Memaafkan Tanpa Melupakan

Selasa, 18 Agustus 2020 - 06:07 WIB
loading...
Memaafkan Tanpa Melupakan
Eko Sulistyo
A A A
Eko Sulistyo
Sejarawan, Deputi Kantor Staf Presiden (2015-2019)


ADA peristiwa menarik pada 10 Maret 2020 lalu di Istana Bogor, ketika Raja Belanda Willem-Alexander menyampaikan permintaan maaf dan penyesalan atas kekerasan yang terjadi selama perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Sayangnya, isu ini tenggelam oleh kasus Covid-19 yang mulai marak di Indonesia. Padahal, Raja Willem adalah raja pertama dalam sejarah Belanda pasca-Perang Dunia II yang meminta maaf atas berbagai kekerasan ekstrem terhadap warga negara Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Isu permintaan maaf dan pengakuan kemerdekaan 17 Agustus 1945 sempat mengemuka ketika Ratu Beatrix merencanakan kunjungan kenegaraan sekaligus menghadiri upacara Hari Kemerdekaan Indonesia ke-50 pada 1995. Namun, kunjungan tersebut dilakukan setelah peringatan kemerdekaan pada 21 Agustus. Dalam sambutannya, secara tidak resmi untuk pertama kalinya, Ratu Belanda ini menyebut Republik Indonesia (RI) merdeka pada 17 Agustus 1945.

Seperti diketahui, Pemerintah Belanda baru mengakui kemerdekaan RI pada 27 Desember 1949 melalui Perdana Menteri Willem. Upacara penyerahan kedaulatan diadakan di Amsterdam kepada Perdana Menteri Hatta sebagai wakil Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pemerintah Belanda baru mengakui 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan RI pada tahun 2005 yang disampaikan secara simbolis oleh Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot saat menghadiri peringatan Kemerdekaan RI di Istana Merdeka.

Pembunuhan Massal
Sebelumnya, permintaan maaf juga pernah disampaikan perwakilan Pemerintah Belanda pada 2011 dan 2013, menyangkut pembunuhan massal warga sipil Indonesia oleh tentara Belanda di Rawagede dan Sulawesi Selatan dalam perang kemerdekaan 1945-1949. Permintaan maaf tersebut ditujukan kepada keluarga korban, bukan pengakuan menyeluruh untuk semua kekerasan ekstrem yang dilakukan tentara Belanda di wilayah Indonesia.

Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan Pemerintah Belanda harus bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan keluarga dalam peristiwa Rawagede pada 1947. Secara simbolis Pemerintah Belanda melalui Menteri Luar Negeri Belanda Uri Rosenthal meminta maaf kepada keluarga korban. Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd Feico de Zwaan juga pernah menyampaikan permintaan maaf pada peringatan tahunan pembantaian Rawagede atau yang kini bernama Desa Balongsari, Karawang, Jawa Barat.

Pada awal Agustus 2013, pengadilan Belanda memutus negara Belanda harus membayar ganti rugi kepada para janda ahli waris korban peristiwa pembantaian Westerling masing-masing sebesar 20.000 euro atau sekitar Rp280 juta. Permintaan maaf atas kasus ini juga disampaikan oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia Tjeerd Feico de Zwaan pada 12 September 2013 di Erasmus Huis, Jakarta.

Permintaan maaf Raja Belanda Willem Alexander sebenarnya sebuah proses panjang dari dinamika pengungkapan sejarah dan politik di Belanda. Selama ini orang Belanda tidak banyak mengetahui perang kotor tentara mereka di seberang lautan atas rakyat Indonesia yang baru saja merdeka. Narasi dominan adalah orang Belanda korban naziisme Jerman dan bukan pelaku.

Bangunan narasi itu mulai goyah pada 1969 ketika Joop Hueting, seorang veteran dan intelijen Angkatan Darat Kerajaan Belanda yang pernah bertugas di Jawa, membuat pengakuan di televisi. Hueting menyaksikan berbagai kekerasan ekstrem yang dilakukan tentara Belanda. Pengakuan Hueting mengguncang publik dan menjadi perdebatan di parlemen dan Pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda lalu membentuk sebuah komisi untuk mengungkap kebenarannya, dan menghasilkan laporan yang disebut Excessennota. Laporan ini mengungkap telah terjadi kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, pembakaran, dan penjarahan selama perang kemerdekaan Indonesia oleh tentara Belanda. Namun, kekerasan ekstrem yang terjadi bersifat insidental, tidak terstruktur dan sistematis, hanya ekses-ekses dari perang dan tidak dianggap sebagai masalah serius di masa lalu.

Posisi Pemerintah Belanda yang mendasarkan pada laporan Excessennota tiba-tiba mendapat guncangan hebat ketika sejarawan Swiss Dr Remy Limpach menerbitkan disertasinya, De brandende kampongs van Generaal Spoor, setebal 870 halaman pada 2016. Pada 2019, versi ringkasannya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia dalam bahasa Indonesia dengan judul, Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia: Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949.

Kekerasan Ekstrem
Dalam penelitiannya, Limpach menyimpulkan bahwa tentara Belanda secara struktural bersalah atas berbagai bentuk kekerasan ekstrem selama perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh tentara Belanda bukanlah pengecualian yang disesali seperti dalam Excessennota 1969. Skala tindakan dan jumlah orang yang terlibat terlalu besar untuk hal itu.

Penggunaan kekerasan ekstrem yang sistematis, karena aksi kekerasan tersebut menjadi bagian sistem dan strategi perang Belanda. Seperti yang diterapkan oleh pasukan komando di Sulawesi Selatan dan oleh dinas-dinas intelijen dengan cara penyiksaan yang sistematis dan kadang distimulasi oleh atasan atau setidaknya diizinkan secara terang-terangan atau dibiarkan, tapi dengan tutup mata.

Penggunaan kekerasan ekstrem ini bertujuan untuk mengintimidasi dan menghukum massa rakyat secara kolektif. Serangan atas tentara Belanda juga sering menjadi dalih pembenaran untuk kekerasan ekstrem dengan membunuhi warga sipil dan pembumihangusan. Kekerasan ekstrem juga dilakukan kepada para tahanan Indonesia dalam jumlah besar dengan peradilan kilat.
Pada 2016, penelitian Limpach telah mendorong Pemerintah Belanda memberikan dukungan dana bagi program penelitian atas militer Belanda selama perang kemerdekaan di Indonesia1945-1949. Proyek ini kolaborasi antara Institut Sejarah Militer Belanda (Nederlands Instituut voor Militaire Historie/NIMH), Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde/KITLV), dan Institut Belanda untuk Studi Perang, Holocaust dan Genocida (Instituut voor Oorlogs, Holocaust en Genocidestudies/ NIOD).

Penelitian ini juga melibatkan kerja sama dengan para peneliti Indonesia dari Universitas Gajah Mada. Tema utama penelitian adalah Independence, Decolonisation, Violence and War in Indonesia, 1945-1950. Penelitian ini sudah dimulai 2017 dan rencananya hasilnya akan disajikan pada September 2021 mendatang.

Dari peristiwa permintaan maaf Raja Belanda, mengajarkan kepada kita akan perlunya sikap memaafkan tanpa melupakan. Memaafkan adalah sikap mulia untuk melihat ke depan dalam relasi bangsa dan negara. Sementara tidak melupakan memiliki makna agar kejadian kekerasan ekstrem oleh tentara Belanda seperti dalam perang kemerdekaan di Indonesia dapat dicegah berulang di masa kini dan masa depan.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1125 seconds (0.1#10.140)