YLBHI: RUU Cipta Kerja Disahkan, Korban Bakal Berjatuhan
Senin, 05 Oktober 2020 - 16:08 WIB
JAKARTA - Gejolak terus memanas di kalangan publik seiring rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah. Gelombang penolakan makin menguat, termasuk dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) .
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati mengungkapkan kekecewaannya atas arogansi penguasa terhadap rencana pengesahan tersebut. Setelah parlemen Senayan mengesahkan RUU Minerba dalam waktu sekitar dua bulan, kini DPR segera mengesahkan RUU Cipta Kerja setelah beberapa hari lalu disetujui sebagian besar fraksi.
“Ini suatu hal yang membuat kita bertambah marah, sedih, dan kecewa. Pembahasan dan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja ini menunjukkan bahwa DPR tidak peka terhadap persoalan masyarakat, tetapi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ketus Rakhma dalam diskusi publik secara daring, Senin (5/10/2020).
(Baca: Ngotot Sahkan RUU Cipta Kerja, Pemerintah dan DPR Tak Peka terhadap Penderitaan Rakyat)
Ia menilai DPR dan pemerintah sudah tertutup dari awal, tidak melibatkan partisipasi publik di dalam membuat RUU tersebut. Menurutnya, ini menunjukkan memang ada sesuatu yang ditutupi, khususnya kepentingan oligarki yang sedang dilindungi dibalik pengesahan RUU Cipta Kerja.
“Kalau RUU ini disahkan, ini akan membahayakan segenap aspek kehidupan masyarakat. Para korban akan berjatuhan, mulai dari petani, buruh, masyarakat adat, masyarakat miskin, kelompok minoritas rentan, dan juga perempuan,” ujarnya.
Selama ini banyak kasus yang terkait perampasan hak masyarakat atas tanah, ruang hidup, hak buruh dan perusakan lingkungan. Secara khusus, perempuan menjadi korban yang pertama. Ketika pemerintah dengan mudahnya mengeluarkan perizinan untuk perusahaan di bidang ekstraktif sumber daya alam dan mengeluarkan surat-surat keputusan kepada para investor, itu membuat para petani, masyarakat adat, dan perempuan dipaksa beralih dari ruang hidupnya.
(Baca: RUU Cipta Kerja Disahkan Sore Ini)
Begitu juga ketika lingkungan rusak karena ditambang, para perempuan dan anak juga kerap menjadi korban. Bahan-bahan kimia dan limbah berbahaya masuk ke dalam tubuh mereka. Ketika hutan dirusak, para perempuan juga menjadi korban utama dan pertama karena hutan telah menjadi sumber daya hidup bagi masyarakat sekitar, terutama menjadi salah satu sumber pasokan air.
Kalau RUU ini disahkan, situasi akan lebih parah lagi. Sebab, akan memfasilitasi para pengusaha untuk semakin mudah merusak lingkungan dengan dihapusnya izin lingkungan dalam RUU Cipta Kerja. Selain itu, masyarakat juga tidak bisa lagi terlibat dalam proses pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dari perusahaan karena telah dihapus dari anggota komisi Amdal.
“Ketika perusahaan melanggar aturan, mencemari lingkungan, mereka cukup mendapatkan sanksi administrasi. Bukan sanksi pidana. Kalau tidak bisa bayar denda, barulah sanksi pidana diberlakukan,” tandasnya.
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati mengungkapkan kekecewaannya atas arogansi penguasa terhadap rencana pengesahan tersebut. Setelah parlemen Senayan mengesahkan RUU Minerba dalam waktu sekitar dua bulan, kini DPR segera mengesahkan RUU Cipta Kerja setelah beberapa hari lalu disetujui sebagian besar fraksi.
“Ini suatu hal yang membuat kita bertambah marah, sedih, dan kecewa. Pembahasan dan rencana pengesahan RUU Cipta Kerja ini menunjukkan bahwa DPR tidak peka terhadap persoalan masyarakat, tetapi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ketus Rakhma dalam diskusi publik secara daring, Senin (5/10/2020).
(Baca: Ngotot Sahkan RUU Cipta Kerja, Pemerintah dan DPR Tak Peka terhadap Penderitaan Rakyat)
Ia menilai DPR dan pemerintah sudah tertutup dari awal, tidak melibatkan partisipasi publik di dalam membuat RUU tersebut. Menurutnya, ini menunjukkan memang ada sesuatu yang ditutupi, khususnya kepentingan oligarki yang sedang dilindungi dibalik pengesahan RUU Cipta Kerja.
“Kalau RUU ini disahkan, ini akan membahayakan segenap aspek kehidupan masyarakat. Para korban akan berjatuhan, mulai dari petani, buruh, masyarakat adat, masyarakat miskin, kelompok minoritas rentan, dan juga perempuan,” ujarnya.
Selama ini banyak kasus yang terkait perampasan hak masyarakat atas tanah, ruang hidup, hak buruh dan perusakan lingkungan. Secara khusus, perempuan menjadi korban yang pertama. Ketika pemerintah dengan mudahnya mengeluarkan perizinan untuk perusahaan di bidang ekstraktif sumber daya alam dan mengeluarkan surat-surat keputusan kepada para investor, itu membuat para petani, masyarakat adat, dan perempuan dipaksa beralih dari ruang hidupnya.
(Baca: RUU Cipta Kerja Disahkan Sore Ini)
Begitu juga ketika lingkungan rusak karena ditambang, para perempuan dan anak juga kerap menjadi korban. Bahan-bahan kimia dan limbah berbahaya masuk ke dalam tubuh mereka. Ketika hutan dirusak, para perempuan juga menjadi korban utama dan pertama karena hutan telah menjadi sumber daya hidup bagi masyarakat sekitar, terutama menjadi salah satu sumber pasokan air.
Kalau RUU ini disahkan, situasi akan lebih parah lagi. Sebab, akan memfasilitasi para pengusaha untuk semakin mudah merusak lingkungan dengan dihapusnya izin lingkungan dalam RUU Cipta Kerja. Selain itu, masyarakat juga tidak bisa lagi terlibat dalam proses pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dari perusahaan karena telah dihapus dari anggota komisi Amdal.
“Ketika perusahaan melanggar aturan, mencemari lingkungan, mereka cukup mendapatkan sanksi administrasi. Bukan sanksi pidana. Kalau tidak bisa bayar denda, barulah sanksi pidana diberlakukan,” tandasnya.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda