Berkaca Kasus Djoko Tjandra dan Orient Riwu, Kemendagri Usulkan Ini ke KPU
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri ( Kemendagri ) mengusulkan Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) membuat formulir pernyataan tidak pernah memiliki paspor negara lain bagi setiap orang yang mencalonkan sebagai peserta pemilu. Sebab, Indonesia menganut stelsel pasif dalam hal kewarganegaraan.
"Jadi ada satu formulir yang dipersiapkan oleh KPU, sehingga calon atau pasangan itu mau men-declare hal tersebut," ujar Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh dalam keterangannya, Jumat (20/5/2022).
Dia mengatakan, saat ini WNI yang memiliki paspor negara lain tidak otomatis dinyatakan kehilangan kewarganegaraan. Karena masih memerlukan tindakan atau keputusan pemerintahan yang memastikan kapan kewarganegaraannya hilang.
Dalam administrasi pemerintahan, kata Zudan, apa yang yang dikatakan batal demi hukum itu tidak ada serta merta terjadi secara otomatis. Hal itu merujuk saat dirinya menangani kasus Djoko Tjandra (DT) dan Bupati Sabu Raijua Orient Riwu Kore (ORK) yang memiliki kewarganegaraan ganda dengan dua paspor.
"Djoko Tjandra memiliki paspor Papua Nugini, Orient Kore punya paspor Amerika Serikat. Tapi keduanya masih juga berstatus WNI dalam Sistem Adminduk karena yang bersangkutan tidak pernah melapor, tidak pernah melepaskan kewarganegaraan, sehingga pemerintah tidak tahu bila yang bersangkutan memiliki 2 paspor," kata Zudan.
Zudan menjelaskan, Pasal 23 UU Kewarganegaraan menyebutkan bahwa salah satu penyebab hilangnya kewarganegaraan adalah memiliki paspor negara lain. "Perumusan di Pasal 23 itu sebagai perumusan norma sanksi administrasi," jelasnya.
Sehingga, lanjut Zudan, ketika memenuhi syarat melakukan perbuatan yang telah ditetapkan, maka orang tersebut dapat diberi sanksi kehilangan kewarganegaraannya. Maka dari itu tindakan pemerintahan yang bersifat konkret, individual, dan final sangat diperlukan.
"Sehingga, saya berpendapat dari dua kasus tersebut, yang dalam waktu yang bersamaan keduanya memiliki paspor tapi tidak otomatis kehilangan kewarganegaraannya dan masih berstatus WNI. Ini disebabkan belum ada tindakan administrasi pemerintah," katanya.
Pakar Hukum Administrasi Negara ini juga meminta pemerintah mengacu pada asas hukum lex superiori derogat legi inferiori. Artinya, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah.
"Tapi ketika perda-perda di daerah tidak dibatalkan, tetap saja perda yang lebih rendah dari UU dan bertentangan dengan UU, tetap dijalankan dan tidak batal. APBD sah, Perda Perizinan jalan," imbuhnya.
Maka dari itu menurut pandangannya, sepanjang belum ada tindakan administrasi pemerintahan, maka Pasal 23 itu belum masuk pada perbuatan hukum konkret. "Jadi kita belum tahu, ORK itu kapan kehilangan kewarganegaraan RI-nya, DT kapan kehilangan kewarganegaraannya," pungkasnya.
"Jadi ada satu formulir yang dipersiapkan oleh KPU, sehingga calon atau pasangan itu mau men-declare hal tersebut," ujar Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh dalam keterangannya, Jumat (20/5/2022).
Dia mengatakan, saat ini WNI yang memiliki paspor negara lain tidak otomatis dinyatakan kehilangan kewarganegaraan. Karena masih memerlukan tindakan atau keputusan pemerintahan yang memastikan kapan kewarganegaraannya hilang.
Baca Juga
Dalam administrasi pemerintahan, kata Zudan, apa yang yang dikatakan batal demi hukum itu tidak ada serta merta terjadi secara otomatis. Hal itu merujuk saat dirinya menangani kasus Djoko Tjandra (DT) dan Bupati Sabu Raijua Orient Riwu Kore (ORK) yang memiliki kewarganegaraan ganda dengan dua paspor.
"Djoko Tjandra memiliki paspor Papua Nugini, Orient Kore punya paspor Amerika Serikat. Tapi keduanya masih juga berstatus WNI dalam Sistem Adminduk karena yang bersangkutan tidak pernah melapor, tidak pernah melepaskan kewarganegaraan, sehingga pemerintah tidak tahu bila yang bersangkutan memiliki 2 paspor," kata Zudan.
Zudan menjelaskan, Pasal 23 UU Kewarganegaraan menyebutkan bahwa salah satu penyebab hilangnya kewarganegaraan adalah memiliki paspor negara lain. "Perumusan di Pasal 23 itu sebagai perumusan norma sanksi administrasi," jelasnya.
Sehingga, lanjut Zudan, ketika memenuhi syarat melakukan perbuatan yang telah ditetapkan, maka orang tersebut dapat diberi sanksi kehilangan kewarganegaraannya. Maka dari itu tindakan pemerintahan yang bersifat konkret, individual, dan final sangat diperlukan.
"Sehingga, saya berpendapat dari dua kasus tersebut, yang dalam waktu yang bersamaan keduanya memiliki paspor tapi tidak otomatis kehilangan kewarganegaraannya dan masih berstatus WNI. Ini disebabkan belum ada tindakan administrasi pemerintah," katanya.
Pakar Hukum Administrasi Negara ini juga meminta pemerintah mengacu pada asas hukum lex superiori derogat legi inferiori. Artinya, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah.
"Tapi ketika perda-perda di daerah tidak dibatalkan, tetap saja perda yang lebih rendah dari UU dan bertentangan dengan UU, tetap dijalankan dan tidak batal. APBD sah, Perda Perizinan jalan," imbuhnya.
Maka dari itu menurut pandangannya, sepanjang belum ada tindakan administrasi pemerintahan, maka Pasal 23 itu belum masuk pada perbuatan hukum konkret. "Jadi kita belum tahu, ORK itu kapan kehilangan kewarganegaraan RI-nya, DT kapan kehilangan kewarganegaraannya," pungkasnya.
(rca)