Djoko Tjandra Dapat Remisi dari Kemenkumham, ICW Nilai Ada Kejanggalan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai ada kejanggalan dalam pemberian remisi atau pengurangan masa pemidaan terhadap terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) . Sebab, menurut ICW, Djoko Tjandra tidak pantas mendapat remisi karena menjadi buronan kasus korupsi selama 11 tahun.
"Tentu hal ini janggal, sebab bagaimana mungkin seorang buronan yang telah melarikan diri selama sebelas tahun dapat diberikan akses pengurangan masa pemidanaan," ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana melalui pesan singkatnya, Jumat (20/8/2021).
Merujuk Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, kata Kurnia, pemberian remisi tidak hanya mensyaratkan narapidana telah menjalani 1/3 masa pidananya. Akan tetapi juga, narapidana wajib berkelakuan baik.
Atas dasar itu, Kurnia mempertanyakan parameter Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam menetapkan seorang Djoko Tjandra telah berkelakuan baik hingga berhak mendapat remisi. Padahal, kata Kurnia, Djoko Tjandra tidak berkelakuan baik karena melarikan diri selama 11 tahun.
"Pertanyaan lanjutan, apakah seseorang yang melarikan diri ketika harus menjalani masa hukuman dianggap sebagai berlakuan baik oleh Kemenkumham?" tanya Kurnia.
Diketahui sebelumnya, terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) mendapat remisi atau potongan hukuman selama dua bulan penjara. Remisi itu diberikan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-76.
Lebih lanjut, ICW juga mendesak Kemenkumham untuk membuka seluruh nama-nama terpidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi umum Kemerdekaan RI tahun ini. Tidak hanya itu, ICW juga mendesak Kemenkumham mencantumkan secara detail alasan narapidana korupsi itu mendapatkan remisi.
"Misalnya, ketika terpidana menjadi justice collaborator, maka pertanyaannya: kapan status itu didapatkan? Pemberian informasi ini menjadi penting karena menjadi hak masyarakat. Terlebih, dokumen itu tidak dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik," beber Kurnia.
Menurut Kurnia, keterbukaan informasi mengenai koruptor yang mendapat remisi dan alasan pemberian remisi ini sangat penting. Pasalnya, Kurnia mendapat informasi bahwa terdapat koruptor selain Djoko Tjandra yang juga mendapat pemotongan masa hukuman.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Kurnia, beberapa koruptor yang juga mendapat remisi yakni, mantan Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar, Eni Maulani Saragih serta pengusaha yang juga mantan kader Nasdem Andi Irfan Jaya.
"Jika benar, tentu hal ini mesti diklarifikasi secara jelas oleh Kemenkumham. Sebab, dua terpidana itu diketahui selama proses persidangan hingga putusan tidak mendapatkan status justice collaborator," tegas Kurnia. Baca juga: Presiden PKS Sebut Demokrasi Bukan Hanya Sekadar Tukar Tambah Kekuasaan
"Sedangkan syarat mendapatkan remisi bagi terpidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 adalah menyandang status sebagai justice collaborator," sambungnya.
"Tentu hal ini janggal, sebab bagaimana mungkin seorang buronan yang telah melarikan diri selama sebelas tahun dapat diberikan akses pengurangan masa pemidanaan," ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana melalui pesan singkatnya, Jumat (20/8/2021).
Merujuk Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, kata Kurnia, pemberian remisi tidak hanya mensyaratkan narapidana telah menjalani 1/3 masa pidananya. Akan tetapi juga, narapidana wajib berkelakuan baik.
Atas dasar itu, Kurnia mempertanyakan parameter Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam menetapkan seorang Djoko Tjandra telah berkelakuan baik hingga berhak mendapat remisi. Padahal, kata Kurnia, Djoko Tjandra tidak berkelakuan baik karena melarikan diri selama 11 tahun.
"Pertanyaan lanjutan, apakah seseorang yang melarikan diri ketika harus menjalani masa hukuman dianggap sebagai berlakuan baik oleh Kemenkumham?" tanya Kurnia.
Diketahui sebelumnya, terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) mendapat remisi atau potongan hukuman selama dua bulan penjara. Remisi itu diberikan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-76.
Lebih lanjut, ICW juga mendesak Kemenkumham untuk membuka seluruh nama-nama terpidana kasus korupsi yang mendapatkan remisi umum Kemerdekaan RI tahun ini. Tidak hanya itu, ICW juga mendesak Kemenkumham mencantumkan secara detail alasan narapidana korupsi itu mendapatkan remisi.
"Misalnya, ketika terpidana menjadi justice collaborator, maka pertanyaannya: kapan status itu didapatkan? Pemberian informasi ini menjadi penting karena menjadi hak masyarakat. Terlebih, dokumen itu tidak dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik," beber Kurnia.
Menurut Kurnia, keterbukaan informasi mengenai koruptor yang mendapat remisi dan alasan pemberian remisi ini sangat penting. Pasalnya, Kurnia mendapat informasi bahwa terdapat koruptor selain Djoko Tjandra yang juga mendapat pemotongan masa hukuman.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Kurnia, beberapa koruptor yang juga mendapat remisi yakni, mantan Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar, Eni Maulani Saragih serta pengusaha yang juga mantan kader Nasdem Andi Irfan Jaya.
"Jika benar, tentu hal ini mesti diklarifikasi secara jelas oleh Kemenkumham. Sebab, dua terpidana itu diketahui selama proses persidangan hingga putusan tidak mendapatkan status justice collaborator," tegas Kurnia. Baca juga: Presiden PKS Sebut Demokrasi Bukan Hanya Sekadar Tukar Tambah Kekuasaan
"Sedangkan syarat mendapatkan remisi bagi terpidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 adalah menyandang status sebagai justice collaborator," sambungnya.
(kri)