Brand Empathy yang Efektif di Masa New Normal
loading...
A
A
A
Damon Hakim
CEO Redcomm Indonesia
KITA belum lepas dari krisis. Perekonomian belum sepenuhnya pulih, dan mungkin tidak akan pernah kembali ke level yang sama sebelum pandemi. Konsumen pada umumnya berada dalam situasi sulit. Jadi, satu-satunya yang perlu dilakukan pemilik brand di masa new normal ini adalah membantu mereka.
Untuk bisa efektif membantu, mereka perlu memahami masalah yang dihadapi pelanggan dan konsumen terlebih dahulu. Disinilah perlunya menciptakan empati brand sehingga aktivitas pemasaran menjadi sebuah kekuatan yang bertujuan baik.
Empati adalah kemampuan kita untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain karena kita bisa menempatkan diri di dalam posisi dan perspektif orang lain. Lewat empati, sebuah brand masuk ke dalam pikiran dan perasaan konsumen, paham kesulitan yang mereka hadapi, lalu mengambil aksi untuk membantu. Output dari empati adalah solusi.
Ini berbeda dari simpati, dimana kita hanya ikut mengekspresikan perasaan yang sama dengan orang lain. Mayoritas aktivitas komunikasi pemasaran brand jatuh pada kategori ini, bersimpati. Setidaknya hal ini terjadi pada awal-awal masa pandemi.
Dalam video di YouTube berjudul Every Covid-19 Commercial is Exactly The Same, akun Microsoft Sam menampilkan kompilasi iklan dari sejumlah brand ternama. Video tersebut dengan pintar menunjukkan iklan-iklan semasa Covid-19 menampilkan ekspresi “kesedihan” yang sama. Seperti sebuah “template” komunikasi di masa pandemi.
Di media sosial, akun brand ramai menyerukan untuk memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan tetap di rumah saja. Ada tagar-tagar wajib seperti #dirumahsaja #bersatulawancorona dan #newnormal2020.
Lalu ada masanya brand memberikan ucapan terimakasih kepada orang-orang yang berada di garis depan “perang melawan pandemi.” Awalnya kepada tenaga medis, lalu kepada mereka yang kerjanya harus keluar rumah, seperti ojek online, kurir dan cleaning service. Hal ini tentu saja tidak salah supaya komunikasi brand tetap kontekstual.
Menciptakan Nilai
Namun pendekatan komunikasi simpatik tak cukup lagi di era new normal. Konsumen tidak peduli kepada brand, mereka sibuk memikirkan bagaimana caranya bisa bertahan dalam situasi ini. Pemilik brand tidak perlu lagi berbicara tentang new normal, bahaya Covid-19 dan cara mengatasinya. Konsumen sudah tahu itu.
Di awal pandemi, sebuah survei menunjukkan masyarakat Indonesia relatif tetap tenang menghadapi Covid-19, meskipun ada rasa cemas akan dampak ekonomi ketika krisis berkepanjangan.
Kenyataannya, krisis memang berkepanjangan. Pertumbuhan ekonomi melambat, banyak orang --para konsumen- kehilangan pekerjaan dan sebagian lagi berkurang penghasilannya. Pemerintah sudah menjalankan berbagai program untuk mengurangi dampak dari krisis ini. Disinilah sebuah brand bisa lebih banyak berperan.
Brand atau merek adalah bagian dari budaya, terbentuk dari nilai-nilai baik (values) dalam masyarakat. Pada saat krisis, kepedulian adalah nilai yang paling dihargai konsumen. Brand harus bisa mengasosiasikan dirinya dengan kepedulian dan kebaikan hati, melalui tindakan nyata. Seperti apa itu? Tindakan nyata yang bisa membantu meringankan beban ekonomi konsumen dan masyarakat dimana brand itu hidup. Tindakan nyata itu lebih bernilai daripada cuma bicara.
Jadi, brand association itu akan muncul dari terciptanya brand values --nilai-nilai kepedulian dan kebaikan hati lewat tindakan nyata. Semua itu berawal dari brand empathy. Dari empati, lahirlah aksi yang menjadi solusi.
Pengalaman Berempati
Tidak perlu jauh-jauh bagi pemilik brand untuk berempati dan menciptakan pengalaman empati. Mulailah dari yang mudah dijangkau terlebih dahulu, yakni kalangan internal seperti karyawan, pemasok dan mitra. Dengarkan dan kenali masalah yang mereka hadapi di era new normal ini, dan jadilah solusi bagi mereka. Ingat bahwa mereka adalah brand ambassador.
