Penataan Regulasi Pasca-Omnibus Law
Senin, 27 Februari 2023 - 11:22 WIB
Regulasi Berkualitas
Alasan pembentukan undang-undangomnibus lawuntuk melakukan deregulasi multisektoral pada dasarnya mengandung benang merah mengenai pentingnya pembentukan regulasi yang efektif dan berkualitas. Regulasi yang berkualitas dalam tulisan Ronan Cormacain, peneliti Bingham Centre for the Rule of Law, London, UK merupakan konsekuensi bagi setiap negara yang berkomitmen pada demokrasi, hak asasi manusia, danrule of law(Drinóczi & Cormacain, 2021).
Sebagai negara yang memiliki komitmen yang sama, Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam penataan regulasi. Sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundangan bahkan telah ditetapkan sejak berlakunya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
TAP MPRS tersebut merupakan awal mula negara mengadopsi teori hierarki norma hukum(stufenbau theory) hasil pemikiran Merkl dan Kelsen. TAP MPRS mengeksplisitkan pemikiran Kelsen dengan menyebut, “setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.”
Indonesia yang mewarisi tradisicivil lawselama ini menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai primadona dalam mengatur kepentingan publik. Bahkan, pemikiran Roscoe Pound mengenai“law as a tool of social engineering”yang sebenarnya menitikberatkan putusan peradilan sebagai alat perubahan perilaku sesuai dengan tradisianglo saxonyang dianut, di Indonesia justu kerap dimaknai berbeda yakni menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai sarana utama untuk pembaharuan masyarakat. Pemikiran Pound mengalami re-interpretasi dengan tradisicivil lawdi Indonesia yang sangat bergantung pada sumber hukum tertulis berupa peraturan.
Regulasi yang terus lahir tidak terlepas dari perkembangan fungsi negara ke arah model zerzorgingsstaat(negara pengurus). Dalam bahasa Tim Koopmans, pemikir besar dalam sejarah keilmuan hukum Belanda dan Eropa, fungsi pembentuk undang-undang dalam model negara pengurus harus melakukan modifikasi yakni menentukan arah perubahan di berbagai bidang (Koopmans, 1970).
Dalam tradisi hukum sipil, kondisi ini sudah pasti melahirkan banyak sekali peraturan tertulis untuk mengatur berbagai urusan. Dihimpun dari dataperaturan.go.id(23/2), jumlah peraturan menteri yang pernah diberlakukan telah mencapai 18.284.
Instrumen Non-Regulasi
Kondisi pandemi dan momentum pengadopsianomnibus lawcipta kerja dapat menjadi pelajaran untuk mengontrol budaya serba regulasi yang selama ini sangat mendominasi dalam kebijakan publik.
Sejak pandemi melanda, justru instrumen non-regulasi seperti instruksi, surat edaran, maklumat, dan instrumen non-regulasi lainnya yang banyak digunakan untuk mengatur publik. Meskipun instrumen non-regulasi memiliki daya laku dan daya ikat yang tidak penuh, tidak imperatif, dan tidak berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman, namun terbukti selama pandemi relatif dipatuhi masyarakat.
Alasan pembentukan undang-undangomnibus lawuntuk melakukan deregulasi multisektoral pada dasarnya mengandung benang merah mengenai pentingnya pembentukan regulasi yang efektif dan berkualitas. Regulasi yang berkualitas dalam tulisan Ronan Cormacain, peneliti Bingham Centre for the Rule of Law, London, UK merupakan konsekuensi bagi setiap negara yang berkomitmen pada demokrasi, hak asasi manusia, danrule of law(Drinóczi & Cormacain, 2021).
Sebagai negara yang memiliki komitmen yang sama, Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam penataan regulasi. Sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundangan bahkan telah ditetapkan sejak berlakunya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
TAP MPRS tersebut merupakan awal mula negara mengadopsi teori hierarki norma hukum(stufenbau theory) hasil pemikiran Merkl dan Kelsen. TAP MPRS mengeksplisitkan pemikiran Kelsen dengan menyebut, “setiap peraturan perundang-undangan harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.”
Indonesia yang mewarisi tradisicivil lawselama ini menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai primadona dalam mengatur kepentingan publik. Bahkan, pemikiran Roscoe Pound mengenai“law as a tool of social engineering”yang sebenarnya menitikberatkan putusan peradilan sebagai alat perubahan perilaku sesuai dengan tradisianglo saxonyang dianut, di Indonesia justu kerap dimaknai berbeda yakni menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai sarana utama untuk pembaharuan masyarakat. Pemikiran Pound mengalami re-interpretasi dengan tradisicivil lawdi Indonesia yang sangat bergantung pada sumber hukum tertulis berupa peraturan.
Regulasi yang terus lahir tidak terlepas dari perkembangan fungsi negara ke arah model zerzorgingsstaat(negara pengurus). Dalam bahasa Tim Koopmans, pemikir besar dalam sejarah keilmuan hukum Belanda dan Eropa, fungsi pembentuk undang-undang dalam model negara pengurus harus melakukan modifikasi yakni menentukan arah perubahan di berbagai bidang (Koopmans, 1970).
Dalam tradisi hukum sipil, kondisi ini sudah pasti melahirkan banyak sekali peraturan tertulis untuk mengatur berbagai urusan. Dihimpun dari dataperaturan.go.id(23/2), jumlah peraturan menteri yang pernah diberlakukan telah mencapai 18.284.
Instrumen Non-Regulasi
Kondisi pandemi dan momentum pengadopsianomnibus lawcipta kerja dapat menjadi pelajaran untuk mengontrol budaya serba regulasi yang selama ini sangat mendominasi dalam kebijakan publik.
Sejak pandemi melanda, justru instrumen non-regulasi seperti instruksi, surat edaran, maklumat, dan instrumen non-regulasi lainnya yang banyak digunakan untuk mengatur publik. Meskipun instrumen non-regulasi memiliki daya laku dan daya ikat yang tidak penuh, tidak imperatif, dan tidak berimplikasi sanksi yang bersifat penghukuman, namun terbukti selama pandemi relatif dipatuhi masyarakat.
tulis komentar anda