Anak Kita dan Jarum Suntik Dopamin: Problem Anak Digital Native
Jum'at, 26 Juli 2024 - 14:43 WIB
Sejumlah anak berusia 0-17 tahun di Indonesia hanya tinggal bersama ibu kandungnya. Menurut Kementerian PPPA, kondisi ini disebabkan ayah bekerja di luar kota, orang tua bercerai (cerai hidup), atau ayah meninggal dunia (cerai mati).
Data BPS, yang diolah Kementerian PPPA, menunjukkan ada sebanyak 8,3% anak yang tinggal bersama ibu kandungnya pada 2018. Angka itu meningkat sekitar 2-3% dari sembilan tahun sebelumnya.
Laporan State of the World’s Fathers yang dirilis Rutgers Indonesia pada 2015 menyebutkan budaya patriarki sebagai salah satu alasan absennya ayah dalam perkembangan anak di Indonesia. Budaya patriarki menyebabkan meningkatnya pernikahan usia dini yang menjadi pemicu tingginya angka perceraian serta mengokohkan pandangan para ayah diharapkan bekerja ke luar rumah untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara, para ibu bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga.
Di tengah tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi tidaklah mudah menjadikan keluarga sebagai unit sosial yang dapat mengurai problematika yang menimpa anak-anak kita. Namun keluarga tetaplah menjadi lembaga sosial yang paling significant dan paling suportif bagi perkembangan mental anak.
Kehadiran keluarga yang utuh akan meningkatkan kemampuan kognisi dan kondisi kesehatan mental anak. Untuk itu, pemerintah perlu adanya kebijakan yang mendukung efektivitas pendidikan anak di rumah layaknya pelarangan pernikahan usia dini, pembatasan jam kerja, dan kebijakan sosial lainnya yang mendukung kesehatan sosial keluarga.
Sehingga anak akan tumbuh dewasa dengan kematangan psikologis yang sesuai dengan usia biologisnya. Ini berguna untuk mencapai Indonesia emas 2025 yang kerap dikampanyekan.
Lihat Juga: Menelaah Perlawanan Warga Dago Elos Bandung dalam Perspektif Teori Manajemen Konflik Komunikasi
Data BPS, yang diolah Kementerian PPPA, menunjukkan ada sebanyak 8,3% anak yang tinggal bersama ibu kandungnya pada 2018. Angka itu meningkat sekitar 2-3% dari sembilan tahun sebelumnya.
Laporan State of the World’s Fathers yang dirilis Rutgers Indonesia pada 2015 menyebutkan budaya patriarki sebagai salah satu alasan absennya ayah dalam perkembangan anak di Indonesia. Budaya patriarki menyebabkan meningkatnya pernikahan usia dini yang menjadi pemicu tingginya angka perceraian serta mengokohkan pandangan para ayah diharapkan bekerja ke luar rumah untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara, para ibu bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga.
Di tengah tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi tidaklah mudah menjadikan keluarga sebagai unit sosial yang dapat mengurai problematika yang menimpa anak-anak kita. Namun keluarga tetaplah menjadi lembaga sosial yang paling significant dan paling suportif bagi perkembangan mental anak.
Kehadiran keluarga yang utuh akan meningkatkan kemampuan kognisi dan kondisi kesehatan mental anak. Untuk itu, pemerintah perlu adanya kebijakan yang mendukung efektivitas pendidikan anak di rumah layaknya pelarangan pernikahan usia dini, pembatasan jam kerja, dan kebijakan sosial lainnya yang mendukung kesehatan sosial keluarga.
Sehingga anak akan tumbuh dewasa dengan kematangan psikologis yang sesuai dengan usia biologisnya. Ini berguna untuk mencapai Indonesia emas 2025 yang kerap dikampanyekan.
Lihat Juga: Menelaah Perlawanan Warga Dago Elos Bandung dalam Perspektif Teori Manajemen Konflik Komunikasi
(poe)
tulis komentar anda