Fenomena Calon Tunggal, Demokrasi Dirongrong Kotak Kosong
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fenomena calon tunggal di pilkada perlu disikapi serius. Pilkada dengan calon tunggal berpotensi mendegradasi demokrasi karena tidak menghadirkan adu gagasan antarpasangan calon. Padahal, itu sangat diperlukan agar masyarakat bisa melihat siapa figur yang pantas untuk memimpin daerahnya.
Pilkada dengan calon tunggal otomatis akan menghadirkan kotak kosong sebagai lawan. Dari sisi aturan hal ini sah karena diperbolehkan oleh undang-undang. Hanya, menjadi ironi karena saat ini kotak kosong seolah menjadi strategi baru bagi calon, khususnya petahana, untuk meraih kemenangan dengan cara mudah.
Fakta menunjukkan, dari 28 pasangan calon tunggal yang bertarung pada tiga kali pilkada serentak yang sudah digelar, nyaris semuanya menang dengan mudah. Satu-satunya kemenangan kotak kosong hanya terjadi di Pilkada Makassar 2018. (Baca: Pilkada 2020, Masyarakat dan Parpol Diminta Jangan Dukung Mantan Narapidana)
Meski mendegradasi demokrasi, namun faktanya kemunculan calon tunggal terus menunjukkan tren kenaikan di tiap pilkada. Pada pilkada serentak 2015, calon tunggal hanya ada di tiga daerah.
Pada pilkada serentak berikutnya pada 2017, jumlahnya bertambah menjadi sembilan. Setahun kemudian, pertarungan calon tunggal melawan kotak kosong terjadi di 16 daerah. Di pilkada serentak tahun ini, potensi calon tunggal bisa terjadi di 31 kabupaten/kota.
Kendati pendaftaran calon belum dibuka, namun potensi calon tunggal sudah tergambar jelas di sejumlah daerah. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah pencalonan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang diusung PDIP di Pilkada Solo.
Gibran ikut didukung parpol lain yakni PAN Gerindra, Golkar dan PSI. Padahal, PDIP saja sudah memborong 30 dari 45 kursi yang ada. Tersisa lima kursi yang dimiliki PKS dan itu tidak cukup untuk mengusung pasangan calon.
Hal yang sama juga terjadi di Pilkada Gowa Sulawesi Selatan. Petahana Adnan Purichta mengusai sekitar 30 kursi dari 45 kursi DPRD Gowa. Tersisa 10 kursi milik Gerindra (tujuh kursi) dan PKS (tiga kursi). Secara kalkulasi, dua partai ini bisa mengusung, namun sampai saat ini belum ada figur yang disebut akan dicalonkan. (Baca juga: Calon dari Klan Dinasti Lebih Berpeluang Menangkan Pilkada)
Di Soppeng, Sulawesi Selatan, pasangan petahana Kaswadi Razak-Lutfi Halide sudah mengantongi dukungan Nasdem, PPP, PKB, dan Golkar dengan total total 29 kursi dari 30 kursi yang ada. Padahal, syarat untuk maju di Pilkada Soppeng hanya butuh minimal enam kursi.
Dipicu Banyak Faktor
Berdasarkan pengamatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pilkada yang potensial calon tunggal yakni Kota Semarang, Solo, Kebumen, Grobogan, Sragen, Wonosobo, Ngawi, Wonogiri, Banyuwangi, Blitar, Kabupaten Semarang. Selain itu, Kediri, Boyolali, Klaten, Gowa, Soppeng, Gunung Sitoli, Kota Balikpapan, Buru Selatan, dan Pematang Siantar.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebut, sumber utama pemicu munculnya calon tunggal di pilkada adalah pragmatisme partai politik (parpol). Selain itu, juga karena faktor regulasi. Ketentuan syarat dukungan kursi DPRD 20% atau 25% suara hasil Pemilu DPRD tidak mudah untuk dipenuhi parpol.
