Fenomena Calon Tunggal, Demokrasi Dirongrong Kotak Kosong
Jum'at, 07 Agustus 2020 - 08:35 WIB
Kian banyaknya daerah yang berpotensi calon tunggal di pilkada 9 Desember mendatang disayangkan karena bisa makin menurunkan partisipasi pemilih. Kekahwatiran pasrtisipasi rendah sudah muncul lebih awal karena pilkada digelar di masa pandemi Covid-19. Pemilih merasa kurang aman untuk datang ke TPS karena rawan tetular virus.
“Kehadiran calon tunggal bisa memperkuat skeptisme itu karena menganggap pilkada tidak menghadirkan alternatif pilihan yang beragam bagi upaya mencari pemimpin yang tahan krisis, khsususnya dalam upaya mengatasi pandemi.,” tandas Titi.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menjelaskan, fenomena calon tunggal yang kian marak bukti makin menguatnya pragmatisme parpol. “Ini bahkan bisa disebut hyperpragmatisme partai politik,” ujarnya saat dihubungi kemarin. (Baca juga: Pelajar Ditantang Adu Kreatif dengan Konsep Baru)
Parpol sudah dilanda kemalasan untuk membentuk kader andal. Akhirnya kaderisasi macet yang berujung tidak ada stok yang bisa diusung. Firman juga setuju regulasi bahwa untuk mengusung calon perlu 20% kursi DPRD dan 25% suara pemilu DPRD sangat menyulitkan parpol untuk munculkan kandidat alternatif.
“Mungkin parpol punya calon alternatif tapi kursi untuk mengusung tidak cukup, akhirnya memilih bergabung dengan koalisi parpol lain,” ujarnya.
Pilkada sebenarnya bisa jadi ajang latihan untuk memanaskan mesin partai. Di pilkada pula parpol bisa menunjukkan eksistensinya di masyarakat. “Sebenarnya di pilkadalah momentum parpol memperjuangkan kader, ini momentum pengenelan partai yang sebenarnya,” kata Firman.
Parpol Bantah Pragmatis
Ketua DPP PDIP Arif Wibowo menilai bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal dalam pilkada. Masalah yang paling utama di sistem demokrasi saat ini adalah mahalnya biaya politik sehingga tidak banyak parpol maupun calon yang berani bertaruh. (Baca juga: Diambang resesi, Misbakhun Usul Listrik dan Cicilan Mobil Dibayar Negara)
“Lalu kondisi pandemi yang membuat petahana dalam posisi leading. Kalau calon lain maju dengan potensi kalahnya tinggi ketimbang menangnya buat apa?” kata Arif saat dihubungi kemarin.
Terkait tudingan pragmatisme parpol, Arif menegaskan bahwa tidak bisa calon tunggal hanya dikaitkan dengan satu faktor saja. Calon tunggal muncul juga karena biaya politik pilkada yang mahal meski itu bukan faktor tunggal.
“Kehadiran calon tunggal bisa memperkuat skeptisme itu karena menganggap pilkada tidak menghadirkan alternatif pilihan yang beragam bagi upaya mencari pemimpin yang tahan krisis, khsususnya dalam upaya mengatasi pandemi.,” tandas Titi.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menjelaskan, fenomena calon tunggal yang kian marak bukti makin menguatnya pragmatisme parpol. “Ini bahkan bisa disebut hyperpragmatisme partai politik,” ujarnya saat dihubungi kemarin. (Baca juga: Pelajar Ditantang Adu Kreatif dengan Konsep Baru)
Parpol sudah dilanda kemalasan untuk membentuk kader andal. Akhirnya kaderisasi macet yang berujung tidak ada stok yang bisa diusung. Firman juga setuju regulasi bahwa untuk mengusung calon perlu 20% kursi DPRD dan 25% suara pemilu DPRD sangat menyulitkan parpol untuk munculkan kandidat alternatif.
“Mungkin parpol punya calon alternatif tapi kursi untuk mengusung tidak cukup, akhirnya memilih bergabung dengan koalisi parpol lain,” ujarnya.
Pilkada sebenarnya bisa jadi ajang latihan untuk memanaskan mesin partai. Di pilkada pula parpol bisa menunjukkan eksistensinya di masyarakat. “Sebenarnya di pilkadalah momentum parpol memperjuangkan kader, ini momentum pengenelan partai yang sebenarnya,” kata Firman.
Parpol Bantah Pragmatis
Ketua DPP PDIP Arif Wibowo menilai bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal dalam pilkada. Masalah yang paling utama di sistem demokrasi saat ini adalah mahalnya biaya politik sehingga tidak banyak parpol maupun calon yang berani bertaruh. (Baca juga: Diambang resesi, Misbakhun Usul Listrik dan Cicilan Mobil Dibayar Negara)
“Lalu kondisi pandemi yang membuat petahana dalam posisi leading. Kalau calon lain maju dengan potensi kalahnya tinggi ketimbang menangnya buat apa?” kata Arif saat dihubungi kemarin.
Terkait tudingan pragmatisme parpol, Arif menegaskan bahwa tidak bisa calon tunggal hanya dikaitkan dengan satu faktor saja. Calon tunggal muncul juga karena biaya politik pilkada yang mahal meski itu bukan faktor tunggal.
tulis komentar anda