Melipatgandakan Konsolidasi Kebangsaan di Tahun Politik

Jum'at, 10 Maret 2023 - 07:04 WIB
Cebong dan kampret serta kadrun--identitas-identitas kelompok yang diasosiasikan dengan afiliasi keagamaan dalam konteks politik--masih mewarnai diskursus dan perilaku politik kita hingga hari ini. Prediksinya, polarisasi politik akan menentukan pilihan pemilih dalam gelaran Pilpres 2024 mendatang.

Politik Identitas dan Masyarakat yang Terbelah

Apakah politik identitas berbanding lurus dengan polarisasi politik dan keterbelahan masyarakat? Menurut Rumadi Ahmad (2022), tidak semua politik identitas memiliki daya rusak terhadap keutuhan bangsa. Dengan kata lain, politik identitas tidak berarti menimbulkan polarisasi politik dan keterbelahan masyarakat.

Dalam babakan sejarah perjalanan bangsa Indonesia, politik identitas meresonansikan nada persatuan untuk melawan kolonialisme. Kita melihat bagaimana politik identitas berlandaskan pada nasionalisme dan agama memainkan peran yang sangat penting dalam merebut dan mengisi kemerdekaan Indonesia.

Bahkan, perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan serta merawat keutuhan bangsa dalam napas kebinekaan Indonesia diperkuat dengan dalil-dalil agama sehingga menjaga Indonesia bukan sekadar keharusan politik sebagai sebuah bangsa, melainkan kewajiban agama yang di dalamnya mengandung nilai-nilai eskatologis.

Karena alasan tersebut, maka biang masalahnya bukan pada politik identitas. Lalu di mana letak permasalahannya? Menurut Rumadi Ahmad (2022), hanya politik identitas dengan kebencian terhadap kelompok yang lain, yang dapat membawa demokrasi Indonesia ke dalam kubangan polarisasi politik dan keterbelahan masyarakat yang tidak berkesudahan. Kita perlu menggarisbawahi predikat “kebencian” tersebut.

Politik identitas dengan kebencian digaungkan dengan narasi konflik biner, antara kita versus mereka, yang menurut Eve Warbuton (2021) memperlakukan lawan politik sebagai musuh, “pihak luar” yang tidak diakui, sekaligus menjadi ancaman eksistensial. Akibatnya, pemilu menjadi arena pertarungan politik untuk saling melenyapkan lawan politik, bukan sekadar saling menegasikan lawan politik.

Politik identitas dengan kebencian tersebut menjadi momok yang menakutkan, yang menyebabkan keterbelahan masyarakat, sekaligus mengancam keutuhan dan kebinekaan bangsa ini. Apalagi, narasi kebencian tersebut diamplifikasi melalui ruang publik baru yang tingkat penyebarannya sangatlah cepat, yakni platform media sosial seperti Twitter, Facebook, TikTok, YouTube dan sebagainya.

Di media sosial, kendalinya terletak pada masing-masing individu pengguna sehingga narasi-narasi yang berkembang di dalamnya tidak melalui kurasi dan penyuntingan terlebih dahulu, sebagaimana lumrah dilakukan di media massa seperti televisi, radio, majalah, surat kabar dan sebagainya.

Satu-satunya kurasi di media sosial adalah kurasi algoritma, yang mengurung pengguna media sosial ke dalam echo chamber (ruang gema), di mana seseorang “dipaksa” untuk hanya mengonsumsi informasi yang searah yang sesuai dengan pendapat dan keyakinannya. Dalam arti lain, kurasi algoritma media sosial membuat seseorang--meskipun tampak berdiskusi dengan orang lain--bercakap-cakap dengan pikiran dan keyakinannya atau pandangan orang lain yang serupa dengan pikiran dan keyakinannya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More