Hattrick: Penguatan Fondasi Fiskal Indonesia
Senin, 08 Januari 2024 - 06:23 WIB
Saat itu, pajak selamat berkat harga komoditas dunia yang naik tinggi, hingga tumbuh dua digit sebesar 34,3%. Kinerja pajak juga terbantu oleh Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Program Pengampunan Pajak (tax amnesty) jilid II dan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menambah setoran pajak.
Kini, penerimaan pajak 2023 pun kembali melampaui target untuk ketiga kalinya. Setoran pajak mampu melampaui batas konservatif dan tumbuh 8,9% sebesar Rp1.869,2 triliun, alias 102,8% di atas target.
Keberhasilan Indonesia dalam mencapai target penerimaan pajak saat ini telah berhasil dilewati tanpa berkah momentum ”temporer”, seperti ledakan harga komoditas, pengampunan pajak, dan kenaikan tarif PPN, sebagaimana yang terjadi di tahun 2022. Tidak ada pula efek basis pertumbuhan rendah yang mendongkrak kinerja pajak seperti tahun 2021.
Kinerja pajak 2023 mutlak didorong oleh peningkatan pengawasan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap wajib pajak terdaftar. Selain itu, pemerintah juga mengoptimalkan perluasan basis pajak, terutama di sektor ekonomi digital, serta membenahi pelayanan pajak bagi masyarakat.
Artinya, capaian fantastis ini tak lepas dari hasil sinergi antara kondisi ekonomi domestik yang stabil, peningkatan kepatuhan Wajib Pajak, dan upaya DJP yang gencar dalam melakukan pengawasan dan pelayanan. Capaian tersebut menjadi bukti komitmen pemerintah dalam mengelola keuangan negara, termasuk dalam membangun fondasi keuangan yang kuat di tengah ancaman gejolak ekonomi global.
Catatan dalam Capaian Kinerja Pajak
Pajak memiliki peran krusial dalam perekonomian suatu negara. Pajak merupakan salah satu sumber pendanaan utama bagi berbagai program pembangunan nasional. Selama ini porsi penerimaan perpajakan terhadap total penerimaan negara di atas 75%.
Hal yang sama juga berlaku di hampir semua negara, dimana porsi penerimaan negaranya didominasi dari perpajakan. Praktik tersebut selaras dengan teori pembangunan, penerimaan perpajakan mempunyai fungsi budgeter di samping fungsi regulasi.
Pasalnya, meskipun capaian kinerja perpajakan di Indonesia mengalami pertumbuhan positif, namun penerimaan perpajakan di Indonesia masih belum optimal dan tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain termasuk di ASEAN. Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), rata-rata rasio perpajakan ASEAN pada 2022 adalah 13,6%.
Indonesia ada di posisi terendah bersama Laos yang rasio pajaknya sebesar 10,39% pada 2022, di mana angka tersebut berada di bawah rata-rata kawasan. Selain itu, rasio perpajakan Indonesia juga masih kalah dari Kamboja (20,2%), Vietnam (15,8%), Thailand (15,5%), dan Filipina (15%). Tak hanya di ASEAN, di dunia pun, RI termasuk negara dengan tax ratio terendah.
Kini, penerimaan pajak 2023 pun kembali melampaui target untuk ketiga kalinya. Setoran pajak mampu melampaui batas konservatif dan tumbuh 8,9% sebesar Rp1.869,2 triliun, alias 102,8% di atas target.
Keberhasilan Indonesia dalam mencapai target penerimaan pajak saat ini telah berhasil dilewati tanpa berkah momentum ”temporer”, seperti ledakan harga komoditas, pengampunan pajak, dan kenaikan tarif PPN, sebagaimana yang terjadi di tahun 2022. Tidak ada pula efek basis pertumbuhan rendah yang mendongkrak kinerja pajak seperti tahun 2021.
Kinerja pajak 2023 mutlak didorong oleh peningkatan pengawasan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap wajib pajak terdaftar. Selain itu, pemerintah juga mengoptimalkan perluasan basis pajak, terutama di sektor ekonomi digital, serta membenahi pelayanan pajak bagi masyarakat.
Artinya, capaian fantastis ini tak lepas dari hasil sinergi antara kondisi ekonomi domestik yang stabil, peningkatan kepatuhan Wajib Pajak, dan upaya DJP yang gencar dalam melakukan pengawasan dan pelayanan. Capaian tersebut menjadi bukti komitmen pemerintah dalam mengelola keuangan negara, termasuk dalam membangun fondasi keuangan yang kuat di tengah ancaman gejolak ekonomi global.
Catatan dalam Capaian Kinerja Pajak
Pajak memiliki peran krusial dalam perekonomian suatu negara. Pajak merupakan salah satu sumber pendanaan utama bagi berbagai program pembangunan nasional. Selama ini porsi penerimaan perpajakan terhadap total penerimaan negara di atas 75%.
Hal yang sama juga berlaku di hampir semua negara, dimana porsi penerimaan negaranya didominasi dari perpajakan. Praktik tersebut selaras dengan teori pembangunan, penerimaan perpajakan mempunyai fungsi budgeter di samping fungsi regulasi.
Pasalnya, meskipun capaian kinerja perpajakan di Indonesia mengalami pertumbuhan positif, namun penerimaan perpajakan di Indonesia masih belum optimal dan tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lain termasuk di ASEAN. Berdasarkan data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), rata-rata rasio perpajakan ASEAN pada 2022 adalah 13,6%.
Indonesia ada di posisi terendah bersama Laos yang rasio pajaknya sebesar 10,39% pada 2022, di mana angka tersebut berada di bawah rata-rata kawasan. Selain itu, rasio perpajakan Indonesia juga masih kalah dari Kamboja (20,2%), Vietnam (15,8%), Thailand (15,5%), dan Filipina (15%). Tak hanya di ASEAN, di dunia pun, RI termasuk negara dengan tax ratio terendah.
tulis komentar anda