Betulkah Fatwa Tidak Mengikat?
Kamis, 23 November 2023 - 20:26 WIB
Sejak mulai bepergian sampai tanah suci Makkah, akan ditemui kesulitan menjalankan ibadah wajib bagi pemeluk mazhab tertentu, misalkan mazhab Syafii. Mencermati waktu tempuh perjalanan dengan menggunakan pesawat selama 7-8 jam, sudah dipastikan akan ada beberapa kewajiban salat ditinggalkan. Sudah jamak diketahui bahwa dalam mazhab Syafii (misalnya) tidak sah salat di kendaraan yang sedang berjalan.
Tidak hanya itu, bahkan ketika bersuci pun, mazhab Syafii tidak mensahkan bertayammum dengan debu yang ada di dinding pesawat. Menurutnya, bertayamum harus menggunakan debu tanah langsung. Begitu pula sesampainya di tanah suci, ketika melakukan thawaf bersama pasangannya, tentu akan membatalkan thawafnya jika bergandengan terus karena tidak terhindar dari sentuhan kulit dengan lawan jenis.
Tentunya pelaksanaan ibadah menjadi sulit. Sebagian ulama menyelesaikan dengan talfiq, yakni mengambil pendapat yang relevan dan meringankan. Tapi, jumhur berpendapat bahwa talfiq itu haram, karena adanya kecenderungan dominasi hawa nafsu.
Hemat penulis, jalan keluar yang paling cocok adalah meninggalkan mazhabnya dengan berpindah pada mazhab lainnya, misalkan pindah mazhab Maliki yang membolehkan salat di dalam kendaraan dan bertayamum dari dinding (misalkan) pesawat.
Ketentuan ketat dalam “pindah mazhab” ini seyogyanya dilakukan dalam “satu paket” (qadliyyah), misalkan mengambil mazhab Maliki mulai dari thaharah (bersuci), kaifiyah salat dan ketentuan batalnya wudhu.
Dengan demikian, sangat dibutuhkan sebuah “fatwa” alternatif, jika tidak ingin melaksanakan fatwa tersebut. Kita berharap, majelis tarjih Muhammadiyah atau Lembaga Bahsul Masail PBNU dapat menerbitkan fatwa alternatif, agar umat Islam yang tidak mengamalkan fatwa MUI tersebut terhindar dari dosa. Wallahu a'lamu bis shawab.
Tidak hanya itu, bahkan ketika bersuci pun, mazhab Syafii tidak mensahkan bertayammum dengan debu yang ada di dinding pesawat. Menurutnya, bertayamum harus menggunakan debu tanah langsung. Begitu pula sesampainya di tanah suci, ketika melakukan thawaf bersama pasangannya, tentu akan membatalkan thawafnya jika bergandengan terus karena tidak terhindar dari sentuhan kulit dengan lawan jenis.
Tentunya pelaksanaan ibadah menjadi sulit. Sebagian ulama menyelesaikan dengan talfiq, yakni mengambil pendapat yang relevan dan meringankan. Tapi, jumhur berpendapat bahwa talfiq itu haram, karena adanya kecenderungan dominasi hawa nafsu.
Hemat penulis, jalan keluar yang paling cocok adalah meninggalkan mazhabnya dengan berpindah pada mazhab lainnya, misalkan pindah mazhab Maliki yang membolehkan salat di dalam kendaraan dan bertayamum dari dinding (misalkan) pesawat.
Ketentuan ketat dalam “pindah mazhab” ini seyogyanya dilakukan dalam “satu paket” (qadliyyah), misalkan mengambil mazhab Maliki mulai dari thaharah (bersuci), kaifiyah salat dan ketentuan batalnya wudhu.
Dengan demikian, sangat dibutuhkan sebuah “fatwa” alternatif, jika tidak ingin melaksanakan fatwa tersebut. Kita berharap, majelis tarjih Muhammadiyah atau Lembaga Bahsul Masail PBNU dapat menerbitkan fatwa alternatif, agar umat Islam yang tidak mengamalkan fatwa MUI tersebut terhindar dari dosa. Wallahu a'lamu bis shawab.
(hdr)
tulis komentar anda