Faktor berikutnya adalah kelembagaan parpol yang tidak demokratis dalam melakukan rekrutmen politik. Tak jarang kendali elite parpol di pusat menentukan pencalonan di daerah. (Baca juga: Presiden Belarus Mengaku Sengaja Ditulari Virus Covid-19)
Ada kecenderungan parpol mendukung calon yang memiliki sumber dana yang besar. Pragmatisme ini sejalan dengan kepentingan petahana yang ingin menang mudah dengan memborong dukungan parpol agar pintu bagi calon lain tertutup.
“Praktik mahar politik yang ditengarai kerap terjadi membuat makin sulit upaya figur lain untuk memperoleh tiket pencalonan dari partai,” ujar i saat dihubungi kemarin.
Potensi calon tunggal kian besar karena calon perseorangan juga dihadang aturan berat berupa syarat dukungan KTP. “Berat dan mahalnya syarat dukungan untuk menjadi calon perseorangan juga membuat mereka sulit untuk bisa maju di pilkada,” kata Titi.
Namun, Titi mengingatkan masyarakat tetap berhak menentukan pilihan. Kotak kosong atau kolom kosong menurut dia bisa jadi saluran politik alternatif kalau pemilih tidak mau memilih atau punya pilihan berbeda dengan calon tunggal. (Baca juga: Polisi Segera Periksa Musisi Anji terkait Kasus Penyebaran Hoaks)
Untuk itu dia meminta agar sosialisasi penyelenggara pemilu kepada pemilih harus dilakukan proporsional dan memastikan pemilih mengetahui bahwa ada pilihan lain selain calon tunggal.
“Di Pilkada Kota Makassar 2018, kolom kosong atau kotak kosong berhasil mengalahkan calon tunggal. Sekali lagi calon tunggal bukan berarti satu-satunya pilihan. Kita bisa punya pilihan berbeda,” ujar Titi.
Kian banyaknya daerah yang berpotensi calon tunggal di pilkada 9 Desember mendatang disayangkan karena bisa makin menurunkan partisipasi pemilih. Kekahwatiran pasrtisipasi rendah sudah muncul lebih awal karena pilkada digelar di masa pandemi Covid-19. Pemilih merasa kurang aman untuk datang ke TPS karena rawan tetular virus.
“Kehadiran calon tunggal bisa memperkuat skeptisme itu karena menganggap pilkada tidak menghadirkan alternatif pilihan yang beragam bagi upaya mencari pemimpin yang tahan krisis, khsususnya dalam upaya mengatasi pandemi.,” tandas Titi.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menjelaskan, fenomena calon tunggal yang kian marak bukti makin menguatnya pragmatisme parpol. “Ini bahkan bisa disebut hyperpragmatisme partai politik,” ujarnya saat dihubungi kemarin. (Baca juga: Pelajar Ditantang Adu Kreatif dengan Konsep Baru)
Parpol sudah dilanda kemalasan untuk membentuk kader andal. Akhirnya kaderisasi macet yang berujung tidak ada stok yang bisa diusung. Firman juga setuju regulasi bahwa untuk mengusung calon perlu 20% kursi DPRD dan 25% suara pemilu DPRD sangat menyulitkan parpol untuk munculkan kandidat alternatif.
“Mungkin parpol punya calon alternatif tapi kursi untuk mengusung tidak cukup, akhirnya memilih bergabung dengan koalisi parpol lain,” ujarnya.
Pilkada sebenarnya bisa jadi ajang latihan untuk memanaskan mesin partai. Di pilkada pula parpol bisa menunjukkan eksistensinya di masyarakat. “Sebenarnya di pilkadalah momentum parpol memperjuangkan kader, ini momentum pengenelan partai yang sebenarnya,” kata Firman.
