Layakkah Prancis Menjadi Sahabat Sejati Indonesia?

Senin, 31 Juli 2023 - 05:12 WIB
Sikap yang kemudian dikonsepsikan sebagai Gaullisme juga ditunjukkan Jacques Chirac. Indikatornya adalah penolakannya terhadap serangan ke Irak pada 2003, bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Hu Jintao, dan Kanselir Jerman Gerhard Schröder. Chirac bahkan tampil sebagai penentang utama perang yang dikomandoi Presiden AS George W. Bush dan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair, hingga mengancam akan mem-veto resolusi di DK PBB yang akan mengizinkan penggunaan kekuatan militer untuk membersihkan Irak dari dugaan kepemilikan senjata pemusnah massal.

Pun kebijakan Emmanuel Macron. Dia mempertajam hubungannya dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) dengan fokus tetap pada pembuktian Prancis sebagai kekuatan dunia. Malahan, Macron aktif mendukung keterlibatan kedua negara dalam perang sipil Yaman dan tidak menggubris suara sumbang dari organisasi HAM. Prancis juga menjadi salah satu pemasok senjata penting, seperti kesepakatan Macron dengan Uni UEA pada 2021 untuk memborong alutsista senilai 16 miliar Euro. Pembelian di antaranya untuk akusisi 80 pesawat tempur Rafale yang ditingkatkan.

Jejak Kerja Sama Alutsista

Sebagai negara berkembang dengan wilayah kepulauan yang sangat luas dan berada di persilangan jalur utama pelayaran dunia, Indonesia membutuhkan alutsista mumpuni untuk memastikan terjaminnya pertahanan dan keamanan. Untuk itulah, pemerintah mencari berbagai jenis alutsista dari negara-negara produsen utama dunia seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, Turki dan negara lainnya.

Dengan Prancis, Indonesia pada 1960-an tercatat mendatangkan 275 tank AMX-13. Tank ringan tersebut hingga kini masih aktif beroperasi setelah mengalami program retrofit. Alutsista terkemuka buatan Prancis lain yang diakusisi Indonesia adalah rudal strategis Exocet, tepatnya di tahun 1980-an. Hingga kini TNI AL masih menjadi pengguna rudal tersebut. Radar yang digunakan TNI AU juga buatan pabrikan Prancis, Thales, yakni radar Thomson Alutsista asal Prancis lainnya yang menjadi tulang punggung pertahanan Indonesia adalah meriam Caesar 155 produksi Nexter.

Selain jual beli putus, Indonesia-Prancis juga kerja sama produksi alutsista dalam bentuk tranfer of knowledge (ToT). Salah produk yang populer adalah panser Anoa 6x6 Pindad yang mengadopsi panser VAB Prancis. Kerja sama bersifat jangka panjang dan berlangsung hingga saat ini dengan mengembangkan berbagai varian panser.

baca juga: Kembangkan Geothermal, PLN Pelajari Proyek di Kawasan Padat Penduduk Perancis

Seiring dengan keluarnya UU No 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, kerja sama dengan skema ToT kian intensif digalakkan. Dalam konteks ini Prancis menjadi salah satu negara terdepan. Misalnya, Arquus dari Prancis berkolaborasi dengan Pindad meningkatkan kualitas panser Anoa dan panser kanon Badak 6x6. Pindad juga menjalin kerja sama dengan Nexter untuk memproduksi amunisi kaliber besar, dalam hal ini amunisi tank 120 mm. Tak ketinggalan, PT Dahana merangkul dua perusahaan Prancis, Eurenco dan Roxel, untuk membuat propelan yang merupakan bahan dasar pembuatan amunisi.

Dari catatan sejarah kerja sama alutsista Indonesia-Prancis, belum tercoreng noda hitam berupa embargo yang merupakan momok TNI. Sikap Prancis ini berseberangan dengan sekutunya seperti AS dan Inggris yang kerap menggunakan instrumen embargo untuk membatasi kerja sama militer, pembelian, dan penggunaan alutsista kepada Indonesia. Bahkan Prancis konsisten memberi kesempatan kepada Indonesia untuk mengakusisi alutsista produksinya hingga melakukan kerja sama pengembangan, termasuk untuk teknologi militer penting seperti amunisi, propelan, hingga radar.

Kemitraan Terus Menguat

Hubungan bilateral Indonesia-Prancis resmi berlangsung mulai September 1950. Sejak saat itu, hubungan menunjukkan konsistensi dan tren positif melalui kerja sama di berbagai sektor dan bentuk. Selanjutnya menginjak 2011, kedua negara bersepakat meningkatkan hubungan tersebut ke level kemitraan strategis. Momen penting ini terjadi saat Perdana Menteri François Fillon berkunjung ke Indonesia pada 30 Juni - 2 Juli. Pada fase awal, kemitraan fokus pada lima bidang kerja sama, yaitu perdagangan dan investasi, pendidikan, industri pertahanan, sosial dan budaya atau people-to-people contacts, dan penanganan dampak perubahan iklim.

Kemitraan strategis diperkuat pada Maret 2017, saat Presiden François Hollande berkunjung ke Jakarta bertemu Presiden Joko Widodo . Pada kesempatan itu kedua pemimpin bersepakat terus memperluas kerja sama, khususnya di bidang ekonomi kreatif, pendidikan, maritim, pembangunan kota berkelanjutan, energi, pertahanan, serta infrastruktur.

