Anak Kita dan Jarum Suntik Dopamin: Problem Anak Digital Native
Jum'at, 26 Juli 2024 - 14:43 WIB
Penggunaan media sosial dan game online yang intensif layaknya seperti “jarum suntik modern"yang terus memompa produksi dopamin yang membuat kita bergantung dan candu untuk terus berada di pusaran media sosial dan game online yang kita pikir akan mendatangkan kesenangan. Menurut Anna Lembke, jarum suntik dopamin ini membuat kita terjerumus ke dalam labirin pencarian kesenangan dan kehilangan keseimbangan.
Obsesi kita dengan kepuasan instan yang disajikan media sosial dan game online terus menerus membuat dopamin memenuhi otak limbik kita. Hingga akhirnya terdapat gangguan pada kecerdasan emosional, yang sejatinya sangat penting untuk pengembangan kepribadian seseorang.
Kehilangan keseimbangan diri inilah yang akhirnya membuat banyak orang gagal menangani perencanaan masa depan dan pemecahan masalah. Ketika anak-anak kita dihadapkan dengan masalah yang rumit atau meresahkan dalam pekerjaan atau kehidupan sosial mereka, mereka gagal mengendalikan dan menyelesaikannya secara mandiri.
Hal ini karena mereka beranggapan “teman-teman digital” mereka selalu ada untuk membantu mereka melepaskan diri dari kehidupan yang rumit dengan pengalih perhatian yang mudah. Artinya, anak-anak kita bisa menjadi generasi yang kehilangan kemampuan untuk menunda kepuasan dan memecahkan masalah akibat jarum suntik dopamin yang mematikan.
Keluarga sebagai Safety Net: Peluang dan Tantangan
Family rules dan monitoring orang tua berperan penting mengurangi tingkat kecanduan anak-anak terhadap layar smartphone mereka. Berubahnya dunia yang ditandai dengan tumbuh pesatnya media digital juga sudah barang tentu orang tua perlu mengubah pola pengasuhan dan pengajaran anak.
Idealnya, orang tua dapat memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan efek intervensi keluarga, mengatasi psychopathology dan online therapy. Namun di Indonesia titik krusialnya bukanlah pada bagaimana penggunaan media digital dalam lingkungan keluarga, melainkan kondisi keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mengakibatkan terjadinya pergeseran fungsi keluarga itu sendiri.
Angka perceraian di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tercatat dalam enam tahun terakhir (2017-2022), angka perceraian terus mengalami kenaikan signifikan. Angka tertinggi terjadi pada 2022.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat sekitar 15,31 persen dibanding 2021 sebanyak 447.743 kasus. Tingginya kasus perceraian inilah salah satu yang membuat Indonesia menyandang predikat fatherless country.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendefinisikan fatherless sebagai ketiadaan peran ayah. Artinya, ayah sebetulnya ada atau hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam perkembangan anak.
Obsesi kita dengan kepuasan instan yang disajikan media sosial dan game online terus menerus membuat dopamin memenuhi otak limbik kita. Hingga akhirnya terdapat gangguan pada kecerdasan emosional, yang sejatinya sangat penting untuk pengembangan kepribadian seseorang.
Kehilangan keseimbangan diri inilah yang akhirnya membuat banyak orang gagal menangani perencanaan masa depan dan pemecahan masalah. Ketika anak-anak kita dihadapkan dengan masalah yang rumit atau meresahkan dalam pekerjaan atau kehidupan sosial mereka, mereka gagal mengendalikan dan menyelesaikannya secara mandiri.
Hal ini karena mereka beranggapan “teman-teman digital” mereka selalu ada untuk membantu mereka melepaskan diri dari kehidupan yang rumit dengan pengalih perhatian yang mudah. Artinya, anak-anak kita bisa menjadi generasi yang kehilangan kemampuan untuk menunda kepuasan dan memecahkan masalah akibat jarum suntik dopamin yang mematikan.
Keluarga sebagai Safety Net: Peluang dan Tantangan
Family rules dan monitoring orang tua berperan penting mengurangi tingkat kecanduan anak-anak terhadap layar smartphone mereka. Berubahnya dunia yang ditandai dengan tumbuh pesatnya media digital juga sudah barang tentu orang tua perlu mengubah pola pengasuhan dan pengajaran anak.
Idealnya, orang tua dapat memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan efek intervensi keluarga, mengatasi psychopathology dan online therapy. Namun di Indonesia titik krusialnya bukanlah pada bagaimana penggunaan media digital dalam lingkungan keluarga, melainkan kondisi keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mengakibatkan terjadinya pergeseran fungsi keluarga itu sendiri.
Angka perceraian di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tercatat dalam enam tahun terakhir (2017-2022), angka perceraian terus mengalami kenaikan signifikan. Angka tertinggi terjadi pada 2022.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat sekitar 15,31 persen dibanding 2021 sebanyak 447.743 kasus. Tingginya kasus perceraian inilah salah satu yang membuat Indonesia menyandang predikat fatherless country.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendefinisikan fatherless sebagai ketiadaan peran ayah. Artinya, ayah sebetulnya ada atau hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam perkembangan anak.
Lihat Juga :
tulis komentar anda