Parpol Bantah Pragmatis
Ketua DPP PDIP Arif Wibowo menilai bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal dalam pilkada. Masalah yang paling utama di sistem demokrasi saat ini adalah mahalnya biaya politik sehingga tidak banyak parpol maupun calon yang berani bertaruh. (Baca juga: Diambang resesi, Misbakhun Usul Listrik dan Cicilan Mobil Dibayar Negara)
“Lalu kondisi pandemi yang membuat petahana dalam posisi leading. Kalau calon lain maju dengan potensi kalahnya tinggi ketimbang menangnya buat apa?” kata Arif saat dihubungi kemarin.
Terkait tudingan pragmatisme parpol, Arif menegaskan bahwa tidak bisa calon tunggal hanya dikaitkan dengan satu faktor saja. Calon tunggal muncul juga karena biaya politik pilkada yang mahal meski itu bukan faktor tunggal.
“Proses politik yang tidak memadai juga berpengaruh. Kalau proses politik berjalan dan cost politik tidak mahal maka akan banyak calon yang muncul,” ujar Arif.
Dia menambahkan, situasi masyarakat saat ini ada dalam apatisme politik yang kian mengkhawatirkan. “Ini tanggung jawab parpol yang harus diperjuangkan,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyayangkan terjadi peningkatan calon tunggal di Pilkada 2020. Namun, menurutnya itu merupakan dampak dari dinamika politik yang tidak bisa dihindari.
“Dinamika politiknya memang seperti itu dan itu tidak melanggar undang-undang. Walaupun kita sangat sayangkan fenomena yang terjadi ini,” kata Dasco kemarin.
Juru Bicara Khusus Partai Gerindra ini membantah bahwa fenomena calon tunggal itu muncul akibat pragmatisme parpol yang kian meningkat. Menurutnya, parpol memiliki kalkulasi politik tersendiri sebelum mencalonkan jagonya di suatu daerah. (Lihat videonya: Penutupan Gedung DPRD DKI Jakarta Diperpanjang)
Terkadang dinamika politik dan kondisi faktual itu tidak bisa dihindari.Misalnya parpol tidak cukup kursinya di DPRD untuk mengusung calon dan faktor lainnya.
"Nah, untuk membuat langkah yang diperlukan kemudian dikoordinasikan dengan DPP. Karena kan tidak mungkin kita menyia-nyiakan kursi atau tidak mendukung calon,” kata Dasco. (Kiswondari/Bakti)
Pilkada dengan calon tunggal otomatis akan menghadirkan kotak kosong sebagai lawan. Dari sisi aturan hal ini sah karena diperbolehkan oleh undang-undang. Hanya, menjadi ironi karena saat ini kotak kosong seolah menjadi strategi baru bagi calon, khususnya petahana, untuk meraih kemenangan dengan cara mudah.
Fakta menunjukkan, dari 28 pasangan calon tunggal yang bertarung pada tiga kali pilkada serentak yang sudah digelar, nyaris semuanya menang dengan mudah. Satu-satunya kemenangan kotak kosong hanya terjadi di Pilkada Makassar 2018. (Baca: Pilkada 2020, Masyarakat dan Parpol Diminta Jangan Dukung Mantan Narapidana)
Meski mendegradasi demokrasi, namun faktanya kemunculan calon tunggal terus menunjukkan tren kenaikan di tiap pilkada. Pada pilkada serentak 2015, calon tunggal hanya ada di tiga daerah.
Pada pilkada serentak berikutnya pada 2017, jumlahnya bertambah menjadi sembilan. Setahun kemudian, pertarungan calon tunggal melawan kotak kosong terjadi di 16 daerah. Di pilkada serentak tahun ini, potensi calon tunggal bisa terjadi di 31 kabupaten/kota.
Kendati pendaftaran calon belum dibuka, namun potensi calon tunggal sudah tergambar jelas di sejumlah daerah. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah pencalonan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang diusung PDIP di Pilkada Solo.
Gibran ikut didukung parpol lain yakni PAN Gerindra, Golkar dan PSI. Padahal, PDIP saja sudah memborong 30 dari 45 kursi yang ada. Tersisa lima kursi yang dimiliki PKS dan itu tidak cukup untuk mengusung pasangan calon.
