Melipatgandakan Konsolidasi Kebangsaan di Tahun Politik
Jum'at, 10 Maret 2023 - 07:04 WIB
Sehingga, yang terjadi sebenarnya di media sosial adalah monolog, bukan dialog. Akibatnya, menurut Agus Sudibyo (2022), dengan karakter media sosial yang demikian, sangat sulit menjembatani segregasi antarkelompok, bahkan justru memperdalam segregasi tersebut.
Kondisi ini ditunjang oleh era yang saat ini kita alami, era pascakebenaran (post-truth), suatu era ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh membentuk opini publik ketimbang fakta-fakta objektif. Politik identitas dengan kebencian mempertebal emosi dan keyakinan pribadi tersebut; suatu perpaduan yang saling melengkapi.
Fakta-fakta objektif akan diabaikan, bahkan harus diubah, apabila bertentangan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Dengan kata lain, di era pascakebenaran, fakta objektif akan diterima sebagai fakta objektif apabila mengonfirmasi emosi dan keyakinan pribadi.
Dengan karakteristik media sosial dan kondisi era pascakebenaran tersebut, politik identitas dengan kebencian dapat tumbuh sumbur, yang pada gilirannya akan mempertajam pembelahan politik masyarakat.
Kita tidak menginginkan politik Indonesia dibangun di atas fondasi politik balas dendam. Karenanya, keterbelahan masyarakat yang dipicu oleh politik identitas dengan kebencian tersebut tidak boleh dibiarkan.
Selain berimplikasi pada retaknya kebinekaan Indonesia, menurut Thomas Carothers dan Andrew O’Donuhue (2019), polarisasi politik memiliki daya rusak yang lain, yakni "melemahkan penghormatan terhadap norma-norma demokrasi, merusak proses dasar legislatif, memperburuk intoleransi dan diskriminasi, mengurangi kepercayaan masyarakat dan meningkatkan kepercayaan di berbagai lapisan masyarakat."
Dari Polarisasi ke Konsolidasi
Kasus-kasus polarisasi politik yang terjadi di belahan dunia lain, seperti kasus kerusuhan di Capiton Hill, Amerika Serikat pada 6 Januari 2021 yang disebabkan oleh para pendukung Donald Trump dalam Pemilu AS 2020 dan kericuhan di Brasil akibat para pendukung mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro menyerbu gedung Kongres, Istana Kepresidenan, dan Mahkamah Agung di ibu kota Brasilia pada 8 Januari 2023, seharusnya menjadi pelajaran bagi Indonesia.
Tidak menutup kemungkinan kejadian serupa terjadi di Indonesia, karena presedennya telah ada, yakni kerusuhan pada aksi demonstrasi menolak hasil Pilpres 2019 pada 21-22 Mei 2019 yang menyebabkan delapan orang meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-luka.
Agar kejadian serupa tidak terjadi di Indonesia, mitigasi harus dilakukan sesegera mungkin dengan melipatgandakan konsolidasi kebangsaan, yakni membumikan pemikiran dan memasifkan gerakan kebangsaan untuk semakin mempererat ikatan persaudaraan antarsemua anak bangsa. Melipatgandakan konsolidasi kebangsaan tersebut mengharuskan pelaksanaan tiga agenda strategis kebangsaan.
Kondisi ini ditunjang oleh era yang saat ini kita alami, era pascakebenaran (post-truth), suatu era ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh membentuk opini publik ketimbang fakta-fakta objektif. Politik identitas dengan kebencian mempertebal emosi dan keyakinan pribadi tersebut; suatu perpaduan yang saling melengkapi.
Fakta-fakta objektif akan diabaikan, bahkan harus diubah, apabila bertentangan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Dengan kata lain, di era pascakebenaran, fakta objektif akan diterima sebagai fakta objektif apabila mengonfirmasi emosi dan keyakinan pribadi.
Dengan karakteristik media sosial dan kondisi era pascakebenaran tersebut, politik identitas dengan kebencian dapat tumbuh sumbur, yang pada gilirannya akan mempertajam pembelahan politik masyarakat.
Kita tidak menginginkan politik Indonesia dibangun di atas fondasi politik balas dendam. Karenanya, keterbelahan masyarakat yang dipicu oleh politik identitas dengan kebencian tersebut tidak boleh dibiarkan.
Selain berimplikasi pada retaknya kebinekaan Indonesia, menurut Thomas Carothers dan Andrew O’Donuhue (2019), polarisasi politik memiliki daya rusak yang lain, yakni "melemahkan penghormatan terhadap norma-norma demokrasi, merusak proses dasar legislatif, memperburuk intoleransi dan diskriminasi, mengurangi kepercayaan masyarakat dan meningkatkan kepercayaan di berbagai lapisan masyarakat."
Dari Polarisasi ke Konsolidasi
Kasus-kasus polarisasi politik yang terjadi di belahan dunia lain, seperti kasus kerusuhan di Capiton Hill, Amerika Serikat pada 6 Januari 2021 yang disebabkan oleh para pendukung Donald Trump dalam Pemilu AS 2020 dan kericuhan di Brasil akibat para pendukung mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro menyerbu gedung Kongres, Istana Kepresidenan, dan Mahkamah Agung di ibu kota Brasilia pada 8 Januari 2023, seharusnya menjadi pelajaran bagi Indonesia.
Tidak menutup kemungkinan kejadian serupa terjadi di Indonesia, karena presedennya telah ada, yakni kerusuhan pada aksi demonstrasi menolak hasil Pilpres 2019 pada 21-22 Mei 2019 yang menyebabkan delapan orang meninggal dunia dan ratusan orang mengalami luka-luka.
Agar kejadian serupa tidak terjadi di Indonesia, mitigasi harus dilakukan sesegera mungkin dengan melipatgandakan konsolidasi kebangsaan, yakni membumikan pemikiran dan memasifkan gerakan kebangsaan untuk semakin mempererat ikatan persaudaraan antarsemua anak bangsa. Melipatgandakan konsolidasi kebangsaan tersebut mengharuskan pelaksanaan tiga agenda strategis kebangsaan.
tulis komentar anda