Anak Kita dan Jarum Suntik Dopamin: Problem Anak Digital Native
loading...
A
A
A
Arjuna Putra Aldino T
Ketua Umum DPP GMNI
PERMASALAHAN anak-anak kita di era saat ini bukan hanya berhenti pada stunting dan kekerasan terhadap anak-anak. Melainkan juga masalah yang ditimbulkan akibat penggunaan teknologi digital oleh anak-anak kita yang sudah dianggap wajar.
Riset yang bertajuk Neurosensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids, menyebutkan sekitar 87% anak-anak di Indonesia sudah dikenalkan media sosial sebelum menginjak usia 13 tahun. Bahkan, sebanyak 92% anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah mengenal media sosial lebih dini. Rata-rata mereka menghabiskan waktu bermain media sosial selama 2-3 jam dalam sehari.
Selain media sosial, Indonesia juga gandrung akan game online. Data terbaru, pada 2023, menurut lembaga riset pemasaran asal Amsterdam, Newzoo ada sekitar 149.28 juta pengguna game online di Indonesia yang membelanjakan total USD880 juta setiap tahunnya.
Data ini membuat jumlah pemain game di Indonesia menjadi yang terbanyak di Asia Tenggara. Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) yang berjudul Survei Penetrasi & Perilaku Internet 2023, menunjukan mayoritas konsumen game online Indonesia bermain game lebih dari 4 jam per hari.
Jarum Suntik Dopamin
Riset yang dilakukan oleh seorang psikiater asal Stanford University, Dr Anna Lembke menyebut adanya kesamaan antara aktivitas otak pecandu kokain dan penggemar media sosial atau game online. Menurutnya, aktivitas pengguna media sosial seperti menscroll TikTok, like dan share,menonton Youtube, dan bermain game online seakan menawarkan pemenuhan rasa senang terus menerus yang tiada habisnya.
Ia menimbulkan kecanduan akut yang disebabkan stimulasi peningkatan produksi dopamine. Sebuah zat kimia di dalam otak yang berperan besar dalam mempengaruhi emosi, sensasi kesenangan hingga rasa sakit yang bisa dirasakan seseorang.
Penggunaan media sosial dan game online yang intensif layaknya seperti “jarum suntik modern"yang terus memompa produksi dopamin yang membuat kita bergantung dan candu untuk terus berada di pusaran media sosial dan game online yang kita pikir akan mendatangkan kesenangan. Menurut Anna Lembke, jarum suntik dopamin ini membuat kita terjerumus ke dalam labirin pencarian kesenangan dan kehilangan keseimbangan.
Obsesi kita dengan kepuasan instan yang disajikan media sosial dan game online terus menerus membuat dopamin memenuhi otak limbik kita. Hingga akhirnya terdapat gangguan pada kecerdasan emosional, yang sejatinya sangat penting untuk pengembangan kepribadian seseorang.
Kehilangan keseimbangan diri inilah yang akhirnya membuat banyak orang gagal menangani perencanaan masa depan dan pemecahan masalah. Ketika anak-anak kita dihadapkan dengan masalah yang rumit atau meresahkan dalam pekerjaan atau kehidupan sosial mereka, mereka gagal mengendalikan dan menyelesaikannya secara mandiri.
Hal ini karena mereka beranggapan “teman-teman digital” mereka selalu ada untuk membantu mereka melepaskan diri dari kehidupan yang rumit dengan pengalih perhatian yang mudah. Artinya, anak-anak kita bisa menjadi generasi yang kehilangan kemampuan untuk menunda kepuasan dan memecahkan masalah akibat jarum suntik dopamin yang mematikan.
Keluarga sebagai Safety Net: Peluang dan Tantangan
Family rules dan monitoring orang tua berperan penting mengurangi tingkat kecanduan anak-anak terhadap layar smartphone mereka. Berubahnya dunia yang ditandai dengan tumbuh pesatnya media digital juga sudah barang tentu orang tua perlu mengubah pola pengasuhan dan pengajaran anak.
Idealnya, orang tua dapat memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan efek intervensi keluarga, mengatasi psychopathology dan online therapy. Namun di Indonesia titik krusialnya bukanlah pada bagaimana penggunaan media digital dalam lingkungan keluarga, melainkan kondisi keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mengakibatkan terjadinya pergeseran fungsi keluarga itu sendiri.