Khusus untuk kerja sama pertahanan, sudah menjadi fokus utama sebelum Indonesia-Prancis menjalin kemitraan strategis disepakati. Pada 1996, kementerian pertahanan kedua negara meneken memorandum of understanding (MOU) untuk cooperation in equipment, logistics dan defense industries. Kerja sama ini kemudian ditingkatkan lebih lanjut melalui penyelenggaraan military bilateral talks antara Mabes TNI Cilangkap dengan AP French Headquarters untuk menggarap kerja sama bidang pendidikan, pertukaran informasi, dan forum dialog.

baca juga: Kemhan Teken Kontrak Pengadaan 13 Unit Sistem Radar GCI dari Perancis

Hubungan bilateral Indonesia-Prancis semakin hangat di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kerja sama pertahanan kedua negara secara kongkrit ditindaklanjuti dengan lima kerja sama baru yang diteken Menhan Prabowo Subianto dan Menteri Angkatan Bersenjata Republik Prancis Florence Parly di Jakarta.

Kerja sama dimaksud meliputi kontrak pembelian pesawat tempur Rafale dari perusahaan penerbangan Dassault Aviation, MoU kerja sama di bidang riset dan pengembangan kapal selam antara PT PAL Indonesia (Persero) dan Naval Group, MoU kerja sama program offset dan ToT antara Dassault dan PT Dirgantara Indonesia (Persero), MoU kerja sama PT Len Industri (Persero) dengan Thales Group untuk menyediakan radar canggih Ground Master 400 yang berdaya jangkau 515 km, serta kerja sama pembuatan munisi kaliber besar antara PT Pindad (Persero) dan Nexter Munition.

Tidak cukup dengan level kerja sama yang telah ada, kedua negara menaikkan kerja sama pertahanan pada status tertinggi, yang ditandai dengan penandatanganan Persetujuan Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) pada 28 Juni 2021, oleh Prabowo dengan Florence Parly. Kesepakatan itu diiringi dengan penguatan kerja sama pertahanan, khususnya untuk pembuatan alutsista.

Menteri Parly menegaskan kesepakatan sebagai bentuk tekad negaranya mendukung secara aktif program-program strategis besar Indonesia, seperti untuk mengembangkan industri pertahanan Indonesia. Ia menganggap kontrak pembelian pesawat Rafale sebagai bukti kuatnya level kemitraan strategis kedua negara, termasuk memajukan industri pertahanan Indonesia.

Pilihan Strategis

Dalam politik, termasuk politik luar negeri, adagium threre is no permanent friend but only permanent interest tetap menjadi pegangan. Kendati demikian, negara-negara -termasuk Indonesia- harus tetap mengedepankan pilihan rasional dengan mempertimbangkan aspek internal-internal tanpa menanggalkan prinsip politik luar negeri. Termasuk, untuk mencari sahabat dalam mengembangkan bidang pertahanan, khususnya dalam memperkuat alutsista yang dibutuhkan untuk pertahanan negara dan membangun kemandirian alutsista.

Keputusan yang harus diambil Indonesia tidaklah mudah, karena masing-masing memiliki konsekuensi. Negeri ini tidak mungkin bergantung pada AS dan sekutu baratnya yang telah mencatatkan noda hitam dalam sejarah pertahanan dan militer Indonesia melalui kebijakan yang diskriminatif, sanksi militer, embargo, serta mental kolonialisme mereka yang selalu mau menangnya sendiri. Di sisi lain, walaupun memiliki komitmen sangat tinggi, Indonesia sangat sulit merangkul Rusia karena ganjalan instrument hukum AS yang disebut CAATSA. Apalagi pasca-pecahnya perang dengan Ukraina.

baca juga: MUI Heran Media Prancis Kok Permasalahkan Suara Azan di Indonesia

Sementara Prancis merupakan negara dengan kemampuan advance di bidang militer dan negara produsen senjata terbesar ketiga di dunia. Kapasitasnya tidak lah kalah dengan negara-negara maju lain seperti AS, Rusia, Inggris, hingga China. Tak kalah pentingnya adalah Prancis memiliki kemandirian yang kuat untuk memproduksi alutsista. Hal ini dibuktikan dengan penolakan Prancis bergabung dengan konsorsium Inggris, Jerman, Spanyol membuat pesawat Eurofighter Typhoon dan memilih mengembangkan Rafale sendiri.

Selain Rafale, alutsista made Prancis yang diakui kapabilitasnya adalah kapal serbu amfibhi kelas Mistral, Tank Lecrelc, helikopter EC 665 Tiger, meriam Caesar, kapal selam Scorpene, berbagai jenis kapal perang, hingga rudal Exocet yang sangat melegenda dan battle proven dalam sejumlah medan laga dunia.

Karena itulah, bekerja sama dengan Prancis merupakan pilihan rasional ekaligus pilihan strategis. Selain karena penguasaan state of the art teknologi militer, watak politik Gaullisme lebih menjamin keamanan dan kenyamaaan kerja sama partahanan. Dukungan Prancis terhadap Saudi Arabia dan UEA terkait konflik Yaman menjadi bukti kesetiaan Prancis terhadap negara sahabatnya. Tak kalah pentingnya, dengan ego sebagai negara besar dan orientasi politik luar negeri yang mengedepankan kepentingan nasional membuat Prancis relatif independen dalam menghadapi tekanan AS dan sekutu baratnya.

Semenjak membangun hubungan bilateral dengan Indonesia pada 1950, Prancis juga menunjukkan track record positif dan komitmen kuat untuk menjaga hubungan yang terbangun dan terus meningkatkan kerja sama, termasuk mendukung pengadaan alutsista dan membantu Indonesia agar mampu memproduksi alutsista secara mandiri.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More