Tak Pernah Hadir di Persidangan, PK Djoko Tjandra Harus Ditolak

Senin, 20 Juli 2020 - 10:15 WIB
Pakar Hukum Pidana menilai, permohonan PK yang diajukan oleh terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra harus ditolak hakim. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti (Usakti), Abdul Fickar Hadjar menilai, permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra harus ditolak hakim. Pasalnya, buronan itu tidak pernah hadir dalam persidangan.

(Baca juga: Kabareskrim Janji Usut Keterlibatan Polisi dalam Kasus Djoko Tjandra)

Sekadar diketahui, sebelumnya sidang sudah dua kali ditunda lantaran Djoko Tjandra tak hadir dengan alasan sakit. "Menurut saya permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena pemohon tidak pernah datang sebagaimana ditentukan dalam pasal 265 ayat (2) KUHAP," ujar Abdul Fickar Hadjar kepada SINDOnews, Senin (20/7/2020). (Baca juga: PN Jaksel Gelar Sidang PK Hari ini, Buronan Djoko Tjandra Bakal Hadir?)



Menurut Fickar, kehadiran pemohon (prinsipal) menjadi sesuatu yang mutlak harus ada. Karena, lanjut dia, ketentuan menghadirkan pemohon PK merupakan ketentuan yang dipersyaratkan Undang-undang. "Selain diperlukan untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan bersama Hakim, Jaksa, Pemohon PK dan Panitera, sebagamana ditentukan Pasal 265 Ayat (3) KUHAP," ungkapnya.

(Baca juga: Kasus Djoko Tjandra, Pengamat: Mafia Sudah Tersebar di Semua Sektor)

Dia mengatakan, pemohon prinsipal sendiri yang diwajibkan hadir karena untuk merecek keabsahan legal standing pemohon yang berstatus sebagai narapidana. Dia menambahkan, Djoko Tjandra ketika melakukan tindak pidana masih berstatus sebagai warga negara Indonesia.

Kemudian dalam buronnya, Djoko Tjandra berganti menjadi warga negara asing (WNA) alias warga Papua Nugini. "Meski dalam konteks asas teritorial berlakunya hukum pidana kewarganegaraan seseorang tidak ada pengaruhnya sepanjang ia menjadi pelaku kejahatan di Indonesia, tetapi dalam konteks legal standing harus diperjelas benarkah sang pemohon PK itu barapidana yang dahulu pelakunya?" katanya. (Baca juga: Rontoknya Tiga Jenderal Polisi dalam Skandal Djoko Tjandra)

Hal tersebut menurut dia, menjadi signifikan untuk menghindari error in persona alias salah orang. "Itu lah sebabnya DT membuat e-KTP, paspor dengan data palsu. Mungkin pertanyaannya kemudian, bagaimana jika diwakili oleh kuasa hukumnya? Sama aja tidak bisa," imbuhnya. (Lihat grafis: Jenderal yang Dihukum Karena Salah dan yang Dicopot Karena Benar)

Sebab dia menjelaskan, Pasal 265 Ayat (2) KUHAP secara jelas dan tegas menyebut yang wajib hadir itu pemohon PK. "Ketentuan ini tidak menyebutkan atau kuasanya (bandingkan dengan pasal 79 KUHAP yang menyebut al praperadilan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya). Jadi, secara tegas harus pemohon prinsipal," jelasnya.

Selain itu kata dia, surat kuasa yang dipegang oleh para kuasa hukumnya juga bisa dinyatakan diskualificatoir atau tidak punya kualitas untuk dijadikan dasar bertindak atas nama pemberi kuasanya. Sekadar informasi, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan rencananya menggelar sidang PK Djoko Tjandra, Senin 20 Juli 2020.

"Karena bisa terjadi juga salah orang atau error in persona. Jadi kesimpulannya Permohonan PK atas nama DT itu harus dinyatakan tidak dapat diterima," pungkasnya.
(maf)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More