Memilih OECD Bukan BRICS, Apakah Rasional?

Jum'at, 22 Maret 2024 - 05:51 WIB
Hal ini sekaligus merespons kecenderungan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya untuk memperluas aliansi militer untuk mencari keamanan mutlak, memicu konfrontasi berbasis blok dengan memaksa negara lain untuk memihak, serta mengejar dominasi sepihak dengan mengorbankan hak dan kepentingan orang lain.

China menegaskan pentingnya negara-negara BRICS mempraktikkan multilateralisme, menjaga keadilan, solidaritas, serta menolak hegemoni, intimidasi dan perpecahan. China juga mengusulkan kerangka Inisiatif Pembangunan Global sebagai bentuk nyata dari kerja sama BRICS.

Salah satunya dengan meningkatkan Dana Bantuan Kerja Sama Selatan-Selatan Tiongkok menjadi Dana Pembangunan Global dan Kerja Sama Selatan Selatan, dengan tambahan masukan USD1 miliar dari USD3 miliar yang sudah ada.

Selain itu, China juga mendorong BRICS menambah dukungan untuk Dana Perwalian Perdamaian dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibuat China, menerbitkan Laporan Pembangunan Global, dan mendirikan Pusat Promosi Pembangunan Global dan Jaringan Pengetahuan Global untuk Pembangunan.

Sejumlah Realitas

"Kita ingin mengkaji terlebih dahulu, mengkalkulasi terlebih dahulu, kita tidak ingin tergesa-gesa. Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo, (17/2) usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-15 yang digelar di Sandton Convention Center, Johannesburg, Republik Afrika Selatan pada 24 Agustus 2023 lalu.

Pernyataan ini disampaikan Jokowi di tengah gencarnya Indonesia bergabung dengan BRICS. Saat itu seolah BRICS hanya menunggu kata ‘iya’ dari decision maker negeri ini. Harapan BRICS agar Indonesia bergabung tentu sangat besar mengingat posisi sebagai anggota G-20 dengan PBD perkapita sebesar USD4.929,7 dan merupakan salah satu negara dengan stabilitas ekonomi kuat dengan pertumbuhan di atas 5%.

Hadirnya Indonesia tentu akan memperkuat bargaining position BRICS atas negara-negara barat. Di sisi lain, sejatinya Indonesia juga memiliki keselasan visi dengan BRICS. Fakta demi terungkap dalam pandangan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat menyampaikan pernyataan secara virtual pada pertemuan para menteri luar negeri negara-negara BRICS dengan negara-negara mitra di Cape Town, Afrika Selatan (2/6/2023).

baca juga: Daftar Negara Anggota OECD, Ada Israel hingga Indonesia

Pada momen itu, Menlu Retno Marsudi mengajak negara-negara BRICS untuk memperjuangkan hak pembangunan setiap negara dan memperkuat multilateralisme. Urgensi ini berdasar realitas bahwa saat ini dunia semakin terbelah ke dalam blok-blok yang saling berlawanan. Tatanan dunia yang berdasarkan peraturan kehilangan makna karena setiap negara mengejar kepentingan pribadi masing-masing.

Lebih jauh Indonesia melihat kerja sama internasional gagal mengatasi tantangan-tantangan global, dan kepercayaan terhadap efektivitas multilateralisme makin surut. Menurut Retno, bila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut, maka negara berkembang akan menjadi korban. Dia pun menandaskan, semua negara memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki tatanan global yang tidak sehat ini, dan BRICS berpotensi menjadi kekukatan yang positif untuk itu.

Keselarasan kepentingan Indonesia dengan BRICS terlihat sangat kuat, termasuk pada isu-isu sensitif seperti sistem keuangan global, pun penggunaan sistem moneter internasional yang berpangku pada mata uang dollar, karena Indonesia dengan beberapa negara dan dengan ASEAN sudah mulai meninggalkan mata uang Amerika Serikat tersebut.

Kesamaan kepentingan kepentingan semakin kuat karena negara-negara barat, terutama Uni Eropa, seringkali mengambil sikap yang sangat merugikan kepentingan ekonomi Indonesia seperti pada isu komoditas kelapa sawit, hilirisasi nikel, dan aturan deforestasi yang diskriminatif.

Namun faktanya, walaupun memiliki kesamaan visi dan kepentingan nama Indonesia tidak ada dalam deretan negara anggota baru BRICS bersama Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir. Bahkan, Indonesia juga belum menyampaikan surat expression of interest sebagai proses awal yang harus dilakukan negara yang ingin bergabung BRICS.

Mengapa demikian? Pilihan tampaknya berangkat pertimbangan rasional bahwa OECD saat ini merupakan organisasi paling matang, berpengalaman, dan berpengaruh karena dominasinya atas PDB dan perdagangan global. Indonesia tampaknya juga belum bisa lepas dari kekuatan blok barat, dalam hal Amerika, negara-negara Uni Eropa, dan mitra penting lain seperti Jepang dan Korea Selatan.