Hal yang sama juga terjadi di Pilkada Gowa Sulawesi Selatan. Petahana Adnan Purichta mengusai sekitar 30 kursi dari 45 kursi DPRD Gowa. Tersisa 10 kursi milik Gerindra (tujuh kursi) dan PKS (tiga kursi). Secara kalkulasi, dua partai ini bisa mengusung, namun sampai saat ini belum ada figur yang disebut akan dicalonkan. (Baca juga: Calon dari Klan Dinasti Lebih Berpeluang Menangkan Pilkada)
Di Soppeng, Sulawesi Selatan, pasangan petahana Kaswadi Razak-Lutfi Halide sudah mengantongi dukungan Nasdem, PPP, PKB, dan Golkar dengan total total 29 kursi dari 30 kursi yang ada. Padahal, syarat untuk maju di Pilkada Soppeng hanya butuh minimal enam kursi.
Dipicu Banyak Faktor
Berdasarkan pengamatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pilkada yang potensial calon tunggal yakni Kota Semarang, Solo, Kebumen, Grobogan, Sragen, Wonosobo, Ngawi, Wonogiri, Banyuwangi, Blitar, Kabupaten Semarang. Selain itu, Kediri, Boyolali, Klaten, Gowa, Soppeng, Gunung Sitoli, Kota Balikpapan, Buru Selatan, dan Pematang Siantar.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyebut, sumber utama pemicu munculnya calon tunggal di pilkada adalah pragmatisme partai politik (parpol). Selain itu, juga karena faktor regulasi. Ketentuan syarat dukungan kursi DPRD 20% atau 25% suara hasil Pemilu DPRD tidak mudah untuk dipenuhi parpol.
Faktor berikutnya adalah kelembagaan parpol yang tidak demokratis dalam melakukan rekrutmen politik. Tak jarang kendali elite parpol di pusat menentukan pencalonan di daerah. (Baca juga: Presiden Belarus Mengaku Sengaja Ditulari Virus Covid-19)
Ada kecenderungan parpol mendukung calon yang memiliki sumber dana yang besar. Pragmatisme ini sejalan dengan kepentingan petahana yang ingin menang mudah dengan memborong dukungan parpol agar pintu bagi calon lain tertutup.
“Praktik mahar politik yang ditengarai kerap terjadi membuat makin sulit upaya figur lain untuk memperoleh tiket pencalonan dari partai,” ujar i saat dihubungi kemarin.
Potensi calon tunggal kian besar karena calon perseorangan juga dihadang aturan berat berupa syarat dukungan KTP. “Berat dan mahalnya syarat dukungan untuk menjadi calon perseorangan juga membuat mereka sulit untuk bisa maju di pilkada,” kata Titi.
Namun, Titi mengingatkan masyarakat tetap berhak menentukan pilihan. Kotak kosong atau kolom kosong menurut dia bisa jadi saluran politik alternatif kalau pemilih tidak mau memilih atau punya pilihan berbeda dengan calon tunggal. (Baca juga: Polisi Segera Periksa Musisi Anji terkait Kasus Penyebaran Hoaks)
Untuk itu dia meminta agar sosialisasi penyelenggara pemilu kepada pemilih harus dilakukan proporsional dan memastikan pemilih mengetahui bahwa ada pilihan lain selain calon tunggal.
“Di Pilkada Kota Makassar 2018, kolom kosong atau kotak kosong berhasil mengalahkan calon tunggal. Sekali lagi calon tunggal bukan berarti satu-satunya pilihan. Kita bisa punya pilihan berbeda,” ujar Titi.
Kian banyaknya daerah yang berpotensi calon tunggal di pilkada 9 Desember mendatang disayangkan karena bisa makin menurunkan partisipasi pemilih. Kekahwatiran pasrtisipasi rendah sudah muncul lebih awal karena pilkada digelar di masa pandemi Covid-19. Pemilih merasa kurang aman untuk datang ke TPS karena rawan tetular virus.