Apa yang dilakukan Google dengan memberikan subsidi peralatan kerja untuk work from home adalah contoh ekstrim dari brand empathy kepada internal. Zendesk, Zoom, dan Instagram mengirimkan Care Package Kit kepada karyawannya. Hal-hal simpel seperti panduan yang jelas tentang WFH dari perusahaan sudah cukup untuk memberikan ketenangan bagi karyawan, di tengah kesimpangsiuran new normal. Jika harus bekerja di kantor, perusahaan perlu memastikan ketersediaan APD yang layak dan pengaturan ruangan sesuai panduan physical distancing.
Setelah kalangan internal, berikutnya yang perlu ditemui adalah masyarakat sekitar dimana brand itu memiliki titik sentuh. Terutama di titik-titik sentuh fisik seperti sekitar kantor, pabrik dan gudang. Besar kemungkinan, problem mereka sama dengan apa yang dihadapi internal. Brand bisa membantu masyarakat yang secara ekonomi paling terdampak pandemi. Untuk menghidupkan ekonomi setempat, perusahaan bisa menyediakan catering sehat bagi karyawan dengan pasokan dari restoran di sekitar kantor.
Untuk mewujudkan empathetic experience kepada internal dan masyarakat sekitar, diperlukan program terintegrasi lintas departemen, Human Resources, General Affairs, dan Internal Communication. Perusahaan bisa memanfaatkan kekuatan koperasi karyawan terutama untuk mengatasi problem berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan primer. Jika belum ada, inilah saat yang tepat untuk membentuk koperasi karyawan.
Ranah Digital
Brand juga hidup di ranah digital, titik sentuh berikutnya yang jangkauannya jauh lebih luas. Wujud dari empathetic experience di ranah digital lebih dari sekedar konten terkait pandemi yang disiarkan melalui website, Instagram, YouTube atau TikTok --platform yang sedang naik daun belakangan ini. Pun bukan lagi konten hiburan yang membuat konsumen sesaat melupakan problem new normal. Tentu saja konten seperti ini masih dibutuhkan, namun belum memberikan solusi.
Kita tahu betapa kuatnya digital untuk menggerakan masyarakat. Lihat saja fenomena Arab Spring, Umbrella Revolution di Hong Kong, atau baru-baru ini Black Lives Matter. Berkaca dari fenomena itu, manifestasi dari brand empathy di ranah digital adalah gerakan sosial (social movement). Untuk bisa sampai disini, brand perlu memiliki tujuan (purpose) yang jelas, kontekstual dan relevan. Brand purpose itu adalah menjadi solusi atas berbagai problem dari kehidupan new normal.
Supaya efisien, gerakan sosial tersebut memanfaatkan sumber daya yang sudah dimiliki brand. Misalnya, brand fashion dan tekstil yang memberikan APD kepada masyarakat sekitar, atau brand jaringan restoran atau brand makanan-minuman yang menyediakan kotak makanan gratis bagi yang membutuhkan. Sebagai gerakan sosial, brand bisa merangkul lebih banyak pihak lagi untuk terlibat.
Alurnya adalah sebagai berikut. Brand empathy dimulai dari internal dan masyarakat sekitar. Dari interaksi brand dengan mereka dan dengan menjawab solusi atas problem yang mereka hadapi di era new normal, brand menemukan brand values dan brand purpose-nya. Inilah yang kemudian menjadi embrio dari gerakan sosial yang lebih besar, merangkul semua stakeholder yang terdampak pola hidup new normal.
Pada akhirnya, gerakan sosial itu akan melahirkan cerita-cerita orisinil dengan ekspresi empati yang otentik. Dalam jangka pendek, cerita-cerita ini menjadi bahan bakar konten yang disiarkan melalui berbagai saluran komunikasi brand. Tentu saja kemasan dari cerita itu tak boleh dikesampingkan.
Selanjutnya, jika budaya terdiri dari nilai dan norma yang dibentuk dan dilestarikan melalui cerita, brand berpotensi menjadi bagian dari budaya tersebut melalui cerita yang otentik. Cerita tentang peran brand tersebut dalam sebuah gerakan sosial membantu masyarakat untuk bangkit ketika negeri ini dilanda pandemi.
