Brand Empathy yang Efektif di Masa New Normal
Kamis, 20 Agustus 2020 - 21:59 WIB
Menciptakan Nilai
Namun pendekatan komunikasi simpatik tak cukup lagi di era new normal. Konsumen tidak peduli kepada brand, mereka sibuk memikirkan bagaimana caranya bisa bertahan dalam situasi ini. Pemilik brand tidak perlu lagi berbicara tentang new normal, bahaya Covid-19 dan cara mengatasinya. Konsumen sudah tahu itu.
Di awal pandemi, sebuah survei menunjukkan masyarakat Indonesia relatif tetap tenang menghadapi Covid-19, meskipun ada rasa cemas akan dampak ekonomi ketika krisis berkepanjangan.
Kenyataannya, krisis memang berkepanjangan. Pertumbuhan ekonomi melambat, banyak orang --para konsumen- kehilangan pekerjaan dan sebagian lagi berkurang penghasilannya. Pemerintah sudah menjalankan berbagai program untuk mengurangi dampak dari krisis ini. Disinilah sebuah brand bisa lebih banyak berperan.
Brand atau merek adalah bagian dari budaya, terbentuk dari nilai-nilai baik (values) dalam masyarakat. Pada saat krisis, kepedulian adalah nilai yang paling dihargai konsumen. Brand harus bisa mengasosiasikan dirinya dengan kepedulian dan kebaikan hati, melalui tindakan nyata. Seperti apa itu? Tindakan nyata yang bisa membantu meringankan beban ekonomi konsumen dan masyarakat dimana brand itu hidup. Tindakan nyata itu lebih bernilai daripada cuma bicara.
Jadi, brand association itu akan muncul dari terciptanya brand values --nilai-nilai kepedulian dan kebaikan hati lewat tindakan nyata. Semua itu berawal dari brand empathy. Dari empati, lahirlah aksi yang menjadi solusi.
Pengalaman Berempati
Tidak perlu jauh-jauh bagi pemilik brand untuk berempati dan menciptakan pengalaman empati. Mulailah dari yang mudah dijangkau terlebih dahulu, yakni kalangan internal seperti karyawan, pemasok dan mitra. Dengarkan dan kenali masalah yang mereka hadapi di era new normal ini, dan jadilah solusi bagi mereka. Ingat bahwa mereka adalah brand ambassador.
Apa yang dilakukan Google dengan memberikan subsidi peralatan kerja untuk work from home adalah contoh ekstrim dari brand empathy kepada internal. Zendesk, Zoom, dan Instagram mengirimkan Care Package Kit kepada karyawannya. Hal-hal simpel seperti panduan yang jelas tentang WFH dari perusahaan sudah cukup untuk memberikan ketenangan bagi karyawan, di tengah kesimpangsiuran new normal. Jika harus bekerja di kantor, perusahaan perlu memastikan ketersediaan APD yang layak dan pengaturan ruangan sesuai panduan physical distancing.
Setelah kalangan internal, berikutnya yang perlu ditemui adalah masyarakat sekitar dimana brand itu memiliki titik sentuh. Terutama di titik-titik sentuh fisik seperti sekitar kantor, pabrik dan gudang. Besar kemungkinan, problem mereka sama dengan apa yang dihadapi internal. Brand bisa membantu masyarakat yang secara ekonomi paling terdampak pandemi. Untuk menghidupkan ekonomi setempat, perusahaan bisa menyediakan catering sehat bagi karyawan dengan pasokan dari restoran di sekitar kantor.
Namun pendekatan komunikasi simpatik tak cukup lagi di era new normal. Konsumen tidak peduli kepada brand, mereka sibuk memikirkan bagaimana caranya bisa bertahan dalam situasi ini. Pemilik brand tidak perlu lagi berbicara tentang new normal, bahaya Covid-19 dan cara mengatasinya. Konsumen sudah tahu itu.
Di awal pandemi, sebuah survei menunjukkan masyarakat Indonesia relatif tetap tenang menghadapi Covid-19, meskipun ada rasa cemas akan dampak ekonomi ketika krisis berkepanjangan.
Kenyataannya, krisis memang berkepanjangan. Pertumbuhan ekonomi melambat, banyak orang --para konsumen- kehilangan pekerjaan dan sebagian lagi berkurang penghasilannya. Pemerintah sudah menjalankan berbagai program untuk mengurangi dampak dari krisis ini. Disinilah sebuah brand bisa lebih banyak berperan.
Brand atau merek adalah bagian dari budaya, terbentuk dari nilai-nilai baik (values) dalam masyarakat. Pada saat krisis, kepedulian adalah nilai yang paling dihargai konsumen. Brand harus bisa mengasosiasikan dirinya dengan kepedulian dan kebaikan hati, melalui tindakan nyata. Seperti apa itu? Tindakan nyata yang bisa membantu meringankan beban ekonomi konsumen dan masyarakat dimana brand itu hidup. Tindakan nyata itu lebih bernilai daripada cuma bicara.
Jadi, brand association itu akan muncul dari terciptanya brand values --nilai-nilai kepedulian dan kebaikan hati lewat tindakan nyata. Semua itu berawal dari brand empathy. Dari empati, lahirlah aksi yang menjadi solusi.
Pengalaman Berempati
Tidak perlu jauh-jauh bagi pemilik brand untuk berempati dan menciptakan pengalaman empati. Mulailah dari yang mudah dijangkau terlebih dahulu, yakni kalangan internal seperti karyawan, pemasok dan mitra. Dengarkan dan kenali masalah yang mereka hadapi di era new normal ini, dan jadilah solusi bagi mereka. Ingat bahwa mereka adalah brand ambassador.
Apa yang dilakukan Google dengan memberikan subsidi peralatan kerja untuk work from home adalah contoh ekstrim dari brand empathy kepada internal. Zendesk, Zoom, dan Instagram mengirimkan Care Package Kit kepada karyawannya. Hal-hal simpel seperti panduan yang jelas tentang WFH dari perusahaan sudah cukup untuk memberikan ketenangan bagi karyawan, di tengah kesimpangsiuran new normal. Jika harus bekerja di kantor, perusahaan perlu memastikan ketersediaan APD yang layak dan pengaturan ruangan sesuai panduan physical distancing.
Setelah kalangan internal, berikutnya yang perlu ditemui adalah masyarakat sekitar dimana brand itu memiliki titik sentuh. Terutama di titik-titik sentuh fisik seperti sekitar kantor, pabrik dan gudang. Besar kemungkinan, problem mereka sama dengan apa yang dihadapi internal. Brand bisa membantu masyarakat yang secara ekonomi paling terdampak pandemi. Untuk menghidupkan ekonomi setempat, perusahaan bisa menyediakan catering sehat bagi karyawan dengan pasokan dari restoran di sekitar kantor.
tulis komentar anda