“Kehadiran calon tunggal bisa memperkuat skeptisme itu karena menganggap pilkada tidak menghadirkan alternatif pilihan yang beragam bagi upaya mencari pemimpin yang tahan krisis, khsususnya dalam upaya mengatasi pandemi.,” tandas Titi.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menjelaskan, fenomena calon tunggal yang kian marak bukti makin menguatnya pragmatisme parpol. “Ini bahkan bisa disebut hyperpragmatisme partai politik,” ujarnya saat dihubungi kemarin. (Baca juga: Pelajar Ditantang Adu Kreatif dengan Konsep Baru)
Parpol sudah dilanda kemalasan untuk membentuk kader andal. Akhirnya kaderisasi macet yang berujung tidak ada stok yang bisa diusung. Firman juga setuju regulasi bahwa untuk mengusung calon perlu 20% kursi DPRD dan 25% suara pemilu DPRD sangat menyulitkan parpol untuk munculkan kandidat alternatif.
“Mungkin parpol punya calon alternatif tapi kursi untuk mengusung tidak cukup, akhirnya memilih bergabung dengan koalisi parpol lain,” ujarnya.
Pilkada sebenarnya bisa jadi ajang latihan untuk memanaskan mesin partai. Di pilkada pula parpol bisa menunjukkan eksistensinya di masyarakat. “Sebenarnya di pilkadalah momentum parpol memperjuangkan kader, ini momentum pengenelan partai yang sebenarnya,” kata Firman.
Parpol Bantah Pragmatis
Ketua DPP PDIP Arif Wibowo menilai bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya calon tunggal dalam pilkada. Masalah yang paling utama di sistem demokrasi saat ini adalah mahalnya biaya politik sehingga tidak banyak parpol maupun calon yang berani bertaruh. (Baca juga: Diambang resesi, Misbakhun Usul Listrik dan Cicilan Mobil Dibayar Negara)
“Lalu kondisi pandemi yang membuat petahana dalam posisi leading. Kalau calon lain maju dengan potensi kalahnya tinggi ketimbang menangnya buat apa?” kata Arif saat dihubungi kemarin.
Terkait tudingan pragmatisme parpol, Arif menegaskan bahwa tidak bisa calon tunggal hanya dikaitkan dengan satu faktor saja. Calon tunggal muncul juga karena biaya politik pilkada yang mahal meski itu bukan faktor tunggal.
“Proses politik yang tidak memadai juga berpengaruh. Kalau proses politik berjalan dan cost politik tidak mahal maka akan banyak calon yang muncul,” ujar Arif.
Dia menambahkan, situasi masyarakat saat ini ada dalam apatisme politik yang kian mengkhawatirkan. “Ini tanggung jawab parpol yang harus diperjuangkan,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyayangkan terjadi peningkatan calon tunggal di Pilkada 2020. Namun, menurutnya itu merupakan dampak dari dinamika politik yang tidak bisa dihindari.
“Dinamika politiknya memang seperti itu dan itu tidak melanggar undang-undang. Walaupun kita sangat sayangkan fenomena yang terjadi ini,” kata Dasco kemarin.
Juru Bicara Khusus Partai Gerindra ini membantah bahwa fenomena calon tunggal itu muncul akibat pragmatisme parpol yang kian meningkat. Menurutnya, parpol memiliki kalkulasi politik tersendiri sebelum mencalonkan jagonya di suatu daerah. (Lihat videonya: Penutupan Gedung DPRD DKI Jakarta Diperpanjang)
Terkadang dinamika politik dan kondisi faktual itu tidak bisa dihindari.Misalnya parpol tidak cukup kursinya di DPRD untuk mengusung calon dan faktor lainnya.
"Nah, untuk membuat langkah yang diperlukan kemudian dikoordinasikan dengan DPP. Karena kan tidak mungkin kita menyia-nyiakan kursi atau tidak mendukung calon,” kata Dasco. (Kiswondari/Bakti)
(ysw)