Melipatgandakan Konsolidasi Kebangsaan di Tahun Politik
Jum'at, 10 Maret 2023 - 07:04 WIB
Pertama, konsolidasi kebangsaan di tingkat elite, terutama elite partai politik yang memang terlibat langsung dalam agenda-agenda politik elektoral. Dalam struktur politik Indonesia, elite memiliki posisi dan peran penting sebagai simpul kelompok masyarakat, yang karena kapasitas, kemampuan dan status sosialnya dapat mengarahkan dan bahkan menentukan pilihan-pilihan politik masyarakat.
Oleh karena itu, konsistensi elite dalam mewacanakan politik kebangsaan dengan menghindari strategi politik identitas dengan kebencian akan berkontribusi signifikan terhadap keharmonisan dan keteduhan iklim demokrasi menjelang Pemilu 2024.
Kedua, konsolidasi kebangsaan dengan melibatkan pemuda sebagai upaya memangkas generasi politik identitas dengan kebencian. Apalagi, pada Pemilu 2024, pemuda merupakan kelompok strategis yang jumlahnya diprediksi mencapai 54% dari total penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih (CSIS, 2002).
Bagi elite politik, jumlah pemilih muda yang besar tersebut merupakan ceruk suara sehingga isu-isu yang diminati oleh pemuda akan diwacanakan juga oleh elite politik, karena –mengutip Rizal Mallarangeng— politicians go where the voters are. Karena itu, melibatkan pemuda dalam rangka memangkas generasi politik identitas dengan kebencian berarti juga menutup kemungkinan penggunaan politik identitas oleh elite politik.
Ketiga, menciptakan narasi tanding (counter-narrative) terhadap narasi politik identitas dengan kebencian di media sosial dengan narasi-narasi kebangsaan yang menyejukkan dan mencerdaskan sehingga jagat media sosial dipenuhi dengan narasi yang memperkuat demokrasi Indonesia. Oleh sebagian kalangan, mencipatakan narasi tanding ini disebut sebagai bagian dari jihad algoritma.
Dengan pelaksanaan tiga agenda strategis untuk melipatgandakan konsolidasi kebangsaan tersebut, harapannya terjadi shifting dari polarisasi politik ke konsolidasi kebangsaan di tahun politik ini, sehingga perpecahan dan keterbelahan masyarakat yang selama ini menjadi kekhawatiran bersama tidak terjadi.
Oleh karena itu, konsistensi elite dalam mewacanakan politik kebangsaan dengan menghindari strategi politik identitas dengan kebencian akan berkontribusi signifikan terhadap keharmonisan dan keteduhan iklim demokrasi menjelang Pemilu 2024.
Kedua, konsolidasi kebangsaan dengan melibatkan pemuda sebagai upaya memangkas generasi politik identitas dengan kebencian. Apalagi, pada Pemilu 2024, pemuda merupakan kelompok strategis yang jumlahnya diprediksi mencapai 54% dari total penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih (CSIS, 2002).
Bagi elite politik, jumlah pemilih muda yang besar tersebut merupakan ceruk suara sehingga isu-isu yang diminati oleh pemuda akan diwacanakan juga oleh elite politik, karena –mengutip Rizal Mallarangeng— politicians go where the voters are. Karena itu, melibatkan pemuda dalam rangka memangkas generasi politik identitas dengan kebencian berarti juga menutup kemungkinan penggunaan politik identitas oleh elite politik.
Ketiga, menciptakan narasi tanding (counter-narrative) terhadap narasi politik identitas dengan kebencian di media sosial dengan narasi-narasi kebangsaan yang menyejukkan dan mencerdaskan sehingga jagat media sosial dipenuhi dengan narasi yang memperkuat demokrasi Indonesia. Oleh sebagian kalangan, mencipatakan narasi tanding ini disebut sebagai bagian dari jihad algoritma.
Dengan pelaksanaan tiga agenda strategis untuk melipatgandakan konsolidasi kebangsaan tersebut, harapannya terjadi shifting dari polarisasi politik ke konsolidasi kebangsaan di tahun politik ini, sehingga perpecahan dan keterbelahan masyarakat yang selama ini menjadi kekhawatiran bersama tidak terjadi.
(bmm)
tulis komentar anda