CEO Redcomm Indonesia
KITA belum lepas dari krisis. Perekonomian belum sepenuhnya pulih, dan mungkin tidak akan pernah kembali ke level yang sama sebelum pandemi. Konsumen pada umumnya berada dalam situasi sulit. Jadi, satu-satunya yang perlu dilakukan pemilik brand di masa new normal ini adalah membantu mereka.
Untuk bisa efektif membantu, mereka perlu memahami masalah yang dihadapi pelanggan dan konsumen terlebih dahulu. Disinilah perlunya menciptakan empati brand sehingga aktivitas pemasaran menjadi sebuah kekuatan yang bertujuan baik.
Empati adalah kemampuan kita untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain karena kita bisa menempatkan diri di dalam posisi dan perspektif orang lain. Lewat empati, sebuah brand masuk ke dalam pikiran dan perasaan konsumen, paham kesulitan yang mereka hadapi, lalu mengambil aksi untuk membantu. Output dari empati adalah solusi.
Ini berbeda dari simpati, dimana kita hanya ikut mengekspresikan perasaan yang sama dengan orang lain. Mayoritas aktivitas komunikasi pemasaran brand jatuh pada kategori ini, bersimpati. Setidaknya hal ini terjadi pada awal-awal masa pandemi.
Dalam video di YouTube berjudul Every Covid-19 Commercial is Exactly The Same, akun Microsoft Sam menampilkan kompilasi iklan dari sejumlah brand ternama. Video tersebut dengan pintar menunjukkan iklan-iklan semasa Covid-19 menampilkan ekspresi “kesedihan” yang sama. Seperti sebuah “template” komunikasi di masa pandemi.
Di media sosial, akun brand ramai menyerukan untuk memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan tetap di rumah saja. Ada tagar-tagar wajib seperti #dirumahsaja #bersatulawancorona dan #newnormal2020.
Lalu ada masanya brand memberikan ucapan terimakasih kepada orang-orang yang berada di garis depan “perang melawan pandemi.” Awalnya kepada tenaga medis, lalu kepada mereka yang kerjanya harus keluar rumah, seperti ojek online, kurir dan cleaning service. Hal ini tentu saja tidak salah supaya komunikasi brand tetap kontekstual.
Menciptakan Nilai
Namun pendekatan komunikasi simpatik tak cukup lagi di era new normal. Konsumen tidak peduli kepada brand, mereka sibuk memikirkan bagaimana caranya bisa bertahan dalam situasi ini. Pemilik brand tidak perlu lagi berbicara tentang new normal, bahaya Covid-19 dan cara mengatasinya. Konsumen sudah tahu itu.
Di awal pandemi, sebuah survei menunjukkan masyarakat Indonesia relatif tetap tenang menghadapi Covid-19, meskipun ada rasa cemas akan dampak ekonomi ketika krisis berkepanjangan.
Kenyataannya, krisis memang berkepanjangan. Pertumbuhan ekonomi melambat, banyak orang --para konsumen- kehilangan pekerjaan dan sebagian lagi berkurang penghasilannya. Pemerintah sudah menjalankan berbagai program untuk mengurangi dampak dari krisis ini. Disinilah sebuah brand bisa lebih banyak berperan.
Brand atau merek adalah bagian dari budaya, terbentuk dari nilai-nilai baik (values) dalam masyarakat. Pada saat krisis, kepedulian adalah nilai yang paling dihargai konsumen. Brand harus bisa mengasosiasikan dirinya dengan kepedulian dan kebaikan hati, melalui tindakan nyata. Seperti apa itu? Tindakan nyata yang bisa membantu meringankan beban ekonomi konsumen dan masyarakat dimana brand itu hidup. Tindakan nyata itu lebih bernilai daripada cuma bicara.
Jadi, brand association itu akan muncul dari terciptanya brand values --nilai-nilai kepedulian dan kebaikan hati lewat tindakan nyata. Semua itu berawal dari brand empathy. Dari empati, lahirlah aksi yang menjadi solusi.
Pengalaman Berempati
Tidak perlu jauh-jauh bagi pemilik brand untuk berempati dan menciptakan pengalaman empati. Mulailah dari yang mudah dijangkau terlebih dahulu, yakni kalangan internal seperti karyawan, pemasok dan mitra. Dengarkan dan kenali masalah yang mereka hadapi di era new normal ini, dan jadilah solusi bagi mereka. Ingat bahwa mereka adalah brand ambassador.
