Hasto: Potensi Konflik dalam Pemilu Dimulai Sejak Liberalisasi Sistem Politik

Senin, 21 September 2020 - 15:21 WIB
Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menyatakan, potensi konflik dalam pemilu juga pilkada serentak dimulai sejak liberalisasi sistem politik. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto menyatakan, potensi konflik dalam pemilu juga pilkada serentak dimulai sejak liberalisasi sistem politik. Dia menilai, perubahan sistem politik terjadi ketika didorong ke sistem liberal pada saat amandemen UUD 1945 yang terfragmentasi oleh lembaga internasional saat itu.

Hasto Kristiyanto yang juga penerina beasiswa program doktoral Universitas Pertahanan (Unhan) itu mengusulkan sejumlah langkah yang mendorong kembali ke semangat dasar pendirian NKRI, termasuk nilai-nilai Pancasila. Dalam paparannya, Hasto mengutip buku karya Dennis W. Jhonson, dkk. berjudul Handbook of Political Management, yang salah satunya memotret Krisis Ekonomi 1997/1998 melahirkan skenario politik global melalui proses liberalisasi politik global. (Baca juga: PDIP Hormati Posisi Politik Kader Nonpartai Peserta Sekolah Cakada)

Di Indonesia, saat itu kedaulatan politik ekonomi Indonesia dikontrol melalui Letter of Intent (LOI) dengan International Monetary Fund (IMF) saat itu. Maka di Indonesia, terjadi global reproduction of American Politic, melalui liberalisasi politik dan ekonomi pascakrisis moneter 1997. Proses ini berlanjut hingga ke perubahan UUD 1945 yang merubah sistem ketatanegaraan Indonesia, termasuk sistem politiknya. ”Jika di sistem sebelumnya Indonesia memiliki Haluan Negara yang dibentuk berdasarkan aspirasi seluruh perwakilan rakyat, melalui DPR, Utusan Daerah, hingga Utusan Golongan di MPR, di sistem baru itu digantikan dalam praktek demokrasi liberal tersebut,” kata Hasto saat menjadi narasumber webinar puncak Perayaan Hari Perdamaian Dunia yang digelar Universitas Pertahanan (Unhan), Senin (21/9/2020). (Baca juga: Pilkada 2020 Tanpa APD, Bawaslu Ingatkan Potensi Konflik)



Masalahnya, demokrasi langsung ala Amerika itu ternyata memiliki sisi negatif yakni kapitalisasi kekuasaan politik dimana pemilik modal/pebisnis bisa memengaruhi karena nature demokrasi langsung memang mahal sehingga memberi peluang lebih besar bagi orang atau kelompok kaya, dan lahirlah interest group. Lalu terjadi konvergensi antara politik-hukum-pemilik kapital-media. Terjadi juga penguatan primordialisme, hingga konflik Pancasila dengan ideologi transnasional.

"Pilkada dalam praktik, menyempitkan pemikiran para pendiri bangsa yang visioner dan penuh dengan gambaran ideal tentang Indonesia Raya. Misalnya dulu kita bermimpi, Bupati Klaten bisa diisi oleh orang Papua, bagaimana gubernur dari Jakarta bisa diisi oleh orang Sumatera Barat, misalnya. Karena setiap warga negara adalah sama. Tetapi dengan pelaksanaan pilkada secara langsung itu terjadi penyempitan. Kini orang berpikir untuk memilih pemimpin, harus sama sukunya, harus sama agamanya, sama keluarga besarnya. Tidak lagi dilihat bagaimana kompetensi menyelesaikan masalah rakyat di dalam membawa tanggung jawab masa depan, di dalam membawa sesuatu yang hadir dalam bentuk kebijakan," tambahnya.

Memang ada berbagai regulasi yang dikeluarkan untuk mencegah konflik atau menghukum pelanggar aturan. Namun, hingga saat ini, potensi konflik dalam ajang pemilu tetap hadir dalam wujud berbagai hal yakni munculnya analogi bahwa pemilu sebagai sebuah perang. Apalagi sampai membawa agama di dalam pilkada sebagai dalil semangat bagi para pendukung. "Padahal agama itu untuk menebar kebaikan, agama itu menjadi kekuatan moral dan etis yang sangat penting bagi setiap warga bangsa. Nilai spiritualitas yang membebaskan," ujar politikus asal Yogyakarta ini.

Selanjutnya adalah kecenderungan mendahulukan elektoral, dimana semangatnya adalah memenangkan pemilu menghalalkan cara apapun. Partai politik hanya dianggap sekedar menjadi mesin pemenangan, bukan sebuah kesempatan mewujudkan Pancasila untuk masyarakat. Sebagai Sekjen PDIP, Hasto mengatakan itu sebabnya partai itu menyelenggarakan sekolah kepala daerah agar para calon memahami kembali bahwa ajang pemilu sebenarnya adalah awal untuk membumikan Pancasila dalam kebijakan pemerintahan negara.

Politik elektoral ini pada gilirannya hanya sebagai bentuk pencitraan. Kalau di hari-hari biasa ada rakyat susah dibiarkan. Tapi begitu kampanye, ada rakyat susah, semua berbondong-bondong membantu dan kemudian diviralkan melalui media sosial. "Politik elektoral dari perspektif pencitraan itu juga nanti akan menciptakan konflik tersendiri. Kemudian wataknya juga transaksional, karena ada mobilisasi pilkada itu jauh lebih besar," ulasnya.

Hal ini pun hilirnya adalah terjadi sebuah kepentingan transaksional dengan para investor politik. Akibatnya, pembangunan akan berjangka pendek. Terjadi politisasi hukum, identitas, perang informasi, perang psikologi alias perang hegemoni di dalam informasi. Bahkan sampai melibatkan perang hasil survei.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More