Indonesia juga sudah merasa nyaman bekerja sama dengan OECD yang dimulai sejak 2007 dalam menghadapi berbagai persoalan dan dinamika tantangan global yang muncul. Sebagai global standard-setter di berbagai bidang, berbagai analisis, laporan, dan rekomendasi OECD sangat dibutuhkan Indonesia. Apalagi Indonesia sudah menjadi anggota DC OECD, sehingga banyak mendapatkan bantuan dalam pengambilan keputusan untuk memacu pembangunan segala bidang.

Kerja sama antara Indonesia dan OECD pun terus mengalami banyak peningkatan dari tahun ke tahun, yang ditandai dengan penandatanganan Framework Cooperation Agreement pada tanggal 27 September 2012 dan diikuti penandatanganan pendirian kantor perwakilan OECD di Indonesia pada 5 September 2013.

baca juga: Indonesia Resmi Jadi Anggota OECD, Negara Pertama di ASEAN

Hingga saat ini, OECD juga aktif dalam melakukan review terhadap kebijakan publik di Indonesia. Review dimaksud antara lain berupa OECD Economic Survey, Regulatory Reform Review, Agriculture Review, Education Review, Investment Policy Review, dan dalam waktu dekat direncanakan OECD akan melakukan Government Spending Review.

Selain variabel di atas, pilihan Indonesia untuk bergabung dengan OECD berangkat dari kepentingan untuk memastikan transisi dan transformasi ekonomi menuju Visi Indonesia Emas 2045. Demi tujuan terbebas dari middle-income trap, Indonesia harus mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing internasional.

Saat ini Indonesia masuk dalam critical part, dari negara dengan pendapatan di akhir tahun depan diperkirakan sebesar USD5.000, harus bisa menjadi negara dengan pendapatan USD10.000. Salah satu upaya untuk ke luar dari jebakan pendapatan kelas menengah adalah ekonomi harus tumbuh minimal 6-7% hingga 20 tahun mendatang. Dengan menjadi anggota OECD, investasi dan multilateral trade akan terbuka, termasuk mengakses di 38 negara OECD.

Dengan bergabung OECD, Indonesia juga bisa mendapat panduan untuk menyelaraskan diri dengan tolok ukur internasional. Dengan bantuan OECD, pembuatan kebijakan Indonesia bisa memperkuat penyusunan kebijakan berbasis bukti dan analisis, khususnya pada reformasi lingkungan, sosial dan tata kelola.

Selain itu kebijakan nasional Indonesia akan mampu beradaptasi dengan perubahan struktural yang ada, seperti dekarbonisasi, digitalisasi, teknologi, dan masalah demografi. Dengan menjadi anggota OECD, Indonesia bisa mengimplementasikan best practice standart seperti digunakan anggota OECD.

Di sisi lain, sebagai organisasi yang relatif baru, kinerja BRICS dan dampaknya terhadap anggota tentu belum bisa dirasakan maksimal. Belum lagi, di antara anggota pendiri BRICS ternyata belum ada kata sepakat akan dibawa kemana organisasi ini ke depan.

Di antara perbedaan krusial adalah terkait visi China yang ingin mengembangkan tatanan dunia multipolar untuk menantang dominasi Barat. Ambisi ini ternyata ditolak India dan Brazil yang memang menjalin hubungan erat dengan AS dan kawan-kawan.

Keputusan rasional telah diambil pemerintah. Namun ada sejumlah pertanyaan yang tersisa, seperti bagaimana reaksi BRICS dengan keputusan tersebut, dan apakah tidak mengganggu hubungan baik yang terjalin sejauh ini.

Pertanyaan urgen disampaikan mengingat hubungan beberapa anggota BRICS seperti Rusia dan China dengan negara-negara anggota utama OECD seperti Amerika Serikat dan beberapa anggota Uni Eropa berada di titik nadir terendah, terutama pasca-Perang Rusia-Ukraina.

baca juga: Menko Airlangga: OECD Mengakui Peran Indonesia Sebagai Pemain Global

Pertanyaan tak kalah pentingnya adalah apakah bergabung dengan OECD tidak memperpanjang hegemomi negara-negara Barat terhadap Indonesia. Konflik sawit dan hilirisasi nikel dan bahan tambang lain merupakan indikasi kongkret bahwa banyak negara maju yang juga anggota BRICS tidak rela Indonesia mengalami perkembangan. Dengan masuk anggota OECD, apakah Indonesia tidak semakin didikte?

Jawaban pertanyaan tersebut tentu hanya bisa dijawab oleh perjalanan waktu. Namun yang benar-benar perlu mendapat perhatian pemerintah adalah, jangan sampai bergabung dengan BRICS serta-merta menutup pintu komunikasi dan kerjasama dengan BRICS atau negara-negara anggota BRICS.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More