Apa yang dilakukan Google dengan memberikan subsidi peralatan kerja untuk work from home adalah contoh ekstrim dari brand empathy kepada internal. Zendesk, Zoom, dan Instagram mengirimkan Care Package Kit kepada karyawannya. Hal-hal simpel seperti panduan yang jelas tentang WFH dari perusahaan sudah cukup untuk memberikan ketenangan bagi karyawan, di tengah kesimpangsiuran new normal. Jika harus bekerja di kantor, perusahaan perlu memastikan ketersediaan APD yang layak dan pengaturan ruangan sesuai panduan physical distancing.
Setelah kalangan internal, berikutnya yang perlu ditemui adalah masyarakat sekitar dimana brand itu memiliki titik sentuh. Terutama di titik-titik sentuh fisik seperti sekitar kantor, pabrik dan gudang. Besar kemungkinan, problem mereka sama dengan apa yang dihadapi internal. Brand bisa membantu masyarakat yang secara ekonomi paling terdampak pandemi. Untuk menghidupkan ekonomi setempat, perusahaan bisa menyediakan catering sehat bagi karyawan dengan pasokan dari restoran di sekitar kantor.
Untuk mewujudkan empathetic experience kepada internal dan masyarakat sekitar, diperlukan program terintegrasi lintas departemen, Human Resources, General Affairs, dan Internal Communication. Perusahaan bisa memanfaatkan kekuatan koperasi karyawan terutama untuk mengatasi problem berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan primer. Jika belum ada, inilah saat yang tepat untuk membentuk koperasi karyawan.
Ranah Digital
Brand juga hidup di ranah digital, titik sentuh berikutnya yang jangkauannya jauh lebih luas. Wujud dari empathetic experience di ranah digital lebih dari sekedar konten terkait pandemi yang disiarkan melalui website, Instagram, YouTube atau TikTok --platform yang sedang naik daun belakangan ini. Pun bukan lagi konten hiburan yang membuat konsumen sesaat melupakan problem new normal. Tentu saja konten seperti ini masih dibutuhkan, namun belum memberikan solusi.
Kita tahu betapa kuatnya digital untuk menggerakan masyarakat. Lihat saja fenomena Arab Spring, Umbrella Revolution di Hong Kong, atau baru-baru ini Black Lives Matter. Berkaca dari fenomena itu, manifestasi dari brand empathy di ranah digital adalah gerakan sosial (social movement). Untuk bisa sampai disini, brand perlu memiliki tujuan (purpose) yang jelas, kontekstual dan relevan. Brand purpose itu adalah menjadi solusi atas berbagai problem dari kehidupan new normal.
Supaya efisien, gerakan sosial tersebut memanfaatkan sumber daya yang sudah dimiliki brand. Misalnya, brand fashion dan tekstil yang memberikan APD kepada masyarakat sekitar, atau brand jaringan restoran atau brand makanan-minuman yang menyediakan kotak makanan gratis bagi yang membutuhkan. Sebagai gerakan sosial, brand bisa merangkul lebih banyak pihak lagi untuk terlibat.
Alurnya adalah sebagai berikut. Brand empathy dimulai dari internal dan masyarakat sekitar. Dari interaksi brand dengan mereka dan dengan menjawab solusi atas problem yang mereka hadapi di era new normal, brand menemukan brand values dan brand purpose-nya. Inilah yang kemudian menjadi embrio dari gerakan sosial yang lebih besar, merangkul semua stakeholder yang terdampak pola hidup new normal.
Pada akhirnya, gerakan sosial itu akan melahirkan cerita-cerita orisinil dengan ekspresi empati yang otentik. Dalam jangka pendek, cerita-cerita ini menjadi bahan bakar konten yang disiarkan melalui berbagai saluran komunikasi brand. Tentu saja kemasan dari cerita itu tak boleh dikesampingkan.
Selanjutnya, jika budaya terdiri dari nilai dan norma yang dibentuk dan dilestarikan melalui cerita, brand berpotensi menjadi bagian dari budaya tersebut melalui cerita yang otentik. Cerita tentang peran brand tersebut dalam sebuah gerakan sosial membantu masyarakat untuk bangkit ketika negeri ini dilanda pandemi.
(ras)