Memaafkan Tanpa Melupakan
Selasa, 18 Agustus 2020 - 06:07 WIB
Pada awal Agustus 2013, pengadilan Belanda memutus negara Belanda harus membayar ganti rugi kepada para janda ahli waris korban peristiwa pembantaian Westerling masing-masing sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp280 juta. Permintaan maaf atas kasus ini juga disampaikan oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd Feico de Zwaan pada 12 September 2013 di Erasmus Huis, Jakarta.
Permintaan maaf Raja Belanda Willem Alexander sebenarnya sebuah proses panjang dari dinamika pengungkapan sejarah dan politik di Belanda. Selama ini orang Belanda tidak banyak mengetahui perang kotor tentara mereka di seberang lautan atas rakyat Indonesia yang baru saja merdeka. Narasi dominan adalah orang Belanda korban naziisme Jerman dan bukan pelaku.
Bangunan narasi itu mulai goyah pada 1969 ketika Joop Hueting, seorang veteran dan intelijen Angkatan Darat Kerajaan Belanda yang pernah bertugas di Jawa, membuat pengakuan di televisi. Hueting menyaksikan berbagai kekerasan ekstrem yang dilakukan tentara Belanda. Pengakuan Hueting mengguncang publik dan menjadi perdebatan di parlemen dan Pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda lalu membentuk sebuah komisi untuk mengungkap kebenarannya, dan menghasilkan laporan yang disebut Excessennota. Laporan ini mengungkap telah terjadi kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, pembakaran, dan penjarahan selama perang kemerdekaan Indonesia oleh tentara Belanda. Namun, kekerasan ekstrem yang terjadi bersifat insidental, tidak terstruktur dan sistematis, hanya ekses-ekses dari perang dan tidak dianggap sebagai masalah serius di masa lalu.
Posisi Pemerintah Belanda yang mendasarkan pada laporan Excessennota tiba-tiba mendapat guncangan hebat ketika sejarawan Swiss Dr Remy Limpach menerbitkan disertasinya, De brandende kampongs van Generaal Spoor, setebal 870 halaman pada 2016. Pada 2019, versi ringkasannya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia dalam bahasa Indonesia dengan judul, Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949.
Kekerasan Ekstrem
Dalam penelitiannya, Limpach menyimpulkan bahwa tentara Belanda secara struktural bersalah atas berbagai bentuk kekerasan ekstrem selama perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh tentara Belanda bukanlah pengecualian yang disesali seperti dalam Excessennota 1969. Skala tindakan dan jumlah orang yang terlibat terlalu besar untuk hal itu.
Penggunaan kekerasan ekstrem yang sistematis, karena aksi kekerasan tersebut menjadi bagian sistem dan strategi perang Belanda. Seperti yang diterapkan oleh pasukan komando di Sulawesi Selatan dan oleh dinas-dinas intelijen dengan cara penyiksaan yang sistematis dan kadang distimulasi oleh atasan atau setidaknya diizinkan secara terang-terangan atau dibiarkan, tapi dengan tutup mata.
Penggunaan kekerasan ekstrem ini bertujuan untuk mengintimidasi dan menghukum massa rakyat secara kolektif. Serangan atas tentara Belanda juga sering menjadi dalih pembenaran untuk kekerasan ekstrem dengan membunuhi warga sipil dan pembumihangusan. Kekerasan ekstrem juga dilakukan kepada para tahanan Indonesia dalam jumlah besar dengan peradilan kilat.
Pada 2016, penelitian Limpach telah mendorong Pemerintah Belanda memberikan dukungan dana bagi program penelitian atas militer Belanda selama perang kemerdekaan di Indonesia1945-1949. Proyek ini kolaborasi antara Institut Sejarah Militer Belanda (Nederlands Instituut voor Militaire Historie/NIMH), Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde/KITLV), dan Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust dan Genocida (Instituut voor Oorlogs, Holocaust en Genocidestudies/ NIOD).
Permintaan maaf Raja Belanda Willem Alexander sebenarnya sebuah proses panjang dari dinamika pengungkapan sejarah dan politik di Belanda. Selama ini orang Belanda tidak banyak mengetahui perang kotor tentara mereka di seberang lautan atas rakyat Indonesia yang baru saja merdeka. Narasi dominan adalah orang Belanda korban naziisme Jerman dan bukan pelaku.
Bangunan narasi itu mulai goyah pada 1969 ketika Joop Hueting, seorang veteran dan intelijen Angkatan Darat Kerajaan Belanda yang pernah bertugas di Jawa, membuat pengakuan di televisi. Hueting menyaksikan berbagai kekerasan ekstrem yang dilakukan tentara Belanda. Pengakuan Hueting mengguncang publik dan menjadi perdebatan di parlemen dan Pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda lalu membentuk sebuah komisi untuk mengungkap kebenarannya, dan menghasilkan laporan yang disebut Excessennota. Laporan ini mengungkap telah terjadi kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, pembakaran, dan penjarahan selama perang kemerdekaan Indonesia oleh tentara Belanda. Namun, kekerasan ekstrem yang terjadi bersifat insidental, tidak terstruktur dan sistematis, hanya ekses-ekses dari perang dan tidak dianggap sebagai masalah serius di masa lalu.
Posisi Pemerintah Belanda yang mendasarkan pada laporan Excessennota tiba-tiba mendapat guncangan hebat ketika sejarawan Swiss Dr Remy Limpach menerbitkan disertasinya, De brandende kampongs van Generaal Spoor, setebal 870 halaman pada 2016. Pada 2019, versi ringkasannya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia dalam bahasa Indonesia dengan judul, Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949.
Kekerasan Ekstrem
Dalam penelitiannya, Limpach menyimpulkan bahwa tentara Belanda secara struktural bersalah atas berbagai bentuk kekerasan ekstrem selama perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh tentara Belanda bukanlah pengecualian yang disesali seperti dalam Excessennota 1969. Skala tindakan dan jumlah orang yang terlibat terlalu besar untuk hal itu.
Penggunaan kekerasan ekstrem yang sistematis, karena aksi kekerasan tersebut menjadi bagian sistem dan strategi perang Belanda. Seperti yang diterapkan oleh pasukan komando di Sulawesi Selatan dan oleh dinas-dinas intelijen dengan cara penyiksaan yang sistematis dan kadang distimulasi oleh atasan atau setidaknya diizinkan secara terang-terangan atau dibiarkan, tapi dengan tutup mata.
Penggunaan kekerasan ekstrem ini bertujuan untuk mengintimidasi dan menghukum massa rakyat secara kolektif. Serangan atas tentara Belanda juga sering menjadi dalih pembenaran untuk kekerasan ekstrem dengan membunuhi warga sipil dan pembumihangusan. Kekerasan ekstrem juga dilakukan kepada para tahanan Indonesia dalam jumlah besar dengan peradilan kilat.
Pada 2016, penelitian Limpach telah mendorong Pemerintah Belanda memberikan dukungan dana bagi program penelitian atas militer Belanda selama perang kemerdekaan di Indonesia1945-1949. Proyek ini kolaborasi antara Institut Sejarah Militer Belanda (Nederlands Instituut voor Militaire Historie/NIMH), Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde/KITLV), dan Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust dan Genocida (Instituut voor Oorlogs, Holocaust en Genocidestudies/ NIOD).
tulis komentar anda