahaan dalam jangka panjang yang berkorelasi positif dengan maksimalisasi kekayaan pemegang saham jangka panjang.

Bukti lainnya, hasil analisis pada perusahaan S&P 500 yang dilaporkan oleh The Guardian (23 September 2014) yang menemukan perusahaan dengan praktik sustainability yang ditanamkan dalam strategi inti, mempunyai kinerja keuangan yang lebih unggul dibanding perusahaan yang gagal menunjukkan performa sustainability yang baik. Strategi sustainability yang dilakukan perusahaan unggulan tersebut di antaranya target pengurangan emisi yang ambisius, menerapkan tata kelola (governance) yang kuat dan manajemen risiko yang kuat atas perubahan iklim.

Pergeseran paradigma bisnis tersebut bukan hanya karena pengaruh kinerja finansial yang meningkat serta kepercayaan investor dan konsumen yang semakin tinggi yang ditimbulkan dari praktik sustainability perusahaan, melainkan juga karena adanya sebuah kesadaran kolektif mengenai sakitnya bumi saat ini. Mungkin klise, tapi tidak ada salahnya saya sajikan informasi dari Kendal dan Rich (2019). Bahwa dunia kehilangan hutan setara dengan satu lapangan sepak bola setiap detik pada 2017 (globalforestwatch.org). Teknik pertanian intensif bahan kimia, penggundulan hutan, dan pemanasan global telah menghancurkan tanah kita selama beberapa dekade, yang berarti bahwa pada semua tanah teratas dunia berpotensi untuk hilang dalam waktu 60 tahun (fao.org).

Itu berarti tidak ada lagi panen, karena 95% makanan kita berasal dari tanah. Penyakit yang disebabkan oleh polusi menjadi penyebab atas sekitar 9 juta kematian dini pada 2015, mewakili 16% dari semua kematian di seluruh dunia, dan tiga kali lebih banyak daripada gabungan AIDS, TB, dan malaria (thelancet.com). Dan, setiap tahun sekitar 8 juta ton plastik berakhir di lautan kita (sciencemag.org), mengingat sampah plastik tidak terurai tetapi hanya pecah menjadi potongan-potongan yang semakin kecil, maka akan kembali ke sistem makanan dan air kita.

Lebih lanjut, fakta berdasar hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen lebih memilih untuk membeli produk yang ramah lingkungan dan perusahaan yang sustainable . Dan, perusahaan yang secara inovatif berhasil mengeluarkan produk-produk yang ramah lingkungan lebih diminati. Tengok saja Elon Musk, Bios Urns, AMAM, Patagonia, dan masih banyak lagi. Mereka tidak hanya melestarikan bumi, namun juga meraup pundi-pundi.

Konsep Green Swan-Future-fit
Sustainability perusahaan sering kali didasarkan pada konsep triple bottom line (TBL), yaitu setiap perusahaan harus memberikan perhatian yang sama kepada ekonomi (keuntungan), lingkungan hidup dan sosial (masyarakat) (Elkington, 1998), atau yang dikenal dengan 3P yaitu profit , people , dan planet . TBL bukan hanya kerangka akuntansi untuk mengukur, mencatat dan melaporkan kinerja sustainability. Namun pada 2018, Elkington menarik kembali ide TBL tersebut didasarkan pada kekecewaannya pada implementasi TBL. Selama ini pandangan perusahaan sebagian besar menempatkan TBL sebagai kerangka akuntansi saja, sehingga perusahaan terus terdorong untuk mencapai profit dengan mengabaikan sosial dan lingkungan.

Belakangan, Elkington memperkenalkan konsep future-fit dengan istilah Green Swan (Angsa Hijau) untuk perusahaan dapat beroperasi sesuai dengan kebutuhan masa depan (future-fit). Kebutuhan masa depan itu didasarkan pada tiga pemikiran. Pertama, akibat pertumbuhan populasi global, keadaan darurat iklim akan semakin menekan ekonomi dan masyarakat kita. Kedua, kebutuhan dasar miliaran orang di seluruh dunia masih jauh dari terpenuhi. Ketiga, seperti diakui oleh PBB, hanya sektor bisnis yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, meskipun sektor publik dan pemerintah telah pula menetapkan target-target sustainability.

Pada konsep angsa hijau, TBL juga bertujuan membuat perubahan sistem bernama "system value" yang mendorong transformasi kapitalisme. Kapitalisme tidak hanya melulu mengejar keuntungan. Untuk menciptakan nilai dan bisnis jangka panjang, perusahaan perlu mentransformasi kapitalisme pada pola pikir yang berbeda. Pada pola pikir system value, bisnis melayani masyarakat karena keduanya berada di dalam lingkungan alam yang sama (bumi), bergantung pada bumi, dan semestinya membantu melindungi dan meregenerasi lingkungan alam yang lebih luas (bumi).

Perusahaan bisnis hanya dapat berkembang jika masyarakat makmur, yang pada gilirannya menuntut kita semua untuk melindungi sistem pendukung kehidupan di bumi. Sehingga implikasinya, seiring waktu, di dunia yang semakin tidak pasti, fokus pada system value akan menjadi semakin penting untuk kesuksesan bisnis (Elkington, 2020). Ini barangkali seperti mimpi di siang bolong yang saat ini akan membuat para pelaku usaha terbahak-bahak karena mungkin terlalu absurd untuk dapat direalisasikan. Sehubungan dengan hal itu, telah banyak pakar dan konsultan di luar sana yang dapat memberikan bantuan dan dampingan agar perusahaan dapat beroperasi dengan prinsip sustainability. Dan, lihatlah bukti-bukti tak terelakkan, konsumen dan investor semakin sepakat bahwa perusahaan harus ikut andil dalam pelestarian bumi.

Nyata ancaman di depan mata bagi perusahaan yang tidak mempertimbangkan lingkungan hidup dalam operasi bisnisnya, apalagi perusahaan yang merusak lingkungan. Dalam jangka panjang, mereka akan ditinggalkan konsumen dan investor. Jadi, ada atau tidak ada UU Ciptaker, perusahaan yang ingin tetap eksis dalam jangka panjang tetap dituntut untuk melakukan pelestarian lingkungan bersamaan dengan kegiatan bisnis yang dilakukannya. Beyond compliance (lebih dari yang dipersyaratkan) adalah pilihan yang harus dilakukan perusahaan di Indonesia jika benar UU Ciptaker memuat pasal yang mendorong bisnis dan investasi namun melemahkan lingkungan itu. Jika tidak, perusahaan harus bersiap untuk ditinggalkan konsumen dan investornya dan mungkin kita pun perlu bersiap untuk mencari bumi lain.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1343 seconds (0.1#10.140)