Angka perceraian di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tercatat dalam enam tahun terakhir (2017-2022), angka perceraian terus mengalami kenaikan signifikan. Angka tertinggi terjadi pada 2022.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat sekitar 15,31 persen dibanding 2021 sebanyak 447.743 kasus. Tingginya kasus perceraian inilah salah satu yang membuat Indonesia menyandang predikat fatherless country.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendefinisikan fatherless sebagai ketiadaan peran ayah. Artinya, ayah sebetulnya ada atau hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam perkembangan anak.
Sejumlah anak berusia 0-17 tahun di Indonesia hanya tinggal bersama ibu kandungnya. Menurut Kementerian PPPA, kondisi ini disebabkan ayah bekerja di luar kota, orang tua bercerai (cerai hidup), atau ayah meninggal dunia (cerai mati).
Data BPS, yang diolah Kementerian PPPA, menunjukkan ada sebanyak 8,3% anak yang tinggal bersama ibu kandungnya pada 2018. Angka itu meningkat sekitar 2-3% dari sembilan tahun sebelumnya.
Laporan State of the World’s Fathers yang dirilis Rutgers Indonesia pada 2015 menyebutkan budaya patriarki sebagai salah satu alasan absennya ayah dalam perkembangan anak di Indonesia. Budaya patriarki menyebabkan meningkatnya pernikahan usia dini yang menjadi pemicu tingginya angka perceraian serta mengokohkan pandangan para ayah diharapkan bekerja ke luar rumah untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara, para ibu bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga.
Di tengah tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi tidaklah mudah menjadikan keluarga sebagai unit sosial yang dapat mengurai problematika yang menimpa anak-anak kita. Namun keluarga tetaplah menjadi lembaga sosial yang paling significant dan paling suportif bagi perkembangan mental anak.
Kehadiran keluarga yang utuh akan meningkatkan kemampuan kognisi dan kondisi kesehatan mental anak. Untuk itu, pemerintah perlu adanya kebijakan yang mendukung efektivitas pendidikan anak di rumah layaknya pelarangan pernikahan usia dini, pembatasan jam kerja, dan kebijakan sosial lainnya yang mendukung kesehatan sosial keluarga.
Sehingga anak akan tumbuh dewasa dengan kematangan psikologis yang sesuai dengan usia biologisnya. Ini berguna untuk mencapai Indonesia emas 2025 yang kerap dikampanyekan.
Ketua Umum DPP GMNI
PERMASALAHAN anak-anak kita di era saat ini bukan hanya berhenti pada stunting dan kekerasan terhadap anak-anak. Melainkan juga masalah yang ditimbulkan akibat penggunaan teknologi digital oleh anak-anak kita yang sudah dianggap wajar.
Riset yang bertajuk Neurosensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kids, menyebutkan sekitar 87% anak-anak di Indonesia sudah dikenalkan media sosial sebelum menginjak usia 13 tahun. Bahkan, sebanyak 92% anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah mengenal media sosial lebih dini. Rata-rata mereka menghabiskan waktu bermain media sosial selama 2-3 jam dalam sehari.
Selain media sosial, Indonesia juga gandrung akan game online. Data terbaru, pada 2023, menurut lembaga riset pemasaran asal Amsterdam, Newzoo ada sekitar 149.28 juta pengguna game online di Indonesia yang membelanjakan total USD880 juta setiap tahunnya.
Data ini membuat jumlah pemain game di Indonesia menjadi yang terbanyak di Asia Tenggara. Berdasarkan laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) yang berjudul Survei Penetrasi & Perilaku Internet 2023, menunjukan mayoritas konsumen game online Indonesia bermain game lebih dari 4 jam per hari.
Jarum Suntik Dopamin
Riset yang dilakukan oleh seorang psikiater asal Stanford University, Dr Anna Lembke menyebut adanya kesamaan antara aktivitas otak pecandu kokain dan penggemar media sosial atau game online. Menurutnya, aktivitas pengguna media sosial seperti menscroll TikTok, like dan share,menonton Youtube, dan bermain game online seakan menawarkan pemenuhan rasa senang terus menerus yang tiada habisnya.
Ia menimbulkan kecanduan akut yang disebabkan stimulasi peningkatan produksi dopamine. Sebuah zat kimia di dalam otak yang berperan besar dalam mempengaruhi emosi, sensasi kesenangan hingga rasa sakit yang bisa dirasakan seseorang.
Penggunaan media sosial dan game online yang intensif layaknya seperti “jarum suntik modern"yang terus memompa produksi dopamin yang membuat kita bergantung dan candu untuk terus berada di pusaran media sosial dan game online yang kita pikir akan mendatangkan kesenangan. Menurut Anna Lembke, jarum suntik dopamin ini membuat kita terjerumus ke dalam labirin pencarian kesenangan dan kehilangan keseimbangan.
Obsesi kita dengan kepuasan instan yang disajikan media sosial dan game online terus menerus membuat dopamin memenuhi otak limbik kita. Hingga akhirnya terdapat gangguan pada kecerdasan emosional, yang sejatinya sangat penting untuk pengembangan kepribadian seseorang.
Kehilangan keseimbangan diri inilah yang akhirnya membuat banyak orang gagal menangani perencanaan masa depan dan pemecahan masalah. Ketika anak-anak kita dihadapkan dengan masalah yang rumit atau meresahkan dalam pekerjaan atau kehidupan sosial mereka, mereka gagal mengendalikan dan menyelesaikannya secara mandiri.
Hal ini karena mereka beranggapan “teman-teman digital” mereka selalu ada untuk membantu mereka melepaskan diri dari kehidupan yang rumit dengan pengalih perhatian yang mudah. Artinya, anak-anak kita bisa menjadi generasi yang kehilangan kemampuan untuk menunda kepuasan dan memecahkan masalah akibat jarum suntik dopamin yang mematikan.
Keluarga sebagai Safety Net: Peluang dan Tantangan
Family rules dan monitoring orang tua berperan penting mengurangi tingkat kecanduan anak-anak terhadap layar smartphone mereka. Berubahnya dunia yang ditandai dengan tumbuh pesatnya media digital juga sudah barang tentu orang tua perlu mengubah pola pengasuhan dan pengajaran anak.
Idealnya, orang tua dapat memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan efek intervensi keluarga, mengatasi psychopathology dan online therapy. Namun di Indonesia titik krusialnya bukanlah pada bagaimana penggunaan media digital dalam lingkungan keluarga, melainkan kondisi keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat mengakibatkan terjadinya pergeseran fungsi keluarga itu sendiri.
Angka perceraian di Indonesia terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tercatat dalam enam tahun terakhir (2017-2022), angka perceraian terus mengalami kenaikan signifikan. Angka tertinggi terjadi pada 2022.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat sekitar 15,31 persen dibanding 2021 sebanyak 447.743 kasus. Tingginya kasus perceraian inilah salah satu yang membuat Indonesia menyandang predikat fatherless country.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendefinisikan fatherless sebagai ketiadaan peran ayah. Artinya, ayah sebetulnya ada atau hadir secara fisik, tetapi tidak terlibat dalam perkembangan anak.
Sejumlah anak berusia 0-17 tahun di Indonesia hanya tinggal bersama ibu kandungnya. Menurut Kementerian PPPA, kondisi ini disebabkan ayah bekerja di luar kota, orang tua bercerai (cerai hidup), atau ayah meninggal dunia (cerai mati).
Data BPS, yang diolah Kementerian PPPA, menunjukkan ada sebanyak 8,3% anak yang tinggal bersama ibu kandungnya pada 2018. Angka itu meningkat sekitar 2-3% dari sembilan tahun sebelumnya.
Laporan State of the World’s Fathers yang dirilis Rutgers Indonesia pada 2015 menyebutkan budaya patriarki sebagai salah satu alasan absennya ayah dalam perkembangan anak di Indonesia. Budaya patriarki menyebabkan meningkatnya pernikahan usia dini yang menjadi pemicu tingginya angka perceraian serta mengokohkan pandangan para ayah diharapkan bekerja ke luar rumah untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara, para ibu bertugas mengurus pekerjaan rumah tangga.
Di tengah tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi tidaklah mudah menjadikan keluarga sebagai unit sosial yang dapat mengurai problematika yang menimpa anak-anak kita. Namun keluarga tetaplah menjadi lembaga sosial yang paling significant dan paling suportif bagi perkembangan mental anak.
Kehadiran keluarga yang utuh akan meningkatkan kemampuan kognisi dan kondisi kesehatan mental anak. Untuk itu, pemerintah perlu adanya kebijakan yang mendukung efektivitas pendidikan anak di rumah layaknya pelarangan pernikahan usia dini, pembatasan jam kerja, dan kebijakan sosial lainnya yang mendukung kesehatan sosial keluarga.
Sehingga anak akan tumbuh dewasa dengan kematangan psikologis yang sesuai dengan usia biologisnya. Ini berguna untuk mencapai Indonesia emas 2025 yang kerap dikampanyekan.
(poe)